Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Resensi Buku: Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat



Oleh: Vini Rahmawati

Judul buku yaitu “Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat: Pola Pemilikan Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi 1917”. Buku ini merupakan tesis S2 dari Nur Aini Setiawai. Diterbitkan tahun 2011 oleh STPN Press  (Sleman-Yogyakarta) dan bekerjasama dengan Sajogyo Institute  (Bogor-Jawa Barat). Serta berada dalam Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Jumlah halaman buku yaitu xviii+171halaman. Dengan ukuran 14 × 21 cm, dengan No ISBN 978-602-9824-24-4.

Daftar isi dari buku ini terdiri dari kata pengantar penulis, kata pengantar penerbit STPN Press, Bab I Pendahuluan, Bab II Kota Yogyakarta Hingga Awal XX, Bab III Tanah Kesultanan di Kota Yogyakrta Awal  Abad XX, Bab IV Pola Penguasaan, Pemilikan dan Sengketa Tanah Setalah Reorganisasi Agraria di Kota Yogyakarta, Bab V kesimpulan, daftar pustaka, lampiran, dan tentang penulis. Bab I, penuli membagi menjadi lima subbab yaitu latar belakang, permasalah, kerangka teori, metode dan sumber, serta kajian historiografis. Bab II, penulis membagi menjadi lima subbab yaitu ekologi kota, kepadatan penduduk, statifikasi sosial, kehidupan sosial ekonomi, serta struktur organisasi, birokrasi dan sistem pemerintahan kesultanan. Bab III, penulis membagi empat subbab yaitu pola penguasaan tanah kesultanan, pola pemilikan tanah kesultanan, sistem pajak; kerja wajib; dan sistem Apanage atas tanah kesulyanan, serta pemindahan hak atas tanah. 

Dalam subbab kedua tersebut, penulis masih memecahnya dalam bebarapa pembahasan yaitu tanah keraton, tanah kesultanan yang dipakai NISM dan SS, tanah kesultanan yang diberikan kepada orang-orang nonpribumi (Tionghoa dan Eropa), tanah krajan/tanah bagi para pegawai keraton, tanah kesentanan, tanah pekarangan bupati dan pegawai tinggi, tanah kebinan untuk pepatih dalem dan kepentingan umum, serta tanah pekarangan rakyat jelata. Bab IV, penulis membagi menjadi subbab yaitu reorganisasi dan pengaturan hak milik tanah, pencabutan hak atas tanah kesultanan, sengketa tanah kesultanan. Subbab pertama, penulis membagi bebarapa pembahasan yaitu hak pakai secara turun-temurun (Erfelijk Gebruiksrechten), hak miik (andarbe) atas tanah, Hak warisan, hak menyewakan, dan hak gadai. Sedangkan dalam subbab keempat, penulis membagi menjadi beberapa pembahasan yaitu pengaduan sengketa tanah ke pengadilan keraton darah dalem serta sengketa antara pemerintahan daerah dengan kesultanan.

Buku ini berupan bentuk pdf, sehingga mudah dimiliki oleh semua orang. Dapat diakses secara gratis pada website resmi pppm.stpn.ac.Id. Tampilan buku cukup menarik secara keseluruhan. Namun dalam cover pertama, hanya menampilan latarbelakang putih dengan aksen warna hitam pada tulisan. Setiap lembar halaman terlihat bahwa terdapat penamaan silih berganti (kecuali lembar halaman masing-masing Bab). Misalkan halaman pertama pada pojok kanan atas terdapat tulisan “Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat”. Tulisan tersebut merupakan judul dari buku. Sedangakn dihalaman selanjutnya, di pojok kiri atas terdapat tulisan “Nur Aini Setiawai” sebagai penulis buku. Layout buku seperti buku lainnya. Kualitas dan jenis kertas tidak dapat terlihat, sebab berupa e-book. Halaman xii dan xv disajikan daftar istilah serta daftar tabel. Untuk mempermudah pembaca menelusuri dan memamahami lebih materi pembahasan.

Isi buku berupa hasil analisi dan deskripsi proses perkembangan dan perubahan hak penguasaan dan pemilikan serta sengketa tanah kesultanan dan faktor-fakto yang menjadi dasar peristiwa di Yogyakarta. Penulis mengikutsertakan diri dalam penulisan buku mengenai pemecahan masalah tanah di Yogyakarta dengan melihat asal-usulnya. Mengingat tanah adalah aspek tidak terpisahan dari kehidupan manusia. Hal menarik bahwa bangsawan memiliki hak penguasaan tanah-tanah luas. Lambat laut, hal ini memunculkan gerakan pemberontakan dalam masyarakat terutama rakyat yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan tetapi sempit. Kemudian Sultan mengeluarkan perintah tentang pembagian lahan-lahan pekarangan di wilayah perkotaan maupun lahan pertanian untuk petani di wilayah pedesaan, sebagai solusi permasalahan. 

Terjadi pembagian kerajaan menjadi dua melalui Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1733. Pertama Kasunanan Surakarta dibawah kepemimpinan Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta dibawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi. Sedangkan pembagian kekuasaan tanah berdasarkan Perjanjian Klaten pada 27 September 1830. Dimaa wilayah Kasultanan Yogyakarta meliputi Mataram serta Gunungkidul, sedangkan wilayah Kasunanan Surakarta meliputi Pajang dan Sokowati.

Pada abad XX, dilaksanakan kebijakan agraria “Reorganisasi Agraria Sistem Pemilikan Tanah” atau konversi tanah. Reorganisasi agraria mendesak sultan untuk memberikan kebebasan perusahaan swasta untuk menanam modalnya. Pemerintah kolonial sendiri, membutuhkan kepastian hukum untuk tanah dan hak-hak serta kewajiban warga Yogyakarta. Hal ini juga dilatarbelakangi desakan kebijakan politik etis. Kebijakan Reoganisasi tanah penghapusan sistem apanage, pembentukan kalurahan sebagai unit administrasi, pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas kepada penduduk, dan penerbitan peraturan sistem sewa tanah, pengurangan kerja wajib penduduk, serta perbaikan aturan pemindahan hak atas tanah. Reorganisasi tanah merupakan suatu perubahan yang fundamental terhadap status hukum pemilikan tanah dari tanah milik Sultan Hamengku Buwana VIII, para priyayi serta abdi dalem untuk dialihkan hak kepemilikannya (omzetting) kepada penduduk.

Reorganisasi tersebut memicu keresahan masyarakat Yogyakarta yang bericikan feodal. Para bangsawan (wong gedhe) dan rakyat (wong cilik) berusaha untuk mengurus surat tanah agar diakui hak kepemilikannya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya sengketa tanah di kalangan warga Yogyakarta.  Wilayah Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi 3 afdeeling oleh Pemerintah Hindia Belanda yaitu afdeeling Mataram di bawah asisten residen dengan ibukota Yogyakarta. Kedua, afdeeling Kulon Progo di bawah asisten residen dengan ibukota Pengasih (Wates). Ketiga, afdeeling Gunungkidul dengan ibukota Wonosari. Proses pemilikan dan penguasaan tanah kasultanan yang hanya mencakup kota wilayah Kasultanan Yogyakarta yang dikuasai Kasultanan. 

Berdasarkan hak tanah dan kewajiban, maka stratifikasi masyarakat Yogyakarta terbagi menjadi empat yaitu lapisan pertama, sultan sebagai penguasa wilayah Kota Yogyakarta yang tinggal di keraton. Lapisan kedua, terdiri atas kerabat keraton atau bangsawan keturunan raja dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan, mereka mendapat tanah apanage. Lapisan ketiga, bagi golongan menengah yang terdiri atas abdi dalem atau para priyayi. Lapisan keempat, merupakan lapisan bawah yang disebut dengan wong cilik (kawula alit) dan rakyat jelata. Adanya reorganisasi dilakukan pendaftaran tanah. Pemilih tanag dikenakan pajak verponding. Pajak tersebut sebagai biaya hidup raja, bangsawan, dan abdi dalem dalam melaksanakan pemerintahan kerajaan. Secara politis dan ekonomis terdapat praktik-praktik eksploitasi tradisional yang dilakukan oleh para raja dan bangsawan kepada penduduk. Masyarakaat Yogyakarta, setelah mendapatkan tanah hak pakai, berusaha mengelola tanah itu agar dapat digunakan untuk tempat tinggal atau mengolahnya sampai turun temurun.

Hal yang menarik pertaman yaitu terdapat istilah Wong Gedhe dan Wong Cilik. Reorganisasi Agraria/tanah/hukum sebagai wujud modernisasi sistem pertanahan dan terbangun atas ikatan sosial-politik di Yogyakarta. Beberapa istilah dalam bahasa masyarakat Yogyakarta digunakan dalam kebijakan reorganisasi. Pembahasan dalam buku ini memberikan bahan agraria Indonesia Kontemporer. Sebagai dasar, kekuataan, dan refleksi akan kebijakan legilisasi tanah, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dan lainnya. Mengingat pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan PP No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Berisi upaya pemerintah dalam memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah dengan cara mengerem spekulasi tanah dan mengoptimalkan peruntukannya untuk rakyat. 

Penulis menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami pembaca dari kalangan pelajar hingga ahli. Jika terdapat istilah-istilah asing, penulis mendeskripsikannya pada daftar istilah. Alur disajikan berdasarkan tanah di kota Yogyakarta yaitu kota Yogyakarta, tanah kesultanan di kota Yogyakarta, dan setelah reorganisasi agraria di Yogyakarta. Buku ini menarik untuk dibaca, terutama menyingung sejarah Agraria (lokal). Yogyakarta sebagai basis pembahasan, merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan ciri khas menarik untuk diulas. Namun buku ini tidak dilengkapi pendahuluan atau sejarah secara umum tentang tanah di Indonesia. Sehingga pembaca pemula akan kurang memahami sejarah agraria di Indonesia, dan langsung difokuskan kepada lingkup lokal yaitu Yogyakarta.

Secara singkat buku ini mendeksripiskan dan menjabarkan kepada pembaca bagaimana  tanah di Yogyakarta yang awalnya dikuasai penuh oleh bangsawan atau Sultan, berubah menjadi milik semua masyarakat tanpa melihat lapisan sosial. Pemerintah kolonial mendorong perubahan tersebut dengan diberlakukannya reorganisasi. Buku ini juga mudah didapatkan oleh pembaca secara gratis. Serta direkomendasikan bagi mahasiswa, dosen, atau lainnay dalam memperluas dan memperdalam aspek Agraris di Indonesia. Dari skala 1 sampai 10, resentator memberikan nilai 9. 

Profil Penulis:

Vini Rahmawati

Active students of history education, PPG Prajabatan, at the University of Jember who are enthusiastic and highly motivated with the ability to try new challenges, are creative, friendly, and communicative. Experienced in various internal and external campus organizations. Become a history education student who was selected in the FORKOM dean of FKIP Negeri Indonesia 2020 and a poster competition in 2020 organized by the National Achievement Center of the Ministry of Education and Culture. Contributors to the creative platform @tempatbercakap through the content of “Alun-alun Tugu Malang” in 2020 and creative video content in Citizen Journalist SCM CJ Emterk through “Si Mask Rajut” in 2020.


Posting Komentar untuk "Resensi Buku: Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat"