Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Undang-Undang Agraria 1870: Konsep, Penerapan, dan Dampak

Undang-Undang Agraria 1870.


Konsep Undang-Undang Agraria 1870

Istilah agraria berasal dari kata bahasa latin ager atau agger yang mempunyai arti wilayah, tanah negara, pematang, bukit. Namun istilah yang dicakup oleh agraria tidak hanya sekedar tanah atau pertanian saja namun lebih luas dan mencakup banyak hal. Kata wilayah menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat berbagai macam tumbuhan, masyarakat atau manusia, perumahan, sungai dan lain sebagainya ( Tjondronegoro & Wiradi, 2004).

Berdasarkan pendapat Subekti dan R. Tjitrosoedibio  agraria merupakan segala urusan mengenai tanah dan segala sesuatu yang ada di dalam dan di atasnya (Santoso, 2012). Tanah mempunyai peran yang penting bagi manusia dan mempunyai hubungan yang sangat erat. Gagasan pembagian dan penataan tanah atau wilayah diperkirakan sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. 

Dalam sejarah hukum agraria kebijakan yang diterapkan mengenai pertanahan selalu saja menguntungkan dan diorientasikan pada kepentingan para penjajah. Sebelum ditetapkannya kebijakan mengenai agraria atau pertanahan awalnya para penjajah melakukan politik dagang yang tentunya juga berorientasi pada keuntungan bagi mereka. 

Para penjajah menempatkan posisinya sebagai penguasa sekaligus pengusaha yang berupaya untuk mencapai tujuan mereka yaitu mengambil keuntungan dari segala sumber sumber kehidupan di bumi Indonesia dengan menciptakan berbagai kebijakan yang memberikan mereka kekuasaan lebih dan menguntungkan sehingga mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia. Hukum agraria pada masa kolonial memiliki sifat dualisme hukum yaitu berdasarkan hukum adat dan hukum barat. (Agustiwi, t.t)

Sekitar tahun 1870 hingga 1900 untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, muncul pemberian peluang bagi swasta untuk menanamkan modal dan mendirikan kegiatan usahanya di Indonesia. Hal tersebut diakibatkan karena pada tahun 1870 pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang Agraria (Agresische Wet) sehingga mengakibatkan adanya pembukaan lahan lahan perkebunan secara besar-besaran. Pada masa itu pihak swasta baik Belanda maupun pihak Eropa lainnya membuka berbagai perkebunan baik teh gula kopi kina dan lain sebagainya. 

Undang-undang agraria tersebut memberikan banyak peluang bagi orang asing untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia namun tidak memberikan peluang bagi orang-orang pribumi Indonesia. Tanah tanah yang disewakan tidak hanya area lahan kosong namun juga lahan persawahan.

Campur tangan pihak pemerintah dalam kami yang berupaya untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat justru memberikan efek yang buruk pada kesejahteraan rakyat itu sendiri. Perlu adanya perlindungan dasar bagi rakyat agar kedudukan orang-orang pribumi yang lemah tersebut tidak dimanfaatkan oleh para penguasa.

Hingga pada tahun 1870 hadirlah UU Agraria yang menegaskan hak milik tanah pribumi dan melarang adanya perpindahan hak milik tersebut ke orang-orang selain pribumi Indonesia. Jika pihak asing atau barat ingin membuka perkebunan maka harus melakukan sewa tanah kepada ada penduduk pribumi. Pemerintah Belanda mempunyai kewajiban untuk menjaga tanah milik pribumi yang ditanami untuk kepentingan pribadi tidak di sewa oleh pihak Barat. Tidak hanya mengeluarkan kebijakan UU agraria pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan kebijakan mengenai perburuhan agar para pekerja pribumi mendapat kondisi dan pekerjaan yang layak.

Kebijakan mengenai perburuhan tersebut juga mengatur mengenai upah yang harus diberikan kepada para buruh yang bekerja di perkebunan tersebut dan juga kehidupan yang layak agar tidak merugikan bagi buruh pribumi. 

