Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sejarah Politik Apartheid di Afrika Selatan (1948-1994)

Ilustrasi Politik Apartheid/ Adien Tsaqif Wardhana

Oleh: Bonaventura Marsev

Aparteid berasal dari Bahasa Afrika, yang diambil dari kata apart dan heid. Apart memiliki arti memisah sedangkan heid berarti sistem atau hukum. Bisa diartikan bahwa apartheid berarti suatu sistem politik yang memisahkan. Awal dari istilah Apartheid sendiri bermula dari orang-orang Belanda (keturunan Belanda) yang lahir di Afrika Selatan. Istilah Apartheid sendiri mengandung kata pemisahan. Pemisahan yang dimaksud adalah pemisahan antara orang-orang Belanda (kulit putih) dengan penduduk asli Afrika (kulit hitam). Perkembangan istilah apartheid ini menjadi besar, sehingga dijadikan suatu sistem kebijakan politik.

Kedudukan masyarakat Afrika Selatan menjadi di bawah kedudukan bangsa Eropa (Belanda atau kulit putih), sehingga masalah warna kulit inilah yang menjadi titik pangkal munculnya masalah Apartheid. Bangsa Belanda kemudian langsung menetap, mereka sering disebut dengan nama bangsa Boer. Kedatangan bangsa Belanda itu kemudian diikuti oleh bangsa Inggris yang berhasil melakukan penguasaan dari ujung, Afrika Utara (Mesir) hingga ujung Afrika Selatan (Cape Town).

Pemisahan rasial di Afrika Selatan sudah dimulai setelah Perang Boer (1899-1902) dan benar –benar muncul pada awal tahun 1900-an. Orang – orang Eropa di Afrika Selatan membentuk suatu struktur politik negara yang baru, ketika Uni Afrika Selatan dibentuk pada tahun 1910 dibawah kendali Inggris. Sejak awal pembentukan struktur politik negara tindakan diskriminasi ini sudah dilakukan. Pada tahun 1948 diadakan pemilu di Afrika Selatan. Pada waktu itu Partai Nasional Apartheid diperkenalkan pada masyarakat hal ini sebagai suatu bagian dari kampanye mereka. Pemilu itu dimenangkan oleh Partai Nasional Apartheid. Dengan kemenangan Partai Nasional Apartheid, mereka menjadikan Apartheid sebagai kebijakan politik di Afrika Selatan sampai awal 1990-an. Seiring waktu berjalan, Apartheid dibagi tiga kelompok ras utama putih; bantu, atau hitam Afrika dan berwarna, atau orang-orang keturunan campuran.

Selama Politik Apartheid berlangsung,berbagai kebijakan yang memisahkan kegiatan antara ras kulit putih dan hitam mulai diterapkan baik dalam bidang ekonomi,pendidikan dan politik.diantaranya sebagai berikut: (1) Land Act (1913), yaitu undang-undang yang melarang warga kulit hitam memiliki tanah diluar wilayah yang telah ditentukan. (2) Urban Areas Act (1923), yaitu undang-undang yang mengatur pemisahan tempat tinggal warga kulit putih dengan kulit hitam.

Di bawah Bantu Authorities Act of 1951 pemerintah mendirikan organisasi kesukuan untuk Afrika hitam, dan Promosi Bantu Self-Government Act of 1959 menciptakan 10 tanah air Afrika atau Bantustans. Undang-Undang Kewarganegaraan Bantu Homelands tahun 1970 itu membuat setiap orang Afrika Selatan berkulit hitam terlepas dari tempat tinggal yang sebenarnya. Empat dari Bantustan diberikan kemerdekaan sebagai republik, dan sisanya memiliki berbagai tingkat pemerintahan sendiri; tetapi semua tetap tergantung, baik secara politik maupun ekonomi di Afrika Selatan.

Karena bersifat otonomi daerah, perkembangan ekonomi di Homelands tidaklah baik. Sumber daya di daerah tersebut juga tidak banyak sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Belum lagi pertambahan penduduk yang kian banyak setiap tahunnya, membuat Homelands menjadi padat dan kumuh. Berbeda dengan kondisi di daerah milik orang kulit putih. Daerah mereka luas dengan penduduk sedikit. Belum lagi sumber daya alam yang melimpah, seperti berlian, mangan dan emas. Kulit putih saat itu sangatlah makmur.

Tidak hanya masalah tempat tinggal yang dibedakan, masalah pekerjaan, pendidikan, dan penikahan juga di diskriminasi. Orang kulit hitam umumnya hanya menjadi buruh, namun karena mereka bertambah banyak setiap tahunnya, mereka lambat laun banyak yang menganggur. Tidak semua orang kulit hitam mengenyam pendidikan. Kalau pun mengenyam, pendidikan yang ada juga dibedakan pelajarannya. Hal ini didasari oleh Bantu Education Act. Untuk pernikahan, pernikahan beda ras juga dilarang bagi mereka.

Meskipun pemerintah memiliki kekuatan untuk menekan hampir semua kritik terhadap kebijakannya, selalu ada beberapa oposisi terhadap apartheid di Afrika Selatan. Kelompok-kelompok kulit hitam Afrika dengan dukungan dari beberapa orang kulit putih mengadakan demonstrasi dan pemogokan, dan ada banyak contoh protes keras dan sabotase. Salah satu demonstrasi pertama dan paling keras terhadap apartheid terjadi di Sharpeville pada 21 Maret 1960 yang dimotori oleh African National Congress (ANC) dan Pan Africanist Congress (PAC). Mereka memprotes Apartheid yang semakin hari semakin berdampak buruk kepada mereka, terutama masalah pekerjaan. Respon polisi terhadap tindakan para demonstran adalah melepaskan tembakan, menewaskan sekitar 69 orang Afrika kulit hitam, termasuk wanita dan anak-anak, dan lebih dari 180 orang terluka.

