Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Preanger Stelsel: Pengertian, Pelaksanaan, Tujuan, dan Dampak



Mempelajari sejarah mengajarkan arti pentingnya perjuangan serta pengorbanan yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait dalam suatu wilayah pada masa itu. Salah satunya adalah yang terjadi pada masyarakat Priangan yang berkaitan dengan suatu peraturan yang ditetapkan oleh Belanda yakni preanger stelsel.

Sejarah Priangan sangat lekat dengan penanaman kopi. Priangan ketika abad ke-19 sudah dapat menghasilkan komoditas yang unggul bahkan hingga dikenal oleh dunia Internasional, salah satu komoditas tersebut yakni kopi yang awalnya di bawa oleh bangsa Belanda ke Indonesia.

Karena suburnya perkebunan kopi di daerah Priangan, bangsa Belanda semakin gencar dalam melakukan eksploitasi terutama terhadap masyarakat setempat seperti dengan menerapkan sistem preanger stelsel yang menguntungkan pemerintah Belanda. Makalah ini akan membahas lebih rinci mengenai sistem Preanger Stelsel yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih dalam mengenai sistem tersebut.

Pengertian Preanger Stelsel

Sejarah Priangan tidak dapat dilepaskan dengan adanya penanaman kopi. Hal tersebut karena Priangan merupakan tempat pertama tanaman kopi di uji coba khususnya di pulau Jawa. Hingga dalam perkembangannya pemerintah Belanda pada akhirnya menetapkan sistem yang disebut preanger stelsel (Muhsin, 2017).

Preanger Stelsel adalah suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh Belanda dengan tujuan mengeruk keuntungan dari daerah jajahannya di Hindia Belanda. Kebijakan Preanger stelsel dilaksanakan di suatu daerah bernama Priangan dan memiliki fokus pada budidaya komoditas kopi. (Hakim, 2020).

Kebijakan ini adalah kebijakan awal Belanda yang menjadi awal dari kebijakan tanam paksa atau Cultuurstelsel yang eksploitatif atau tindakan memperalat suatu individu maupun kelompok untuk kepentingan sendiri (Ibeng, 2020)  dan destruktif.

Kebijakan preanger stelsel atau sistem Preanger merupakan kebijakan yang mewajibkan masyarakat Parahyangan atau Priangan atau Preanger untuk menanam komoditas tanaman kopi. Penduduk setempat dipaksa untuk menanam tanaman kopi dan memberikannya kepada Belanda melalui bangsawan-bangsawan daerah, hasil kopi tersebut kemudian akan diperdagangkan ke seluruh Eropa oleh Belanda.

Belanda tidak secara langsung bertemu penduduk desa dan memaksa mereka untuk menanam dan menyetorkan kopi melainkan pemerintah Belanda memanfaatkan para bangsawan dari Priangan untuk menyuruh penduduk penduduk yang tinggal di daerah kekuasaannya agar mereka menanam dan menyerahkan kopi hasil penduduk kepada perwakilan Belanda penyerahan kopi ini dianggap sebagai pengganti dari pajak tanah dan pajak lainnya oleh para bangsawan.

Sejarah kopi di Indonesia dimulai ketika ada seorang jenderal dari Belanda yang membawa biji kopi dari suatu daerah bernama Malabar di pesisir India ke Batavia sekitar tahun 1707. Gubernur jenderal tersebut adalah Van hoorn yang menanam kopi di sekitar Batavia yang hingga saat ini dikenal sebagai Pondok Kopi. Kemudian dari biji yang dibawa ini ini tersebar ke seantero pulau Jawa dan yang paling utama di daerah pantai utara atau Pantura, namun hanya beberapa daerah saja yang berhasil membudidayakan kopi ini. 

Salah satu daerah yang berhasil membudidayakan kopi ini yaitu Parahyangan atau apabila disebut dalam bahasa Belanda adalah Preanger. Daerah Parahyangan ini mencakup beberapa apa daerah yakni ini Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Subang, Garut, Purwakarta dan Sumedang.

Hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh kondisi iklim di daerah Parahyangan yang dinilai relatif dingin dan tanahnya yang relatif subur karena gunung api purba yang ada di Tangkuban Perahu. Oleh karena faktor tersebut penanaman kopi jenis ini dapat dinilai sangat berhasil. Hingga akhirnya kebijakan preanger stelsel diresmikan oleh VOC pada abad ke-18 atau sekitar tahun 1720 an. Kebijakan ini diambil di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hendrik Zwardecroon. (Hakim, 2020)

Pelaksanaan Preanger Stelsel

Abad 18 merupakan masa di mana kopi sangat dibutuhkan oleh bangsa-bangsa Eropa, dengan begitu sejalan dengan melonjaknya permintaan kopi. Keadaan tersebut mendorong VOC untuk memanfaatkan peluang tersebut, mereka juga mengatur mengenai persoalan harga, upah, ongkos angkut, dan kuota dalam penanaman.

Kopi merupakan salah satu komoditas peluang dagang yang laku dipasaran Eropa pada saat itu. Kopi sendiri tumbuh subur pada daerah pegunungan seperti Priangan. Priangan merupakan daerah yang terletak dibagian selatan Jawa Barat, wilayah Priangan meliputi Cianjur, Bandung, Sumedang, Permintaan kopi yang terus melonjak memberikan pengaruh pada meningkatnya produksi kopi di Priangan (Lasmiyanti,2015). 

Sejalan dengan terus melonjaknya permintaan kopi pada saat itu, membuat VOC merasa kalap. Dan akhirnya pada tahun 1720, VOC mulai memberlakukan Preanger Stelsel atau merupakan sistem Priangan yang mana memiliki tujuan untuk memperkerjakan para petani Priangan untuk menanam kopi dengan paksa yang dilakukan oleh para elite daerah.

Di dalam kebijakan penanaman kopi para pejabat yang berperan sebagai tangan kanan mendapatkan keuntungan yang besar, sedangkan berkebalikan dengan rakyat yang membudidaya kopi mendapat suatu penderitaan. Di samping keuntungan yang diperoleh VOC, para pejabat juga mendapatkan keuntungan seperti halnya, mereka berhak untuk memobilisasi rakyat dengan harga yang murah namun dengan kerja yang sangat keras. 

Setelah enam tahun diberlakukannya sistem Priangan, VOC menjadi produsen komoditas kopi yang dianggap penting, mereka berhasil menguasi setengah sampai tiga perempat dari perdagangan kopi di dunia. Keuntungan tersebut membuat VOC semakin menggila dan membuat kebijakan untuk para petani semakin mencekik serta sewenang-wenang seperti menurunkan harga produk mentah kopi dari 50 menjadi 12 gulden per pikul, dan VOC juga menerapkan sistem pikul dengan harga yang licik.

Dalam sistem pikul terdapat macamnya seperti pikul gunung dan pikul Batavia, berat dari pikul gunung yakni 120 kilogram sedangkan pikul Batavia beratnya 50 kilogram. Selain itu para produsen juga dipaksa untuk untuk menyerahkan jumlah kopi seberat pikul gunung akan tetapi dibayar dengan pikul Batavia.

Dan mereka juga dipaksa untuk menananam pohon kopi sebanyak-banyaknya., seperti pada tahun 1810 guna mencegah penurunan tanaman kopi, pemerintah Belanda memerintahkan untuk setiap keluarga diwajibkan menanam 200 bibit pohon kopi setiap tahunnya.

Keputusan tersebut tidak lain untuk mengisi kas pemerinathan Belanda dan untuk memberikan komisi kepada para pejabat seperti bupati, kepala bawahan, dan pejabat lainnya. Penderitaan rakyat pada saat itu bukan hanya dibebankan pada hal penanaman kopi saja, akan tetapi mereka juga dipaksa untuk membangun sarana dan prasarana untuk mendukung jalannya kepentingan para pemerintah Belanda.