Namun meskipun begitu harapan-harapan terhadap meningkatnya kemakmuran rakyat pribumi tidak serta merta mudah untuk diwujudkan. Rakyat Indonesia justru mengalami kemerosotan tingkat kesejahteraan pada akhir abad ke-19 yang mengakibatkan adanya kritikan-kritikan tajam di negeri Belanda yang dilontarkan seperti masa sebelumnya ketika sistem tanam paksa diterapkan di Indonesia.

Lahirnya Agrarische Wet 1870

Sistem perkebunan mulai lahir di Indonesia pada masa kolonialisme Belanda. Munculnya sistem ini akibat mulai menurunnya keadaan perekonomian Belanda. Indonesia mengenal 2 sistem perkebunan, yaitu sistem  negara pada tahun 1830-1870, dan sistem swasta liberal pada tahun 1870. Pada sistem negara, pemerintah lebih menggunakan  otoritasnya untuk membeli komoditi yang diperlukan dan  tidak jarang mengandung paksaan.

Sedangkan  pada sistem perkebunan swasta “liberal” justru terjadi ketergantungan erat antara pusat perkebunan dengan pusat metropolitan dan pasar modalnya. Besarnya aliran investasi pada masa itu mampu menempatkan Belanda sebagai negara investor terbesar nomor 3 (tiga) di dunia, dan sebagian besar investasinya ditanamkan di Hindia Belanda. Hal ini membuat pihak Belanda bergantung pada sektor perkebunan  sebagai sumber devisa utama, padahal sistem liberal ini berada di bawah kendali pemilik modal perkebunan. Sehingga,  mau tidak mau membuat pihak kolonial memenuhi tuntutan  pemilik modal. (Masyrullahushomad, 2019)

Pada tahun 1865, mulai dilakukan upaya swstanisasi perkebunan di Hindia Belanda, yaitu  pada masa pemerintaha Frans van de Putte. Ia mengajukan RUU yang menyatakan bahwa :

  • Gubernur Jenderal akan memberikan hak guna usaha (erfpach) selama 99 tahun,
  • Hak mutlak (eigendom) akan diberikan  kepada hak milik pribumi
  • Tanah komunal dijadikan hak milik perorangan sebagai hak mutlak (eigendom).

Akan  tetapi, RUU ini justru ditolak oleh parleman dan ditentang keras oleh sesama golongan liberal, terutama Thorbecke. Tidak hanya itu, penolakan ini membuat Frans van de Putte akhirnya dilengserkan karena dianggap terlalu tergesa-gesa untuk  memberikan hak mutlak kepada pribumi. Dengan ditolaknya RUU ini, golongan swasta Belanda belum berhasil untuk menanam modal di bidang pertanian  Hindia Belanda (Masyrullahushomad, 2019).

Baca Juga  Serangan Umum Surakarta 1949: Ketika para Pelajar Berjuang Angkat Senjata

Setelah jatuhnya Frans van de Putte, tahun 1866 pemerintah mengadakan penelitian tentang hak pribumi atas tanah yang dilakukan pada 808 desa di seluruh Jawa. Laporan penelitian ini diterbitkan dalam tiga jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1890 dengan judul Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van den  Inlander op de Grond (biasa disingkat:  Eindresume). Karena ketidak sabaran pemerintah Belanda, Menteri de Wall mengajukan  RUU ke parlemen pada tahun  1870.

RUU ini berisi  8 ayat, yang salah satunya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selama 75 tahun seperti dalam RUU de Putte yang sebelumnya ditolak Parlemen. Pasal 62 RR dengan 8 ayat ini kemudian dinamai Indisch Staatsregeling (IS) yang dimuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No. 188 tahun 1870. Pasal tersebut masih diatur dengan berbagai peraturan dan keputusan lanjutan. Salah satu keputusan penting ialah apa yang disebut dengan Agrarisch Besluit yang dimuat dalam Staatsblad No. 118 tahun 1870. Pasal 1 dari Agrarisch Besluit inilah yang memuat pernyataan penting berupa Domain Verklaring, yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak (eigendom) adalah domain negara (milik negara)”. Agrarisch Besluit 1870 inilah yang selanjutnya berjalan sebagai tonggak penting swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda (Masyrullahushomad, 2019).

