Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Perjalanan Tiongkok Menjadi Negara dengan Pendapatan Industri Terbesar di Dunia

Ilustrasi: Sejarahkita.com


Oleh: Fastabiqul Hakim

Republik Rakyat Tiongkok menjadi negara dengan populasi penduduk paling banyak di dunia. Penduduknya pun bahkan melebihi satu milyar jiwa. Wilayah teritorialnya juga cukup luas yang juga sampai meliputi wilayah Tibet dan Manchuria. Dilihat dari ciri-ciri tersebut, Tiongkok merupakan negara yang besar. 

Namun, keunggulan Tiongkok tidak hanya pada jumlah penduduk dan geografinya, melainkan juga pada sektor ekonominya. Tiongkok bisa kita lihat sekarang ini, menjadi salah satu negara dengan pendapatan yang sangat luar biasa. Menurut data IMF, pada tahun 2019 Tiongkok memiliki Produk Domestik Bruto sebesar US$14,14 triliun, terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. 

Kemajuan ekonomi Tiongkok ini salah satunya didorong oleh perdagangan internasional yang besar. Dari sektor perdagangan, Tiongkok mampu melakukan kegiatan ekspor yang cukup besar. Pendapatan yang didapat dari aktivitas ekspor ini bahkan mendapat posisi pertama di dunia pada tahun 2018. Saat itu dari data WTO, Tiongkok mengekspor 16,2% dari seluruh total kegiatan ekspor dunia, yang diikuti oleh Uni Eropa pada posisi kedua, dan Amerika Serikat di posisi ketiga. 

Ekonomi Tiongkok yang luar biasa tersebut tidak terlepas dari peran sektor industri. Tiongkok saat ini menjadi negara dengan hasil produksi terbesar di dunia. Menurut data di brookings.edu, Tiongkok berada di peringkat pertama negara dengan hasil produksi terbesar di dunia. Tiongkok memiliki hasil produksi yang mencapai US$2.010 milyar atau sebesar 20% dari total seluruh hasil produksi di dunia. 

Hal tersebut dapat mudah untuk dibuktikan dengan banyaknya produk-produk yang bertuliskan Made in Tiongkok atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “Dibuat di Tiongkok”. Bahkan produk-produk hasil buatan Tiongkok ini dapat ditemukan di berbagai dunia. Mulai dari produk kecil, seperti mainan anak-anak dan perabotan rumah tangga sampai ke produk elektronik dan otomotif, semua kebanyakan merupakan hasil produksi Tiongkok. 

Industri di Tiongkok ini sangat berkembang dengan pesat. Di dorong juga dengan banyaknya investasi di Tiongkok. Perusahaan-perusahaan besar di dunia seperti Apple, Microsoft, Google, dan Samsung pun membangun pabrik dan memproduksi produknya di Tiongkok. Produksi Tiongkok menjadi semakin besar dan semuanya juga sukses di pasar internasional.

Industri Tiongkok pada Masa Pemerintahan Mao Zedong

Mao Zedong, merupakan pendiri sekaligus pemimpin pertama dari Partai Komunis Tiongkok. Ia memulai masa pemerintahannya pada tanggal 1 Oktober 1949. Pada awal pemerintahannya ini, Mao bertujuan untuk memodernisasikan Tiongkok.  

Ketua partai Mao dan perdana menteri negara bagian Zhou Enlai melakukan perjalanan ke Moskow pada awal 1950 untuk menegosiasikan perjanjian persahabatan dan untuk mengamankan bantuan Soviet dalam modernisasi Tiongkok. Akibatnya, 20.000 anak muda Tiongkok pergi ke Uni Soviet untuk pelatihan, dan Soviet mengirim 10.000 ilmuwan dan insinyur ke Tiongkok untuk memberikan bantuan teknis dan saran dalam pembangunan jalan, bendungan, jembatan, dan pabrik baru. (Ropp, 2010: 136) 

