Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kehidupan Sosial Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1900-1928


Oleh: Vini Rahmawati


Andrisijanti (2007) mengatakan Yogyakarta salah satu daerah kuno di Indonesia yang tetap bertahan hidup dan berkembang, baik dalam segi kehidupan masyarakat maupun spasialnya. Dalam sejarah, Yogyakarta tercatat sebagai kota perjuangan, pendidikan, kebudayaan, revolusi, dan spiritual. Selain berperan penting dalam perjuangan sejarah, Yogyakarta merupakan pusat usaha mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Sosial budaya dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, memberi kekhasan tersendiri. Yogyakarta sebagai Pakualaman dan pusat keraton, memiliki pertumbuhan dan perkembangan pendidikan yang lebih baik daripada daerah lainnya. Secara tidak langsung, pusat keraton menjadi civic center Yogyakarta. Di dalam civic center memiliki berbagai macam pemukiman dan bangunan penduduk, sehingga menunjukkan beragam aspek dan fungsi kehidupan masyarakat Yogyakarta.  

“Belanda  datang ke Indonesia membawa pengaruh pada bidang sosial dan budaya. Pengaruh kolonial Belanda tercermin dalam kawasan-kawasan khusus…. (Yuliana, 2013). Terdapat lingkungan binaan yang difungsikan untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup serta aktivitas pemerintahan, baik kegiatan sosial; budaya; ekonomi; politik; dan pendidikan. Di era kolonialisme Belanda, pendidikan tidak memberikan ajaran jiwa dan sikap  nasionalisme. Pada tahun 1900-1928, muncul kesatuan dan persatuan untuk bangsa. Kemudian menjadi titik tolak ‘Kebangkitan Nasional Indonesia’ sebagai cerminan bangun untuk menentang kolonialisme, dan pada tahun inilah, bermunculan organisasi maupun perkumpulan yang peduli dan sadar memperjuangan kemerdekaan tanah air Indonesia. Dalam peristiwa ini, banyak dampak yang muncul. Pada bidang sosial budaya, merubahnya cara pandang rakyat Indonesia dalam perlawanan terhadap kolonialisme dengan pendidikan; serta proses penyatuan rakyat di seluruh Indonesia. Sehingga, bukan hanya penyatuan gerakan, namun penyatuan serta penyelarasan sosial budaya.

Secara astronomis, Yogyakarta terletak antara 110° 23' 79"- 110° 28' 53" Bujur Timur, serta terletak 7° 49' 26"- 7° 50' 84" Lintang Selatan. Yogyakarta secara administrative merupakan pusat Porvinsi. Terdapat 14 kecamatan dan 163 rukun kampong di Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta terdiri dari tiga etnis, yaitu Etnis Eropa, Etnis Tionghoa, dan Etnis Pribumi. Etnik Eropa yang terdiri atas bangsa Jerman, Perancis, Belanda, Portugal dan Spanyol yang memiliki pekerjaan pada bidang leveransir kebutuhan hidup masyarakat Eropa sekitar Loji Besar, keamanan, dan perkebunan. Etnik Tionghoa menjadi kelompok orang-orang timur dengan pekerjaan sebagai pedagang atau bergerak dalam lapangan perekonomian Iainnya seperti jembatan, rumah gadai, pemungut cukai pasar, dan rumah candu. Etnik Pribumi diwakili oleh raja dan kawulanya. Kawulan ini seperti orang Bugis, Bali, Jawa, dan Madura. Pada mulanya masyarakat tersegmentasi menjadi beberapa kelas. Namun sejak datangnya kolonial, membawa perkembangan kesejajaran sistem kelas.