UU Agraria yang lahir pada 9 April 1870 yang menjadi pasal 5 dari Wet op de Indische Staatsregeling, memuat pasal berupa :

  • Gubernur Jenderal tidak boleh melakukan penjualan tanah
  • Larangan itu tidak berlaku bagi tanah kecil untuk perluasan kota dan desa, atau untuk mendirikan perusahaan dan bangunan,
  • Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah yang diatur dalam UU, kecuali tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia, digunakan untuk gembala ternak umum, atau tanah yang masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan umum lainnya,
  • Diberikan tanah dengan hak pakai turun-temurun selama 75 tahun,
  • Gubernur Jenderal menjaga agar pemberian hak tanah itu tidak melanggar hak-hak rakyat Indonesia
  • Gubernur Jenderal dilarang mengambil tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka sendiri, atau untuk keperluan lain kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 I.S., dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan oleh pemerintah menurut peraturan yang berlaku untuk itu; semuanya itu dengan pemberian ganti rugi yang layak,
  • Tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan syarat dan pembatasan yang diatur dalam UU, dan harus tercantum dalam surat tanda eigendom itu, yaitu mengenai kewajiban pemilik tanah kepada negara dan desa, serta hak menjualnya kepada orang yang bukan orang Indonesia,
  • Persewaan tanah oleh rakyat Indonesia kepada orang asing berlaku menurut UU,

Hak-hak baru atas tanah yang disebutkan dalam UU, antara lain :

  • Pemberian hak erfpacht atas tanah hutan belukar
  • Perlindungan hak rakyat Indonesia atas kepemilikan tanah;
  • Membuka kemungkinan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak yang lebih kuat atas tanahnya;
  • Persewaan tanah oleh bangsa Indonesia kepada bangsa asing.

Selain itu, diberlakukannya UU ini bertujuan untuk :

  • Menjamin kepentingan pemodal yang akan menanamkan modal di lapangan pertanian dan perkebunan dengan memberi kesempatan kepada pemodal untuk mendapatkan tanah dengan jaminan dan perlindungan akan perkembangannya,
  • Melindungi hak milik rakyat atas tanah sebagai golongan yang lemah dari akibat no. 1 di atas, dengan memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak agraris eigendom atas tanahnya sebagai hak yang lebih kuat, serta perlindungan UU tanahnya tidak mudah jatuh ke tangan orang asing.

Dari 2 tujuan di atas, sangat bertentangan antara tujuan satu dengan tujuan  yang lain. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa harus mengorbankan salah satu di antaranya. Keduanya merupakan pilihan yang cukup sulit, bahkan diibaratkan oleh (Tauchid, 2009) seperti memelihara harimau dan kambing dalam satu kandang. Harimau harus gemuk, si kambing perlu hidup dan jangan mati.

Penerapan Keputusan Agraria (Agrarische Besluit)

Agrarische Besluit adalah salah satu bentuk aturan, yang merupakan pelaksanaan dari Agrarische Wet 1870. Aturan ini hanya berlaku di kawasan Jawa dan Madura,  dan isinya terdiri dari 3 bab, yaitu :

  • Hak atas tanah
  • Dalam hak kepemilikan tanah, Pemerintah berperan sebagai pemegang
  • perdata. Apabila terdapat suatu tanah yang dihuni masyarakat, sedangkan si pemilik tidak dapat menunjukkan surat bukti kepemilikan, maka tanah tersebut dikategorikan sebagai tanah negara. Dalam pasal 1 lembar negara nomor 118, telah disebutkan bahwa:
  • “Dengan tetap memenuhi ketetapan dalam pasal nomor 2 dan 3 pada
  • Agrarische Wet, jika terdapat tanah yang individu atau masyarakat
  • tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendom, maka menjadi
  • domein (milik) negara.”

Jika sebelumnya aturan ini hanya berlaku di Jawa-Madura, maka selanjutnya aturan ini juga diberlakukan di daerah lain. Meskipun begitu, pernyataan yang selanjutnya disebut Domein Verklaring ini banyak dikatakan sebagai perampasan hak-hak masyarakat pribumi.

