Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Masa Liberal Hindia Belanda (1870-1900)

Periode sejarah Indonesia dalam kurun 1870-1900 merupakan masa liberalisme. Pada periode ini pertama kalinya pemerintah kolonial memberikan peluang kepada para pengusaha asing untuk menanamkan modal swasta dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia—terutama dalam industri-indstri perkebunan di Jawa maupun luar Jawa. (G. Moedjianto, 1998: 19)

Perdiode liberal ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870—yang menjadi tongak dasar perubahan asas ekonomi dari monopoli menjadi ekonomi liberal. Berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 ini adalah akibat dari perkembangan paham liberal di Kerajaan Belanda yang juga tidak terlepas dari perubahan kondisi politik di Eropa.

Liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa pada abad ke-19 dan dianggap sebagai paham paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang mengedepankan kebebasan. Berkembangnya paham ini juga diperngarhi oleh Revolusi Prancis pada tahun 1789 dibarengi dengan keluarnya Undang-Undang Dasar 1791 di Prancis menjadi awal pegakuan atas kebebasan individu. Poin kebebasan ini juga menjadi tonggal awal dari munculnya gerakan liberalisasi ekonomi yang kemudian diikuti dengan dihapuskannya monopoli perdagangan, dihormatinya hak milik atas tanah dan kebebasan dalam penggunaanya (Malet & Isaac, 1989: 44)

Paham liberal yang berkembang di Eropa ini kemudian masuk di Belanda pada tahun 1860, di mana ditandai dengan menguatnya dominasi kaum liberal dalam parlemen Belanda. Kaum liberal berhasil mengimbangi kaum konservatif dan berhasil menduduki posisi penting di dalam parlemen Kerajaan Belanda, termasuk kantor kolonial. Beralihnya kontrol kolonial kepada kaum liberal ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Lambat laun mereka melakukan perubahan-perubahan kebijakan menuju liberalisasi ekonomi di negara-negara jajahan termasuk Hindia Belanda.

Pelaksanaan Sistem Kolonial Liberal di Hindia Belanda

Seperti yang telah saya bahas di latar belakang bahwa revolusi 1848 di Prancis ini mempengaruhi pemikiran liberal di Kerajaan Belanda. Partai liberalisme menang, hingga ide-ide liberalisme sangat masif di Belanda. Ajaran liberalisme di bidang ekonomi menghendaki dilaksanakannya usaha-usaha bebas dan juga kegiatan ekonomi campur tangan negara atau pemerintah. Dengan begitu, pemikiran liberalisme mengehendaki dihapuskannya Culturstelsel atau sistem tanam paksa.

Di samping terdapat golongan liberal ada juga golongan humanis yang menghendaki dihapuskannya sistem tanam paksa. Para kaum humanis melihat betapa menyedihkannya para pribumi akibat diterapkannya sistem tanam paksa. Berkat dari adanya perjuangan kaum liberal dan humanis itu, tanam paksa sedikit demi sedikit terhapuskan. Para sejarawan berpendapat bahwa tahun 1870 dianggap sebagai batas akhir dari sistem tanam paksa, yakni ditandai keluarnya Undang-Undang Agraria yang mengatur cara-cara pengusaha swasta memperoleh tanah dan juga undang-undang gula yang mengatur pemindahan perusahaan-perusahaan gula ke tangan swasta. Dengan berakhirnya sistem tanam paksa ini, maka dilaksanakanlag di Hindia Belanda politik kolonial liberal. (G. Moedjanto, 1998: 19-20)

Pada periode kolonial liberal ini kaum pengusaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modal dalam berbagai usaha kegiatan di Hindia Belanda. Selama masa ini modal swasta dari Belanda dan negara-negara Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula, dan kina yang besar di Deli. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agraische Wet) pada tahun 1870. Di satu sisi Undang-Undang Agraria itu bertujuan untuk melindungi hak-hak petani atas tanah mereka dan di sisi lain Undang-Undang Agraria ini membuka peluang bagi orang-orang asing untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia sebagai usaha perkebunan.

Jadi, orang-orang Eropa dan orang asing lainnya tidak dapat memiliki tanah pada umumnya, kecuali tanah-tanah yang ada rumah sakit dan pabrik-pabrik milik orang Eropa. Dari sini sejak tahun 1870 industri-industri perkebunan Eropa mulai masuk ke Hindia Belanda. Terdapat perbedaan esensial antara sistem tanam paksa dengan industri-industri perkebunan swasta pada masa liberal. Kita tahu bahwa pada masa sistem tanam paksa tanah dan tenaga pribumi dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah kolonial, namun  pada masa liberal—secara yuridis—pribumi lebih bebas dalam menggunakan tenaga dan tanahnya. Pada masa ini juga pribumi dibebaskan untuk menyewakan atau tidak menyewakan tenaga dan sawahnya kepada para pengusaha. Dalam industri perkebunan liberal harga ditetapkan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak—yakni antara pribumi yang mau menyewakan denga para pengusaha—yang saling berhadapan dengan bebas.