Kebijakan Mao selanjutnya yaitu, setiap orang di Tiongkok saat itu dikelompokkan menjadi bagian dari "unit kerja" (danwei). Pabrik, sekolah, perusahaan perdagangan, desa, dan peternakan semuanya diorganisir menjadi unit kerja, dan setiap unit kerja berada di bawah pengawasan Partai Komunis. Unit kerja mengontrol setiap aspek kehidupan seseorang: gaji, perumahan, perawatan medis, dan sebagainya. Tidak ada yang bisa pindah, berganti pekerjaan, atau menempuh jarak berapa pun tanpa izin dari unit kerja. Dengan demikian, Partai Komunis Tiongkok menjalankan kontrol atas kehidupan orang-orang yang tidak pernah terbayangkan di bawah kaisar terkuat di masa lalu. (Ropp, 2010: 139) 

Mao kemudian menyerukan Kampanye Anti-Rightis dengan mengirim 400.000 hingga 700.000 intelektual ke kamp kerja paksa, mengakhiri karier mereka dan merampok banyak kaum berpendidikan negara terbaik. Pada saat yang sama ketika dia menyerang para intelektual, Mao menjadi tidak sabar dengan kekurangan dalam perekonomian. Pada tahun 1958, dia menyerukan kampanye ekonomi baru secara besar-besaran. 

Memimpin sebagian besar ekonomi pertanian, pemerintah harus membiayai industrialisasi dengan mengekstraksi setiap kemungkinan surplus dari produksi pertanian. Beberapa surplus dicapai pada awal 1950an dengan memulihkan perdamaian, kolektivisasi, dan merebut kembali tanah baru. Tetapi ekonomi tidak tumbuh cukup cepat untuk memuaskan Mao, dan dia terganggu oleh apa yang dia lihat sebagai kesenjangan yang tumbuh antara ekonomi industri perkotaan dan ekonomi pertanian pedesaan. (Ropp, 2010: 140) 

Karena itu, pada tahun 1958 Mao mengumumkan kampanye baru, Lompatan Jauh ke Depan, yang dia janjikan akan meluncurkan Tiongkok ke jajaran terdepan dunia industri dalam beberapa tahun. Partai Komunis 

Tiongkok bergerak untuk mengumpulkan pertanian sepenuhnya, menghapus semua plot pribadi, dan menyerukan industrialisasi pedesaan oleh para petani sendiri. Kader pedesaan memobilisasi petani pada bulanbulan musim dingin untuk membangun bendungan, jalan, saluran irigasi, dan lapangan bertingkat. Mereka mengarahkan para petani untuk membuat mesin mereka sendiri, untuk melebur baja di tungku halaman belakang mereka sendiri — untuk mengindustrialisasi negara dari bawah ke atas sekaligus. Gerakan ini memiliki target/tujuan yang terdiri dari: 

  1. menyaingi produksi besi Amerika Serikat dalam waktu 8 tahun, 
  2. menyaingi industri berat Inggris dalam waktu 15 tahun, 
  3. mendahului Uni Soviet memiliki pengalaman dalam pembangunan sosialis terencana dan memiliki modal, ilmu dan teknologi dalam mewujudkan masyarakat komunis melalui semangat Mao dan tenaga kerja yang besar. (Agung, 2012 : 47) 

Namun gerakan ini sepenuhnya mengalami kegagalan. Gerakan ini tidak realistis dan terkesan terlalu tergesa-gesa. Produksi industri tidak dapat terpenuhi karena kurangnya tenaga ahli dan buruh-buruh yang berpengalaman. Akibatnya banyak rakyat yang menderita dan mengalami kelaparan. Perencanaan yang kurang matang dan tidak realistis ini membuat Gerakan Lompatan Jauh ke Depan gagal.  

Dapat dilihat di masa pemerintahan Mao Zedong, Tiongkok sudah memiliki ambisi dalam sektor industri. Tenaga kerja yang banyak ternyata tidak dapat mendukung dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan Mao. Produksi besar-besaran pun hanya membuat rakyat kelaparan dan menderita. Namun, ini yang menjadi awal dari perkembangan industri di Tiongkok.

Industri Tiongkok pada Masa Pemerintahan Deng Xiaoping

Sepeninggalnya Mao Zedong pada tanggal Deng Xiaoping menjadi tokoh penting dalam memelopori  pembaharuan Ekonomi RRT. Deng Xiaoping  berprinsip komunis, namun dalam menjalankan pembaharuan ekonomi menerapkan kebijakan yang mengarah pada prinsip-prinsip Liberal. Kehadiran Deng Xiaoping memperbaiki segala sistem yang terbengkalai masa kepemimpinan Mao Zedong. Deng kembali diberikan posisi sebagai wakil perdana menteri tahun 1973, karena Xiaoping dianggap sebagai agen perubahan bagi kemajuan perekonomian Tiongkok. Sepeninggal Mao Zedong pada tanggal 9 September 1976 membuat Deng Xiaoping secara bertahap muncul sebagai pemimpin pengganti. Kekuasaan tersebut menjadi tonggak awal perubahan ekonomi Tiongkok yang diprakarsai Deng Xiaoping 

Dalam pemerintahannya Deng Xiaoping menerapkan kebijakan yang disebut sebagai “Four Modernization”. Kebijakan ini merupakan modernisasi dalam empat bidang di antaranya, bidang agrikultur, industri, IPTEK, dan militer. Deng Xiaoping juga berpendapat bahwa tujuan utama Partai Komunis adalah membuat Tiongkok makmur. 

Dalam “Four Modernization” ini Tiongkok kembali melihatkan keseriusannya mengelola sektor industri. Sektor ini dianggap penting sebagai sebuah pembaruan dan juga ditujukan untuk menyerap tenaga kerja Tiongkok yang cukup banyak. Bentuk modernisasi ini meliputi instalasi pemerintahan tidak diperkenankan mengelola kegiatan bisnis, pengaturan harga produksi disesuaikan dengan mekanisme pasar, prioritas tinggi pada usaha kecil menengah. 

Modernisasi di bidang industri ini dilakukan dengan mengandalkan mekanisme pasar yang selaras dengan alat yang digunakan untuk merangsang produksi dan meningkatkan efisiensi yaitu negara. Selain itu juga dilakukannya percobaan-percobaan baru yang lebih efisien dalam pengaturan industri yang diharapkan akan meningkatkan produktivitas. (Agung, 2012: 71) 

Pada 1984, modernisasi industri dilanjutkan secara lebih lanjut. Ini ditetapkan dalam Sidang Pleno Komite Sentral PKT ke XII pada tanggal 20 Oktober 1984 yang menyatakan mengenai perombakan struktur ekonomi perkotaan, khususnya yang berhubungan dengan kehidupan sektor ekonomi modern. Dinyatakan pembaharuan harus dilaksanakan karena struktur ekonomi lama tidak membedakan antara fungsi pemerintah dengan fungsi dunia usaha. Perbaikan gaji dalam badan pemerintahan dilakukan pada 1985. Pejabat pemerintahan tidak diperkenankan mengelola dan menjalankan kegiatan bisnis. Mereka diperankan sebagai penjelas arah perekonomian nasional. Pengaturan harga produksi ditentukan oleh negaranegara yang didistribusikan kepada perusahaan-perusahaan yang disesuaikan dengan mekanisme pasar. Di samping itu, pemerintah Tiongkok juga memberikan prioritas tinggi kepada usaha-usaha kecil dan menengah yang pada kebanyakan bergerak di industri-industri seperti kebutuhan rumah tangga. (Agung, 2012: 74) 

Pemerintah RRT saat itu sadar mengenai pentingnya keterbukaan di dunia internasional dalam rangka mendukung modernisasi khususnya pada bidang industri. Maka dari itu, diterapkannya kebijakan Open Door atau Kaifang yang artinya Kebijakan Pintu Terbuka. Ini mendorong masuknya investasi-investasi asing ke Tiongkok. Ini ditandai dengan dibukanya kawasan khusus SEZs yang merupakan empat kota terdiri dari Shenzen, Shuhai, Shantou, dan Xiamen. Kawasan SEZs digunakan untuk menarik investor asing dan kawasan ini digunakan sebagai lokasi pabrik dan kegiatan enterpreneurship lainnya. 