Telah diungkapkan bahwa setiap bidang tanah selalu ada pemiliknya. Jika individu atau pihak lain tidak menjadi pemilik tanah, maka tanah tersebut statusnya dimiliki oleh Negara, sekaligus bertanggung jawab sebagai pemegang perdata. Jika suatu tanah di sewa, maka pemberian tanah ini bermakna memindahkan hak milik dari Negara kepada perorangan atau lembaga yang tersebut. Maknanya,  Negara bukan memberikan hak eigendom kepada penyewa, tetapi hak eigendom Negara dipindah tangankan kepada penyewa dengan pembayaran harga sewa kepada Negara.

Terdapat beberapa kriteria tanah pribumi yang dilindungi oleh gubernur jenderal sebagai hak  milik mereka, yaitu : tanah perorangan yang berhasil diakui sebagai hak milik seperti sawah dan tanah yang dianggap sakral. Tanah model seperti ini dibuatkan sertifikat khusus dari pemerintah guna melindungi hak milik pribumi.

Dengan sertifikat tersebut, maka masyarakat pribumi dapat menyewakan tanahnya kepada pengusaha swasta secara pribadi. Setelah disewakan, maka hak eigendom pribumi dipindahkan sementara kepada penyewa selama waktu yang ditentukan dengan ketentuan   pembayaran biaya sewa kepada pemilik tanah.

Beberapa kriteria tanah yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda meliputi:


a. Tanah-tanah daerah Swapraja (kesultanan atau kerajaan)

b. Tanah-tanah yang menjadi Eigendom orang lain

c. Tanah-tanah Partikelir

d. Tanah-tanah Eigendom Agraria

Adapun yang dimaksud Eigendom Agraria adalah hak yang bertujuan  untuk memberikan sebidang tanah penuh kepada pribumi. Sedangkan tanah partikelir adalah tanah yang dimiliki orang swasta Belanda dan orang pribumi yang mendapat hadiah tanah karena dianggap berjasa kepada Belanda.

  • Pelepasan Hak

Hal ini mengacu pada pasal 2 Agrarische Wet. Yaitu perihal tanah kecil yang tidak bertuan. Tanah jenis ini boleh digunakan untuk perluasan kota atau pendirian industri, dengan syarat luasnya tidak melebihi 10 bau, dan tetap memperhatikan hak masyarakat pribumi.

  • Peraturan campuran (lembar negara pasal 19 dan 20 nomor 118 )

Pada peraturan ini, pemerintah membedakan peraturan bagi penduduk Jawa-Madura dan yang berada di luar Jawa-Madura. Untuk Jawa-Madura

yang  lebih dahulu mengamalkan pasal 1 yang kemudian baru diberlakukan untuk seluruh daerah

Perbedaan juga terjadi bagi kota Swapraja seperti Yogyakarta dan Surakarta. Tanah yang ada di dua kota ini dapat diberikan kepada orang atau badan hukum yang tunduk pada Hukum Barat. Dalam hal ini pemerintah kota Swapraja bertindak sebagai penguasa. Sedangkan peraturan untuk luar Jawa pemerintah memberikan peraturan sebagai berikut:

“Semua tanah kosong dalam wilayah pemerintahan adalah milik Negara. Negara adalah badan yang memiliki wewenang untuk menggunakan atau memindah tangankan hak eigendom kepada pihak lain.”

Untuk menjaga hak pribumi, pemerintah mengecualikan peraturan ini bagi tanah yang sudah diusahakan oleh pribumi. Peraturan ini utamanya ditujukan untuk wilayah Sumatera. (Luthfiyah, 2018).

Penerapan Hak Erpacht (Hak Guna Usaha)

Hak  Erepacht  atau hak guna usaha dalam penyewaan tanah rakyat adalah hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya dalam waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap tahun (pasal 720 dan 721 KUUHPdt).

Hak ini ditujukan kepada kaum Eropa. Seiring diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, seorang gubernur jenderal memiliki wewenang untuk menentukan dasar-dasar tanah kepemilikan pribumi. Jika tanah tersebut diterima menjadi hak milik seseorang, maka pemilik tersebut akan memperoleh hak eigendom. Beberapa kriteria tanah yang diakui kepemilikan pribumi adalah sawah garapan mereka,  tanah desa, dan tanah milik pemerintah hasil perluasan atau pembangunan kota.