Pertumbuhan industri perkebunan di Hindia Belanda juga dipacu oleh pembuakaan Terusan Suez pada tahun 1869 yang berdampak pada jarak tempuh antara Eropa dengan Hindia Belanda. Perbaikan teknik perkapalan juga mempercepat jalannya kapal. Keadaan ini pada dasarnya membawa pembaharuan transportasi di Hindia Belanda. Pada tahun 1877 mulai dibangun Pelabuhan Tanjung Priok, yang mulai dapat digunakan sejak tahun 1886. Pada tahun 1870 dibuka jalur kereta api antara Solo-Semarang. Dan juga perkembangan telekomunkasi juga berkembang di Hindia Belanda, yakni telegram yang dibuka untuk umum.

Zaman liberal mengakibatkan penetrasi ekonomi yang masuk lebih dalam lagi ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Jawa. Penduduk pribumi di Jawa mulai menyewakan tanah-tanah mereka kepada pihak swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan-perkebunan besar. Berkembangnya perkebunan-perkebunan tersebut memberikan peluang kepada rakyat Indonesia untuk bekerja sebagai buruh perkebunan. Selain itu juga penetrasi di bidang eksport import tekstil yang mematikan kegiatan kerajinan tenun di Jawa. Perkembangan pesat perkebunan-perkebunan teh, kopi, tembakau, dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya berlangsung antara 1870-1885. Selama masa ini mereka mampu meraup keuntungan yang besar dari penjualan barang-barang ini di pasar dunia.

Perkembangan Ekonomi Hindia Belanda pada Masa Liberal

Kaum liberal berharap bahwa dengan dibebaskannya kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintah serta penghapusan segala unsur paksaan dari kehidupan ekonomi akan mendorong perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Cita-cita mereka ini ternyata tercapai, ditandai dengan perkembangan industri-industri sangatlah pesat. Dengan Undang-Undang Agraria 1870 para pengusaha Belanda dan Eropa dapat menyewa tanah dari pemerintah atau penduduk Jawa untuk membuka perkebunan-perkebunan besar.

Industri-industri perkebunan yang mengalami perkembangan pesat adalah perkebunan gula dan tembakau, yang merupakan barang perdagangan ekspor paling penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal dalam jumlah yang besar, maka perkebunan-perkebunan gula dan perkebunan-perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan perlengkapan lainnya untuk meningkatkan produktivitas.

Perluasan area dan kemajuan teknis perkebunan gula ini mengakibatkan kenaikan produksi yang pesat. Pada tahun 1870 luas tanah di pulau Jawa yang ditanami gula seluas 54.176 bahu, sedang pada 1900 telah meningkat menjadi seluas 128.301 bahu. Kemudian produksi gula juga meningkat yakni dari 2.440.000 pikul pada tahun 1870, di tahun 1900 menjadi 12.050.544 pikul. (A. Daliman, 2017: 50)

Perkebunan teh juga mengalami perkembangan yang pesat, terutama pasca dilakukan penanaman teh Asam. Perkebunan tanaman ekspor lainnya yang mengalami produksi pesat adalah tembakau. Pada masa liberal, para pengusaha mendirikan perkebunan-perkebunan tembakau di sekitar Besuki, Jawa Timur. Selain di Besuki, para pengusaha juga mendirikan perkebunan tembakau di Deli, dimulai sejak tahun 1863 yang dipelopori oleh Nienhuys, yang dalam kurun waktu yang relatif singkat dapat mengembangkan dan meningkatkan produksi tembakau Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan tanaman perdagangan lainnya yang mengalami perkembangan pesat selama masa liberal adalah teh, kopra, dan kina.

Perkembangn pesat perkebunan-perkebunan gula, kopi, tembakau, dan tanaman-tanaman lainya ini berlangsung antara tahun 1870 dan 1885. Para pengusaha meraup keuntungan-keuntungan yang besar dari penjualan tanaman perdagangan ini pasaran dunia. Lagi-lagi pembukaan Terusan Suez memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembngan yang pesat ini, karena mengurangi jarak tempuh antara negara penghasil dan pasaran dunia—utamanya di Eropa.

Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai terhambat, hal ini dikarenakan jatuhnya harga-harga gula dan kopi di pasaran dunia. Jatuhnya harga gula di pasaran dunia terutama disebabkan oleh penanaman gula bit atau beet sugar yang mulai ditanam di berbagai negara di Eropa. Pada tahun 1891 harga tembakau di pasaran dunia juga jatuh secara drastis, sehingga membahayakan kelangsungan hidup perkebunan-perkebunan tembakau di Deli.