Politik yang terbuka dari Deng Xiaoping saat itu memberi dampak hingga sekarang. Tiongkok semenjak saat itu mendapat banyak investasi dan perusahaan-perusahaan asing pun banyak yang mendirikan pabriknya di kawasan SEZs. Bahkan perusahaan-perusahaan asing tersebut kebanyakan merupakan perusahaan besar dan memiliki pasar yang besar juga. Selain itu dampak yang terjadi mendorong proses modernisasi yang di antaranya, memajukan IPTEK, masuknya teknologi Barat, dan teknik produksi yang lebih efisien.  

Hasil dari modernisasi industri Tiongkok ini sangat mengesankan. Antara 1978 dan 1990, pangsa barang-barang konsumen yang harganya ditentukan oleh pasar naik dari nol menjadi 70 persen; hasil industri secara keseluruhan naik enam kali lipat; pangsa produksi industri BUMN turun dari 78 persen menjadi 54 persen; dan ekspor tahunan meningkat drastis, dari sekitar US$10 miliar menjadi US$62 miliar. Dalam dekade pertama reformasi (1979–1988), ekonomi tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata 10 persen per tahun, hampir sama dengan Jepang selama periode "keajaiban" industri lepas landas pada 1950-an. (Kroeber, 2016: 48)

Industri Tiongkok pada Masa Pemerintahan Hu Jintao

Selama pemerintahan presiden Hu Jintao (2003-2012), kebijakan industri menjadi lebih statis, karena pemerintah mempromosikan proyek infrastruktur berskala besar, memberikan perlindungan tambahan bagi BUMN, dan memperlambat laju reformasi pasar. Meskipun demikian, FDI dan ekspor tumbuh lebih cepat daripada dekade sebelumnya, bukan karena apa pun yang dilakukan pemerintah tetapi karena badai sempurna dari kondisi yang menguntungkan. Masuknya Tiongkok ke WTO pada akhir 2001 memberikan akses yang lebih luas ke pasar dunia; relokasi sebagian besar kapasitas perakitan elektronik Taiwan ke daratan memungkinkan eksportir yang berbasis di Tiongkok mendapatkan keuntungan yang tidak proporsional dari ledakan permintaan global untuk komputer dan telepon seluler; dan ekonomi dunia tumbuh sebesar 5 persen setahun pada tahun 2003-2007, jauh di atas rata-rata jangka panjang. Antara 2001 dan 2008, ekspor Tiongkok tumbuh pada tingkat yang mencengangkan sebesar 27 persen per tahun, naik enam kali lipat dari US$266 miliar menjadi US$1,4 triliun. (Kroeber, 2016: 50) 

Namun, kebijakan industri pemerintah tidak berfokus pada promosi ekspor. Perhatian utamanya adalah untuk mengkonsolidasikan sektor negara, memfasilitasi infrastruktur, dan memungkinkan perusahaan Tiongkok untuk mendapatkan kembali pangsa pasar dari perusahaan asing yang masuk ke negara itu selama dekade sebelumnya. BUMN terbesar direorganisasi di bawah badan pemerintah pusat dengan mandat untuk mengubahnya menjadi juara global. Rencana pembangunan daerah padat infrastruktur seperti “Kembangkan Barat” dan “Revitalisasi Timur Laut” bertujuan untuk menyebarkan hasil pertumbuhan ekonomi di luar provinsi pesisir yang makmur, yang telah menuai hampir semua manfaat dari model FDI /ekspor. (Kroeber, 2016: 50) 

Upaya pembangunan ini sejalan dengan lonjakan konstruksi yang dipicu oleh privatisasi pasar perumahan perkotaan. Akibatnya, permintaan bahan dasar seperti baja, semen, dan kaca melonjak, dan Tiongkok mungkin mengalami ledakan industri berat terbesar dalam sejarah dunia. Dari tahun 2000 hingga 2014, produksi baja Tiongkok naik hampir tujuh kali lipat, dari 129 menjadi 823 juta ton, di mana saat itu Tiongkok memproduksi sekitar setengah dari baja dunia dan lebih dari tujuh kali lipat dari produsen terbesar kedua, Jepang. Selama periode yang sama, produksi semen hampir empat kali lipat dari sekitar 600 juta menjadi lebih dari 2,2 miliar ton per tahun, dan sekali lagi Tiongkok bertanggung jawab atas sekitar setengah dari produksi dunia. Booming infrastruktur dan perumahan mencapai puncaknya secara alami sekitar tahun 2008-2009, tetapi diperpanjang selama beberapa tahun oleh kebijakan stimulus ekonomi yang diluncurkan pemerintah setelah krisis keuangan global tahun 2008. Hasil akhirnya adalah Cina berakhir dengan kelebihan pasokan perumahan dan kelebihan kapasitas di banyak industri berat. (Kroeber, 2016: 50) 