Untuk tanah yang berada di luar desa akan dianggap milik pemerintah. Tanah inilah yang selanjutnya disewakan pemerintah kepada kaum Eropa atau pengusaha swasta. Tanah dalam kategori ini maksimal memiliki luas sekitar 500 bau dengan batas sewa dari 5 sampai 90 tahun.

Selain itu, terdapat jenis tanah yang ditawarkan dalam jangka waktu panjang. Tanah ini meliputi tanah pertanian, peternakan, dan produksi. Khusus dalam pembangunan pekerjan air yang menggunakan pipa membutuhkan izin khusus dari gubernur jenderal.

Terdapat  beberapa pekerjaan yang dilarang menggunakan tanah sewaan, yaitu pabrik kertas dan garam. Seorang penyewa tanah dalam jangka panjang  akan dikenakan tarif  pajak umum dan terikat pada aturan-aturan tersebut.

Tidak semua tanah yang disewakan memiliki aturan yang sama, tergantung keputusan Pemerintah dengan tingkat kemanfaatanya. Penjelasan mengenai tanah khusus diluar hak erpacht Jawa-Madura dimuat pada lembar Negara nomor 2 pasal 6:

1. Tanah yang telah menjadi hak milik orang lain dan dapat dibuktikan kepemilikannya

2 Tanah tersebut adalah tanah yang dianggap sakral

3. Tanah yang digunakan untuk layanan publik, contohnya pasar

4. Tanah perkebunan pemerintah

5. Hutan jati dan selainnya, baik dalam desa atau di luar desa

6. Tanah yang dilapisan bawahnya tersimpan barang tambang

7. Tanah yang ditunjuk pemerintah untuk kebutuhan perluasan penanaman kopi.

Dari berbagai jenis tanah di atas, terdapat pengecualian pada poin 1,2,3. Ketiga jenis tanah ini dapat dikenakan hak erfpacht dengan melalui perjanjian perorangan dan pihak desa. Dalam hal ini pemerintah berperan unuk melindungi hak pribumi, yaitu sebagai perantaraa bagi  seorang  penyewa. Penyewa yang telah mendaftar di pemerintah, akan mendapatkan tawaran tertutup selama 3 tahun. Pemerintah baru akan menerima apabila terdapat permintaan sewa jangka panjang dari suatu  pihak dengan catatan harus tunduk pada aturan-aturan persewaan tanah. Aturan tersebut antara lain :

a. Penyewa mengajukan permintaan sewa kepada pemerintah dengan membayar sejumlah biaya sewa

b. Mengajukan kepentingannya sebagai alasan penggunaan tanah sewa yang tidak menyimpang dari aturan di bawah ini:

1) Tanah yang hendak disewa tidak lebih dari 500 bangunan jika didirikan di atasnya atau tidak lebih dari 500 bau.

2) Jangka waktu menyewa maksimal 75 tahun.

3) Biaya sewa pertama harus disetorkan ke kas negeri sebelum dicatatnya sebagai hak Erfpacht

4) Dengan memperhatikan ketentuan pada ayat 4 pasal 10, dan pasal 12 – 15, kewajiban membayar sewa berlaku tahun keenam sesudah tahun waktu dilakukan pencatatan hak.

Berdasarkan peraturan di  atas, pada tahun 1930 pemerintah telah memberikan tanah dengan hak Erfpacht lebih dari 1.750.000 hektar kepada lebih dari 2.200 pengusaha swasta. Tanah yang diberikan kepada perusahaan perkebunan di Jawa (termasuk tanah Swapraja) berjumlah  sekitar 150.000 hektar kepada 200 pengusaha. Total keseluruhan tanah yang diberikan sekitar 2.750.000 hektar dengan 2.900 pengusaha. (Harsono, 2008)

Dampak Undang-Undang Agraria 1870

  • Dampak  Positif

Penerapan Undang-Undang Agraria 1870 telah membawa banyak dampak bagi masyarakat Nusantara. Contohnya dalam pemberian hak erfpacht kepada pengusaha swasta yang menyebabkan dibukanya perkebunan baru, sehingga kebutuhan tenaga kerja semakin meningkat. Keadaan ini akhirnya menjadi stimulus dalam  peningkatan kegiatan ekspor.