Tujuan Kebijakan Preanger Stelsel

Sistem kebijakan Preanger Stelsel diterapkan oleh VOC di tanah Pasundan sekitar tahun 1720. Seluruh rakyat Pasundan diwajibkan untuk menanam kopi dengan harga kopi yang telah ditentukan oleh pihak VOC. Kebijakan Preanger Stelsel tentunya bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi Belanda di tanah jajahannya, yakni Hindia Belanda.

Kebijakan Preanger Stelsel atau sistem preanger merupakan sebuah kebijakan yang mengharuskan masyarakat Parahyangan Pasundan (priangan/preanger) untuk menanam komoditas tanaman kopi. Kewajiban penanaman ini tentunya dilaksanakan oleh VOC dengan paksaan dan kekerasan agar rakyat Pasundan tunduk pada pemberdayaan kopi yang nantinya akan dijadikan sebagai komoditi perdagangan oleh VOC.

Kebijakan ini dapat berjalan tentunya tak lepas dari adanya dukungan dari kaum pribumi yaitu bangsawan Sunda seperti dalam pembudidayaan kopi. Kaum bangsawan Sunda mendukung adanya Preanger Stelsel yang tentunya nanti juga akan mendatangkan keuntungan bagi mereka sendiri.

Pelaksanaan sistem tanam paksa mendorong lahirnya perkembangan perkebunan skala besar milik swasta melalui kontrak konsinyasi dengan pemerintah. Peran VOC sebagai penguasa dan pemilik tanah di Hindia Belanda berhasil memperluas kekuasaan dalam penyewaan dan penjualan tanah yang diberikan pada para pengusaha Cina.

Preanger Stelsel merupakan salah satu kebijakan Belanda yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan dari kekayaan daerah jajahannya sebagai suatu upaya meningkatkan penghasilan bagi Belanda sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan dari para penjajah untuk melakukan kolonialisme adalah Gold, Glory, dan Gospel.

Sehingga Preanger Stelsel ini bertujuan untuk mencapai salah satu tujuan awal tersebut, yaitu Gold atau memenuhi kekayaan bagi penjajah. Pada masa tersebut, komoditas kopi menjadi primadona tersendiri dan sangat dicari-cari di Eropa karena memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Oleh karena itu Belanda melakukan Preanger Stelsel di Hindia Belanda sebagai tanah jajahannya untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Dampak Kebijakan Preanger Stelsel

Kebijakan Preanger Stelsel yang dijalankan di daerah Priangan atau tahan Pasundan ini tentunya memberikan dampak yang besar bagi kegiatan ekonomi dan sosial Indonesia dan tentunya Belanda sendiri.

Akibat dari adanya Preanger Stelsel tersebut menjadikan tanah Jawa terutama daerah Parahyangan sebagai daerah pusat produksi kopi yang besar di Hindia Belanda bahkan dunia. Selanjutnya dengan berjalannya sistem tersebut tentunya akan menghasilkan keuntungan yang besar bagi para tuan tanah, bangsawan, dan juga para pedagang Belanda dan memberikan kekayaan bagi mereka sebagai pengendali.

Namun dengan adanya Preanger Stelsel juga berhasil memperkenalkan budaya perdagangan dan ekonomi pasar kepada masyarakat Indonesia.

Tapi meskipun begitu, kebijakan Preanger Stelsel ini dianggap menghambat laju pertumbuhan perekonomian subsisten lokal karena lahan masyarakat dialihkan untuk penanaman komoditas kopi.

Selain itu dampak besar yang diperoleh dengan adanya kebijakan Preanger Stelsel adalah mendorong Belanda menjadi salah satu negara yang berhasil memonopoli perdagangan kopi di Eropa.

Posting Komentar untuk "Preanger Stelsel: Pengertian, Pelaksanaan, Tujuan, dan Dampak"