Unsur yang sangat kontroversial dari strategi industri Hu dan Wen adalah upaya untuk membuat perusahaan Tiongkok menjadi lebih inovatif, di bawah bendera kebijakan "Inovasi Pribumi" yang diluncurkan pada tahun 2006. Kebijakan ini termasuk subsidi untuk penelitian dan pengembangan (Litbang) di beberapa industri prioritas berteknologi tinggi, penghargaan atas pengajuan paten dan pembuatan standar teknis, dorongan bagi perusahaan domestik dan kantor pemerintah untuk membeli produk buatan Cina, dan, yang paling kontroversial, persyaratan yang lebih kuat untuk perusahaan asing untuk mentransfer teknologi kunci ke perusahaan lokal sebagai syarat agar diizinkan berinvestasi di Tiongkok. Dinilai sebagai kebijakan inovasi, Inovasi Pribumi menghasilkan sedikit keuntungan yang terlihat, selain peningkatan pengajuan paten yang sebagian besar tidak berharga. Sebagai upaya kuasi-proteksionis untuk meningkatkan pangsa pasar perusahaan Tiongkok dalam industri padat teknologi, hal itu mungkin berdampak. Pangsa perusahaan asing dalam ekspor teknologi tinggi mencapai puncaknya mendekati 90 persen pada tahun 2005, dan sejak itu turun menjadi sekitar 70 persen. Namun, sulit untuk mengatakan seberapa besar pergeseran ini berutang pada kebijakan dan seberapa besar pematangan perusahaan teknologi pribadi milik Tiongkok. (Kroeber, 2016: 51) 

Industri Tiongkok pada Masa Pemerintahan Xi Jinping 

Xi Jinping secara resmi terpilih sebagai sekretaris jenderal dan ketua CMC pada sesi pertama Komite Sentral Kedelapan Belas, yang berlangsung pada tanggal 15 November 2012, sehari setelah selesainya Kongres Partai Kedelapan Belas. Selama konklaf selama seminggu, 2.270 delegasi yang mewakili 85 juta anggota PKT bertemu untuk konvensi lima tahunan mereka untuk memilih 205 anggota penuh dari Komite Sentral yang berkuasa, serta 171 anggota Komite Sentral alternatif, atau tidak memilih. (Lam, 2015: 5) 

Di tahun 2013, industri Tiongkok menghadapi sejumlah masalah. Industri berat membengkak karena kelebihan kapasitas dan terlalu banyak produksi masih dikendalikan oleh perusahaan negara, yang jauh lebih tidak efisien dan menguntungkan daripada perusahaan swasta. Kemampuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan meningkatkan produksi industri sangat terkuras. Sebagian besar ekonom, baik Tiongkok maupun asing, setuju bahwa pemerintah perlu mengurangi penekanan pada industri berat dan berbuat lebih banyak untuk mempromosikan layanan, sehingga investasi dapat menjadi lebih berorientasi pasar dan efisien, merasionalisasi BUMN yang luas, dan menciptakan lebih banyak ruang untuk perusahaan swasta. (Kroeber, 2016: 51) 

Pada November 2013, partai tersebut menerbitkan paket proposal reformasi yang tampaknya menangani sebagian besar masalah ini. Slogan intinya adalah bahwa kekuatan pasar akan memainkan peran "menentukan" dalam alokasi sumber daya, peningkatan dari peran "penting" yang ditetapkan ke pasar dalam dokumen partai sebelumnya. Ini juga menjanjikan deregulasi lebih lanjut, lebih banyak ruang untuk perusahaan swasta, dan reformasi BUMN melalui pengenalan pemegang saham swasta. (Kroeber, 2016: 51) 

Sejauh menyangkut kebijakan industri, agenda reformasi ini tampaknya merupakan penyempurnaan dari arah umum selama tahun-tahun Hu, dan bukan keberangkatan yang menentukan. Reformasi pasar seperti deregulasi dan liberalisasi harga diperkenalkan dengan sangat lambat, dan tampaknya jelas bahwa peran BUMN yang dikendalikan secara terpusat di sektor-sektor utama pada dasarnya tidak akan berubah. Industri berat akan terus didukung oleh investasi infrastruktur, sebagian di Tiongkok tetapi semakin meningkat di pasar lain. Di bawah inisiatif "One Belt, One Road", Tiongkok berupaya menjadi ujung tombak ratusan miliar dolar dalam infrastruktur transportasi baru (jalan raya, jalur kereta api, jaringan pipa, dan pelabuhan) di sepanjang dua rute, satu rute darat melalui Asia Tengah ke Eropa, dan lainnya jalur laut melalui Asia Selatan dan Tenggara ke Timur Tengah. (Kroeber, 2016: 52) 

Salah satu perubahan signifikan adalah strategi manufaktur berlabel "Made in China 2025", yang dirilis pada Mei 2015. Sebagian terinspirasi oleh rencana "Industri 4.0" Jerman tahun 2013 (yang bertujuan untuk meningkatkan industri melalui penggunaan teknologi informasi yang sistematis), Made in China 2025 adalah serangkaian program untuk meningkatkan kualitas dan tingkat teknologi manufaktur Tiongkok. Ini lebih luas dan lebih canggih daripada strategi Inovasi Pribumi, yang dalam hal ini menetapkan tujuan untuk berbagai industri tradisional dan maju dan menangani seluruh rantai proses manufaktur, daripada berfokus secara sempit pada inovasi dan segelintir industri teknologi tinggi seperti yang dilakukan saat Inovasi Pribumi. Akibat cakupan yang lebih luas ini, dan seruan yang lebih kuat untuk menggunakan mekanisme pasar, Made in China 2025 memiliki peluang lebih baik untuk memberikan hasil daripada Inovasi Pribumi, dan dipandang tidak terlalu mengancam oleh perusahaan dan pemerintah asing. Tapi itu juga memiliki komponen nasionalis. Salah satu targetnya adalah meningkatkan kandungan dalam negeri dari komponen dan bahan penting menjadi 40% pada tahun 2020 dan menjadi 70% pada tahun 2025. (Kroeber, 2016: 52) 

Tiongkok mengalami perkembangan industri yang begitu cepat dengan hasil yang tinggi. Sektor industri terbukti menjadi andalan Tiongkok sebagai pemasok pendapatan negara. Majunya industri di Tiongkok tidak lepas dari beberapa faktor yang menentukan. 

Pertama, berubahnya Tiongkok dari negara yang tertutup dan anti-Barat menjadi negara yang terbuka. Ini merupakan hasil dari kebijakan Deng Xiaoping yang sangat berperan menentukan arah industri Tiongkok. Dari politik terbuka Tiongkok yang terus diterapkan hingga sekarang menumbuhkan investor-investor asing untuk berinvestasi di Tiongkok. 

Kedua, peran para investor asing sangat menentukan berkembangnya industri di Tiongkok. Mereka selain berinvestasi juga memberikan profit lain yaitu sebagai pemicu berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di Tiongkok. Dari adanya investor dan IPTEK yang dikenalkan tersebut, Tiongkok mulai bisa memproduksi sendiri dan melakukan berbagai riset yang bahkan hasilnya bisa lebih baik dari pada produk-produk Barat. 

Ketiga, sumber daya Tiongkok yang sangat memadai. Tiongkok selain memiliki kebijakan politik terbuka, memiliki sumber daya yang besar juga menjadi daya tarik bagi para investor. Sumber daya baik berupa alam maupun manusia di Tiongkok sangat banyak dan murah. Hal tersebut dapat mengurangi biaya produksi dari produk-produk yang dihasilkan milik para investor. Sumber daya ini juga dimanfaatkan sendiri oleh Tiongkok dalam melakukan pembangunan dan pengembangan industri dalam negeri. Ini yang membuat produk Tiongkok laris di pasar internasional, banyak negara yang lebih memilih mengimpor barang jadi dari Tiongkok dari pada memproduksi sendiri karena produk-produk yang mereka buat masih kalah murah dari produk-produk “Made in China”. 

Begitulah, perkembangan dan faktor-faktor yang menentukan betapa majunya sektor industri di Tiongkok. Walaupun sempat gagal pada masa pemerintahan Mao Zedong, Tiongkok terus bangkit dan semakin berkembang selalu ke arah yang lebih maju. Bahkan sudah banyak literatur yang memprediksi bahwa di masa depan Tiongkok akan menguasai dunia.

Kesimpulan

Tiongkok banyak mengandalkan pada sektor industri, terutama industri manufaktur. Dengan sektor industri Tiongkok dapat melakukan aktivitas perdagangan berupa kegiatan ekspor yang cukup besar. Di tahun 2018, Tiongkok menjadi negara di peringkat pertama dengan kegiatan ekspor sebanyak 16,2% dari seluruh total kegiatan ekspor dunia menurut WTO

Pembangunan industri Tiongkok selalu berkembang dari setiap pergantian kekuasaan. Di awal RRT berdiri sektor industri belum begitu maju. Mao Zedong dalam membangun industri Tiongkok, ia menerapkan kebijakan “Lompatan Jauh ke Depan” yang mengalami kegagalan. Kemudian di era Deng Xiaoping yang mulai bangkit dan mengalami banyak kemajuan. Dengan adanya kebijakan Kaifang yang membuat banyak investor asing masuk ke Tiongkok.  

Selanjutnya pada masa pemerintahan Hu Jintao, kebijakan industri menjadi lebih statis, pemerintah mempromosikan proyek infrastruktur berskala besar, dan memperlambat laju reformasi pasar. Terakhir masa pemerintahan Xi Jinping terdapat sedikit masalah, industri berat membengkak karena kelebihan kapasitas dan terlalu banyak produksi masih dikendalikan oleh perusahaan negara. Namun mulai menuju ke arah yang signifikan setelah adanya Made in China 2025 yang merupakan serangkaian program untuk meningkatkan kualitas dan tingkat teknologi manufaktur Tiongkok.  

Tiongkok dapat membangun industri yang sangat besar hingga saat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Industri di Tiongkok berkembang karena politik Tiongkok yang terbuka, banyaknya investor asing, sumber daya yang melimpah dan murah, serta majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Referensi:

Agung, Leo. (2012). Sejarah Asia Timur 2. Yogyakarta: Ombak.

Amadeo, Kimberly. (2020). China's Economy and Its Effect on the U.S. Economy. China Economy: Facts, Effect on U.S. Economy (thebalance.com). Diakses pada 10 Desember 2020.

Economy, E. C. (2018). China's new revolution: The reign of Xi Jinping. Foreign Aff., 97, 60.

Kroeber, A. R. (2016). China's Economy: What Everyone Needs to Know. Oxford University Press.

Lam, W. W. L. (2015). Chinese politics in the era of Xi Jinping: Renaissance, reform, or retrogression?. Routledge.

Ropp, P. S. (2010). China in World History. Oxford University Press.

Suwardana, H. (2018). Revolusi Industri 4. 0 Berbasis Revolusi Mental. JATI UNIK: Jurnal Ilmiah Teknik Dan Manajemen Industri, 1(2), 109-118.

West, Darell M. dan Lansang, Christian. (2018). Global Manufacturing Scorecard: How the US Compares to 18 Other Nations. Global manufacturing scorecard: How the US compares to 18 other nations (brookings.edu). 

Diakses pada 13 Desember 2020.

World Integrated Trade Solution. (2019). China Exports, Imports, and Trade Balance by Country-2018.  China trade balance, exports, imports by country and region 2018 | WITS Data (worldbank.org). Diakses pada 10 Desember 2020. 








Posting Komentar untuk "Perjalanan Tiongkok Menjadi Negara dengan Pendapatan Industri Terbesar di Dunia"