Contoh perkebunan yang mengalami perkembangan cukup pesat adalah Perkebunan kopi di Sumatera Timur yang mencapai 148 perkebunan pada tahun 1888. Karena terjadi depresi ekonomi dunia, jumlahnya semakin menurun dan  membuat  pengusaha swasta memilih  komoditi baru, yaituu sawit dan karet. Penanaman ini menimbulkan keuntungan yang besar, dan  mulai diadopsi dalam perkebunan rakyat.

  • Dampak Negaif

Dengan bertambahnya perkebunan baru ,  menyebabkan kebutuhan tenaga kerja  meningkat tajam. Namun, pengerahan tenaga kerja ini merupakan hal negatif dari diberlakukannya UU Agraria. Hal ini karena praktik pengerahan yang terjadi di lapangan lebih ganas dari masa Tanam Paksa.

Di Provinsi Jawa, banyak dibuka pelatihan tenaga kerja.  Sedangkan untuk luar Jawa, kebutuhan tenaga kerja masih bergantung pada Provinsi Jawa.  Mayoritas orang Jawa adalah pekerja yang rajin dan berkomitmen. Mereka memiliki keterampilan tinggi  dalam bidang perkebunan, sehingga dianggp  lebih mudah beradaptasi.

Distibusi tenaga kerja, khususnya dari Jawa dilakukan oleh biro imigrasi. Para biro imigrasi ini, para calon tenaga kerja janji yang berlebihan agar bersedia dipindah ke Provinsi lain. Tak hanya itu, para tenaga kerja yang mau mendapatkan pekerjaan terkadang masih harus membayar sejumlah uang, dan mematuhi peraturan Koeli Ordonantie yang dikeluarkan oleh Buitenzorg pada 13 Juli 1880.  Peraturan ini tertulis pada Staatsblad (lembar negara)  nomor 133 tahun 1880, yang berisi tentang detail model kontrak yang bisa dijalankan.

Dalam pelaksanaannya, banyak pengusaha perkebunan dan perangkatnya melakukan pelanggaran terhadap Koeli Ordonantie. Mayoritas pekerja tidak men dapatkan  kenaikan  upah, dan pemberian  hukuman yang sewenang-wenang atas kesalahan pekerja. Hukuman bisa berupa penjara, potong gaji atau kerja paksa dengan waktu yang bervariasi. Tak hanya itu, banyak pekerja yang mencoba untuk melarikan diri akibat kerasnya perlakuan  di lapangan .

Selain itu, UU Agraria juga membentuk konsep kapitalisasi tanah oleh negara, yang dapat dengan  mudah menjual tanah kepada swasta. Hal ini sesuai dengan politik keagrariaan Belanda di Hindia Belanda, bahwa negara harus dijadikan pemilik tanah tertinggi. Karena daerah jajahan  tampil sebagai daerah taklukan secara militer. Dengan ketentuan ini, maka pemerintah Hindia Belanda berhak mengambil kembali tanah  miliknya yang dikuasai penduduk Bumiputra, dengan alasan untuk keperluan negara maupun untuk  diberikan kepada pengusaha swasta Belanda.

Video Undang-Undang Agraria 1870



Referensi:

Caldwell, J.A.M. “Indonesian Export and Production from The Decline of The Cultures System to The First World War”. dalam Sartono Kartodirdjo Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993

Harsono, B. (2008). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.

LUTHFIYAH, W. (2018). PENGARUH UNDANG-UNDANG AGRARIA 1870 TERHADAP EKSISTENSI KOMUNITAS ARAB DI AMPEL SURABAYA. SKRIPSI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA, 39.

Masyrullahushomad, S. (2019). Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870: Periode Awal Swastanisasi Perkebunan Di Pulau Jawa. HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) , 161.

Santoso, D. U. (2012). Hukum Agraria, Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana.

Tauchid, M. (2009). Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN Press.

 Tjondronegoro, S. M., & Wiradi, G. (2004). Pembaruan Agraria, Antara Negara dan Pasar. Jurnal Analisis Sosial, Bol 9 No 1.

Posting Komentar untuk "Undang-Undang Agraria 1870: Konsep, Penerapan, dan Dampak"