Krisis perdagangan yang terjadi pada tahun 1885 juga ikut memukul bank-bank perkebunan yang telah meminjamkan uang kepada para pengusaha untuk menjalankan perkebunan-perkebunan tersebut. Bank-bank ini sering bersedia meminjamkan kredit kepada perkebunan-perkebunan tanpa jaminan yang kuat . Akibatnya jatuhnya perkebunan tahun 1885, bank-bank tersebut ikut jatuh juga.

Krisis perdagangan 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan besar tidak lagi menjadi milik perseorangan, tetapi diubah menjadi perseroan-perseroan terbatas. Pimpinan perkebunan bukan lagi pemiliknya secara langsung, tetapi oleh seornag manajer, artinya seorang pengawas yang digaji dan langsung bertanggung jawab kepada direksi perkebunan yang dipilih oleh para pemegang saham.

Pada akhir abad 19 terjadi perkembangan baru dalam kehidupan ekonomi di Hindia Belanda. Sistem liberalisme murni dengan persaingan bebas mulai ditinggalkan dan digantikan dengan suatu tata ekonomi yang lebih terpimpin. Kehidupan ekonomi Hindia Belanda—khususnya Jawa—mulai dikendalikan oleh kepentingan finansial dan industrial di negeri Belanda. Pasca krisis tahun 1885 bermunculan pula perusahaan-perusahaan raksasa yang berbentuk perseroan-perseroan terbatas. Dengan demikian ekonomi Hindia Belanda tidak lagi bersifat individualis, meskipun tetap saja kapitalis yakni dengan mengedepankan keuntungan finansial yang sebesar-besarnya.

Industri-industri perkebunan yang tersebar di Hindia Belanda sangat berkembang pesat pada masa liberal dan sangat menguntungkan bagi pegusaha-pengusaha swasta Belanda dan pemerintah kolonial. Namun, di satu sisi pada masa ini tingkat kesejahteraan pribumi semakin mundur. Harapan para penganut liberal bahwa sistem liberal akan membawa kemakmuran yang lebih tingi bagi pribumi tidaklah terwujud.

Jumlah penduduk yang semakin bertambah sehingga semakin memperbesar tekanan terhadap sumber-sumber bahan pangan. Tanah yang terbaik kualitasnya sudah digunakan, sehingga tanaman-tanaman padi hanya ditanam pada lahan yang tandus saja. Pembebasan petani secara berangsur-angsur dari penanaman komoditi eksport yang sifatnya paksaan hanya menimbulkan sedikit perbaikan, karena pajak tanah dan bentuk-bentuk pembayaran lainnya masih tetap harus diserahkan kepada pemerintah, tetapi sumber penghasilan untuk membayar pajak tersebut telah dihapuskan. Penderitaan itu sangat dirasakan terutama di daerah penanaman kopi, karena lahan yang digunakan untuk menanam kopi tidak dapat digunakan lagi untuk penanaman yang lainnya.

Pada masa liberal, praktik pemerasan terhadap pribumi juga tetap berlangsung. Apabila pada masa tanam paksa tiap-tiap pribumi menerima upah dari pemerintah kolonial sebesar ƒ 45, pada masa liberal para pribumi hanya menerima hasil ƒ 25 dari para pengusaha kapitalis. Politik kolonial liberal ternyata tidak mengubah nasib rakyat. Rakyat malah semakin bertambah miskin. (A. Daliman, 2017: 47)

Krisis perdagangan tahun 1885 juga mempersempit penghasilan penduduk Jawa, baik baik berupa upah yang berlaku bagi pekerjaan perkebunan mauoun yang berupa sewa tanah. Menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat Jawa dapat dilihat pula dari menurunnya angka-angka impor barang-barang konsumsi, seperti tekstil, pada akhir abad ke-19.

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan rakyat Indonesia khususnya Jawa yaitu : a.) Kemakmuran rakyat ditentukan oleh perbandingan antara jumlah penduduk dan faktor-faktor produksi lainnya seperti tanah dan modal. Rakyat Jawa bermodal sangat sedikit sedangkan jumlah penduduk sangat besar. b.) Tingkat kemajuan rakyat belum begitu tinggi, sehingga hanya dijadikan umpan bagi kaum kapitalis. c.) Penghasilan rakyat yang diperkecil dengan sistem verscoot (uang muka). d.) Sistem tanam paksa dihapus, namun diberlakukan sistem batiq saldo. e.) Krisis tahun 1885 mengakibatkan terjadinya penciutan dalam kegiatan pengusaha-pengusaha perkebunan gula yang berarti menurunnya upah kerja dan sewa tanah bagi penduduk.

Referensi:

A. Daliman. 2017. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX. Yogyakarta: Ombak.

Kartodirjo, Sartono. 2014. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Yogyakarta: Ombak.

Marwati Djoened Poesponegoro, N. N. (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Moedjanto, M. (1989). Indonesia Abad Ke-20 1 : Dari kebangkitaan Nasional sampai Linggarjati. Yogyakarta: KANISIUS.

Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.


Posting Komentar untuk "Masa Liberal Hindia Belanda (1870-1900)"