Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam


Oleh: Taupik Rahman

Secara sederhana ekonomi Islam adalah pengetahuan tentang aktivitas ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam. Al-Quran dan Hadits menjadi referensi utama dalam melakukan aktivitas ekonomi yang sesuai dengan syariat. Tidak hanya sebatas bagaimana melakukan ibadah kepada Allah Swt. semata tetapi Islam mengatur berbagai interaksi manusia dalam menjalankan hidupnya.

Ekonomi Islam bukanlah sistem ekonomi yang lahir beberapa tahun lalu namun telah ada sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW. menjadi seorang rasul di muka bumi ini. Nabi meletakkan dasar-dasar dan aturan perekonomian setelah beliau hijrah ke Madinah dan menjadi kepala negara di sana. Dasar-dasar ekonomi Islam yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadist bersifat umum karena praktek ekonomi akan selalu berubah dan berkembang mengikuti waktu.

Pada awal berkembangnya, Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara, mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan salah satunya mengenai perekonomian. Setelah Nabi wafat kemudian kebijakan-kebijakannya menjadi pedoman bagi para khalifah setelahnya untuk memutuskan masalah-masalah ekonomi yang ada saat itu. Begitu pula generasi setelahnya dari abad pertengahan sampai zaman moderen ini muncul berbagai pemikiran ekonomi Islam yang berawal dari semakin berkembang pesatnya interaksi manusia dalam bidang ekonomi.

Seorang pemikir ekonomi Islam yang bernama M. Nejatullah Siddiqi, membagi periodesasi pemikiran ekonomi Islam menjadi tiga bagian, diantaranya abad klasik, abad pertengahan, dan abad kontemporer. Abad klasik adalah fase pertama atau awal Islam  ketika Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul hingga abad ke 11 M Fase kedua adalah abad pertengahan yang merupakan fase yang dimulai dari abad 11 M hingga abad 15 M. Dan terakhir menurut M. Nejatullah Siddiqi adalah abad kontemporer yang berada diantara rentang abad 15 M hingga abad 20 M.

Para cendikiawan muslim berusaha mengeluarkan pemikirannya tentang ekonomi yang berazaskan pada syariat Islam dalam merespon berbagai permasalahan ekonomi umat dari generasi ke generasi. Seiring berkembangnya pemikiran ekonomi dari cendikiawan muslim menjadikan pertanda bahwa berkembangnya ekonomi Islam. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi Islam di dunia dari abad kalsik sampai dengan sekarang.

Abad Klasik (1 H/6 M - 5 H/11 M)

Fase pertama atau masa klasik merupakan fase awal lahirnya Islam hingga abad ke 5-H atau sekitar abad ke-11 M yang dikenal dengan fase dasar-dasar ekononomi Islam yang di rintis oleh para fuqaha lalu diikuti oleh para sufi dan para filosof muslim. Pemaparan ekonomi para fuqaha dan ahli hadits pada masa ini mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara soal prilaku yang adil, kebijakan yang baik serta batasan-batasan yang diperbolehkan dalam masalah dunia.

Para fuqoha mendiskusikan penomena ekonomi dengan mengacu kepada al-Qur’an dan Hadist nabi, mereka mengeksplorasi kosep maslahah dan mafsadah yang terkait dengan aktivitas ekonomi. 

Kontribusi taSAWuf terhapat pemikiran ekonomi saat itu adalah mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus pada kesempatan yang diberikan oleh Allah Swt., dan tetap hidup dalam prinsip kesederhanaan.

Sementara itu, filosof muslim dengan tetap berazazkan syariah Islam dalam keseluruhan pemikiranya, mengikuti para pendahulunya dari Yunani terutama Aristoteles yang fokus pembahasannya tertuju pada kebahagiaan (sa’adah) dalam arti yang luas.

Sebagian pemikir abad ini memiliki padangan bahwa negara tidak memiliki hak  untuk mengatur naik turunnya harga namun negara memiliki kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat melalui kebijakan pemerintahannya. Sementara itu untuk kepemilikan, mereka mengakui hak kepemilikan individu namun melarang kepemilikan barang yang bersifat milik bersama. Dalam hal produksi, sektor pertanian menjadi konsentrasi utama dalam sebuah negara. Sedangkan dalam hal distribusi, negara penting dalam membangun infrastruktur dengan menerapkan prinsip bijak, merata dan aspek urgenitas.

Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada pase pertama ini antara lain, diwakili oleh Zaid bin Ali (w.80-H/738 M), Abu Hanafiah (w. 150. H/767 M), Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Al- Syaibani (w.189 H/804 M), Abu Ubaid bin Sallam (w.224 H/838 M), Harits bin Asad al- Muhasibi (w.243H/858 M), Junaed al Baghdadi (297 H/910 M), Ibnu Maskawai (w.421H/1030 M), Al-Mawardi (450H/1058M).