Tragedi Pembantai Sharpeville ini dikutuk oleh dunia internasional. Dewan Keamanan PBB menyalahkan pemerintah Afrika Selatan atas Pembantaian di Sharpeville. Majelis Umum PBB menganggap Apartheid sebagai kejahatan kemanusiaan. Pemerintah Afrika Selatan mengambil langkah politis dalam negeri. Sebelumnya pemerintah Afrika Selatan mengeluarkan Bantu Self-Governmnet, yang memberikan kursi perwakilan terbatas bagi warga kulit hitam untuk dapat mengembangkan daerahnya agar menjadi siap merdeka. Hal tersebut ditindak lanjuti dengan adanya Bantu Homelands Constitution Act, di mana daerah kulit hitam tersebut dapat mempunyai bendera dan lagu kebangsaan sendiri. Larangannya, mereka tidak bisa memiliki tentara, mengadakan hubungan dengan negara lain, memiliki pabrik senjata, dan membuat undang-undang yang mengatur tentang pos, telekomunikasi, keuangan, dan imigrasi.

Pada 16 Juni 1976 terjadi sebuah konfrontasi besar antara demostran dengan polisi Afrika Selatan terjadi di Soweto, dekat Johannesburg dan Pretoria. Ribuan siswa SMA hitam berdemonstrasi menentang pemerintah yang mengatur mata pelajaran tertentu akan diajarkan di Afrika, yang dipandang sebagai bahasa penindasan. Setidaknya 575 orang tewas. Kerusuhan dan konfrontasi antara polisi dan pelajar tersebar di seluruh negeri. Hal ini menyebabkan fase baru dalam proses pembebasan di mana pemuda hitam menjadi sangat terlibat.

Banyak pemuda hitam berusaha meninggalkan negara untuk bergabung dengan gerakan-gerakan pembebasan, ada juga yang tetap tinggal dan bekerja dengan gerakan perlawanan bawah tanah. Antara September 1984 sampai dengan Maret 1986, disinyalir lebih dari 1000 orang tewas. Banyak bentrokan yang terjadi, tidak hanya antara kulit hitam dengan kulit putih, namun juga antarkulit hitam itu sendiri. Kulit hitam golongan tua yang lebih mapan merasa lebih baik bekerja sama saja dengan kulit putih, namun golongan muda menolaknya. Meski terjadi banyak gejolak sosial, supremasi kekuasaan kulit putih tetap tak tergoyahkan. Pada perkembangannya, kecaman tidak hanya datang dari dalam, tapi dari luar negeri juga. Mereka semua menyerukan pemberhentian praktik Apartheid di Afrika Selatan.

Menghadapi gelombang protes yang meningkat di negaranya sendiri dan kecaman internasional atas apartheid, Perdana Menteri Afrika Selatan PW Botha kehilangan dukungan dari Partai Nasional yang berkuasa dan mengundurkan diri pada tahun 1989. Pengganti Botha, FW de Klerk, membuat kagum para pengamat dengan mencabut larangan terhadap Afrika. Kongres Nasional dan partai-partai pembebasan kulit hitam lainnya, memulihkan kebebasan pers, dan membebaskan tahanan politik. Pada 11 Februari 1990, Nelson Mandela bebas setelah 27 tahun penjara.

Dengan meningkatnya dukungan di seluruh dunia, Mandela melanjutkan perjuangan untuk mengakhiri apartheid tetapi mendesak perubahan damai. Ketika aktivis populer Martin Thembisile (Chris) Hani dibunuh pada tahun 1993, sentimen anti-apartheid tumbuh lebih kuat dari sebelumnya. Pada tanggal 2 Juli 1993, Perdana Menteri de Klerk setuju untuk mengadakan pemilihan umum pertama yang demokratis, semua ras. Setelah pengumuman de Klerk, Amerika Serikat mencabut semua sanksi Undang-Undang Anti-Apartheid dan meningkatkan bantuan asing ke Afrika Selatan. Pada tanggal 9 Mei 1994, parlemen Afrika Selatan yang baru terpilih, dan sekarang secara rasial memilih Nelson Mandela sebagai presiden pertama era pasca-apartheid negara tersebut. Pemerintah Persatuan Nasional Afrika Selatan yang baru dibentuk, dengan Nelson Mandela sebagai presiden dan FW de Klerk dan Thabo Mbeki sebagai wakil presiden.

Referensi:

Aditya Christian. (2014). Peran Nelson Mandela dalam Gerakan Anti-Apartheid di Afrika Selatan 1994-1999 Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014 diakses: http://eprints.upnjatim.ac.id/6470/ Pada tanggal 18 Mei 2020

Angela Thompsell. (2018).What is Apartheid in South Africa? diakses: https://www.thoughtco.com/apartheid-definition-4140415 Pada tanggal 18 Mei 2020

Mustopo, M. habib. (2005). Sejarah:SMA Kelas XII. Jakarta: Yudistira.

Robert Longley. (2018). The End of South Africa Apartheid. diakses: https://www.thoughtco.com/when-did-apartheid-end-43456 Pada tanggal 18 Mei 2020

South Africa’s Black Consciousness Movement in the 1970s. diakses: https://www.thoughtco.com/black-consciousness-movement-43431 Pada tanggal 18 Mei 2020

Soeratman, Darsti. (2012). Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak.

The Editor of Encyclopedia Britannica. (2020). Apartheid. Diakses: https://www.britannica.com/topic/apartheid Pada tanggal 18 Mei 2020 Angela Thompsell. (2019).


Posting Komentar untuk "Sejarah Politik Apartheid di Afrika Selatan (1948-1994)"