Menurut Peter Ekeh (dalam Goenawan, 1993: 40) pertukaran sosial yang terjadi pada masa ini, disebabkam oleh kekuatan yang mempengaruhi hubungan pribadi dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Pertukaran sosial ini menciptakan hubungan sosial budaya dalam masyarakat. Budaya dapat dilihat dari segi solidaritas sosial. hal ini dibuktikan dengan lahirnya organisasi pergerakan Budi Utomo serta perguruan Taman Siswa. Pada tahun 1900-1928, menjadi awal kebangkitan nasional Indonesia. Berbagai gerakan didaerah-daerah mempersatukan tekad dan perjuangannya. Sehingga, gerakan perjuangan tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. Para pelajar di STOVIA berhasil mendirikan organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Gerakan ini didirikan oleh Soetomo, M. Suwarno, M. Gunawan, R.M. Gumbreg, Suwarno, M. Suradji, M. Muhamad Saleh, dan R. Angka. Gerakan ini menjadi cikal bakal bahwa gerakan harus bergerak demokratis dan terbuka bagi rakyat Indonesia. Organisasi Budi Utomo berkembang pesat, akhir tahun 1909,  teklah memiliki 40 cabang dan kurang lebih 10.000 anggota. Pada tubuh Budi Utomo tertanam bahwa benih pertama semangata nasionalisme telah ada. 

Organisasi perjuangan Muhammadiyah, berdiri sejak 1912. Pendiri gerakan ini adalah K.H. Ahmad Dahlan. Saat pemerintah kolonial kurang memperhatikan kelompok masyarakat daerah, Muhammadiyah menaruh perhatian sosial terhadap hal ini. Usaha yang dilakukan dengan pendirian rumah fakir miskin dan pemeliharaan anak yatim. Mu’thi, A et al. (2015: 24) menyatakan K. H. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah memberikan pendidikan dan sosial, melalui pendirian pondok. Pondok menjadi tempat pendidikan, serta nilai-nilai kebangsaan. Kemudian muncul gerakan secara terang-terangan melawan penjajahan Belanda, yaitu Taman Siswa. Perlawanan dari Taman Siswa mendapat dukungan dari perkumpulan sosial dan berbagai perkumpulan lainnya. Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri Taman Siswa, memberikan bantuan pada masyarakat dan penggalangan usaha bidang pendidikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978: 113). Munculnya berbagai organisasi perjuangan, bahwa terdapat keinginan masyarakat untuk maju menghendaki perubahan. Kesadaran ini dipupuk akibat penjajahan Barat selama bertahun-tahun. 

Rasa kesadaran akan nasionalisme, membawa pengaruh munculnya kebudayaan. Kebudayaan ini bertujuan untuk memupuk, membina, memelihara, serta memajukan kebudayaan luhur. Contoh kebudayaan yaitu Seni Karawitan, Seni Tari, Ketroprak, Dagelan Mataram, Pendalangan, Pecak Silat, dan Kesusastraan.

DAFTRA PUSTAKA

Goenawan, R. & Hamoko, D. 1993. Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: CV. Manggala Bhakti. 

Mu’thi, A., Mulkhan A. M., dan Djoko Marihandono,. 2015. K.H. Ahmad Dahlan (1868 - 1923). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: PN Balai Pustaka. 

Yuliana, M. H. 2013. “Keadaan Sosial Budaya Kotabaru Yogyakarta pada Masa Kolonial (1917-1940)”. Tidak Diterbitkan. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. 

Andrisijanti, I. 2007. Kota Yogyakarta Sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi dan Permasalahannya. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Profil Penulis:



Active students of history education, PPG Prajabatan, at the University of Jember who are enthusiastic and highly motivated with the ability to try new challenges, are creative, friendly, and communicative. Experienced in various internal and external campus organizations. Become a history education student who was selected in the FORKOM dean of FKIP Negeri Indonesia 2020 and a poster competition in 2020 organized by the National Achievement Center of the Ministry of Education and Culture. Contributors to the creative platform @tempatbercakap through the content of “Alun-alun Tugu Malang” in 2020 and creative video content in Citizen Journalist SCM CJ Emterk through “Si Mask Rajut” in 2020.





Posting Komentar untuk "Kehidupan Sosial Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1900-1928"