Abad Pertengahan (5 H/11 M - 9 H/15 M)

Fase kedua atau masa pertengahan merupakan fase sekitar abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 M yang disebut juga sebagai fase cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Pada masa ini wilayah kekuasaan Islam yang terbentang dari Maroko dan Spanyol di Barat hingga Hindia di Timur telah melahirkan berbagai pusat intelektual. 

Ciri khas pemikiran ekonomi pada masa ini adalah para cendekiawan Muslim mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berlandaskan al-Quran dan al-Hadits. 

Pemikir ekonomi pada abad ini memiliki pandangan yang sedikit sama dengan fase pertama bahwa negara hanya boleh mengeluarkan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat dan tidak memiliki hak untuk mengendalikan harga. Sementara itu, dalam hal produksi mereka berpendapat bahwa faktor utama produksi adalah tenaga manusia dengan penghasilan utama adalah perdagangan internasional, selain itu kerja secara bersamaan sesuai dengan keahlian dianggap perlu untuk meningkatkan agregat perekonomian. Dalam hal pendistribusian harta, prinsip pemerataan merupakan hal yang diutamakan dan semakin banyak negara membelanjakan harta maka semakin baik pula perekonomian sebuah negara.

Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada masa ini diwakili oleh Al Ghazali (w. 505 H/ 111 M), Ibn Taimiyah (w. 278 H/ 1328 M), Al Syaitibi (w. 790 H/ 1388 M), Ibn Khaldun (w. 808 H/ 1404), dan Al Maqrizi (845 H/ 1441 M).

Abad Kontemporer (9 H/15 M - 14 H/20 M)

Fase ketiga menurut M. Nejatullah Siddiqi dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 M yang juga menjadi pertanda fase dimana ditutupnya pintu ijtihad yang menyebabkan fase ini disebut sebagai fase stagnasi. Pada periode ini para fuqaha hanya menulis catatan-catatan dari para imam madzhab pendahulunya serta mengeluarkan madzhab sesuai dengan kaidah-kaidah dari masing-masing madzhab.

Pemikiran ekonomi pada masa ini sedikit menarik karena para sarjana ekonomi muslim memiliki pandangan yang lebih luas karena pesatnya perkembangan ilmu ekonomi di dunia barat terlebih sejak munculnya Adam Smith sebagai bapak pasar bebas.

M. Nejatullah Siddiqi membatasi fase ketiga ini pada tahun 1932 M, namun pada kenyataannya setelah tahun itu masih banyak juga muncul tokoh pemikiran dalam ekonomi Islam, seperti yang populer Muhammad Abdul Mannan, Monzer Khaf, dan Muhammad Baqr al-Sadr.

Para ekonom Muslim dihadapi dengan permasalahan pembangunan dan perekonomian yang rumit dari negaranya yang baru merdeka disebabkan negara muslim secara fakto berhasil membebaskan diri dari cengkraman imprealisme dan kolonialisme Barat sekitaran abad ke-20. Munculnya para pemikir Islam sendiri tak lain karena mulai kendurnya cengkraman kolonialisme dan imprialisme yang dilakukan oleh Brata kepada negara-negara Islam.

Pada situasi yang sama, ekonomi Islam dan keuangan Islam mulai memperlihatkan sosoknya sebagai suatu alternatif baru yang diambil dari sari pati ajaran Islam. Era 1970-an dan 1980-an dimulai dari kajian-kajian tentang ekonomi dan keuangan Islam di Timur Tengah serta Negara Muslim lainnya. Adapun hasil dari kajian tersebut adalah terbentuknya IDB (Islmaic Development Bank) di Jeddah pada tahun 1975 yang kemudian diikuti oleh bank-bank Islam lainnya.

Pemikiran ekonom muslim pada masa ini memiliki pandangan yang sama bahwa negara harus mensejahterakan rakyatnya melalui kebijakan dan jaminan sosial. Sementara itu untuk kepemilikan mereka mengakui hak kepemilikan individu namun melarang kepemilikan barang yang bersifat milik bersama. Untuk produksi, menurut mereka bersumber dari alam, modal dan tenaga kerja. Dan untuk konsep distribusi memegang prinsip pemertaan, tanggung jawab timbal balik, negara sebagai distributor harta zakat, dan antara produksi dan konsumsi harus memperhatikan aspek kemaslahatan dan kesesuaian dengan hukum syar’i.

Berikut para pakar ekonomi yang menghiasi pemikiran pada masa ini yaitu Jamaludin al Afghani (w. 1315 H/ 1897 M), Muhammad Abduh (w. 1320 H/ 1905 M), Muhammad Iqbal (w. 1357 H/ 1938 M).49 Muhammad Baqir al-Sadr, Muhammad Abdul Mannan, Monzer Khaf, Muhammad Nejatullah Siddiqi, Muhammad al-Ghazali, Sayyid Qutb, Ummar Chapra, Dr. Muhammad Abdullah Darraj, dan masih banyak lagi.



Posting Komentar untuk "Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam"