Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Polemik Dalang di Balik Peristiwa G30S



Oleh: Almas Hammam Firdaus

“What unites people?…Story! There is nothing in the world more powerful than a good story. Nothing can stop it. No enemy can defeat it…” (Apa yang menyatukan orang?…. Cerita! Tidak ada yang lebih kuat di dunia ini daripada cerita yang bagus. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak ada musuh yang bisa mengalahkannya)

-Tyrion Lannister-

Setiap menjelang akhir bulan September, di Negara kita rupanya selalu punya kecenderungan memiliki agenda wajib untuk membahas topik mengenai Peristiwa G30S, PKI, dan komunisme. Pembahasannya pun macam-macam mulai dari isu paham komunis gaya baru, bangkitnya komunis di Indonesia, berantas antek PKI sampai akarnya dan juga penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI. Padahal  sejak Reformasi, selain penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI, kurikulum tahun 2004 juga tidak lagi mencantumkan /PKI (menjadi hanya G30S saja). Hal ini berkaitan dengan banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa dalang Peristiwa G30S tidak tunggal tidak seperti sebagaimana sejarah versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa berdarah itu. Nah, berkaitan dengan hal tersebut, di sini penulis akan membahas mengenai penelitian-penelitian/teori-teori tersebut.

Teori PKI Sebagai Dalang Peristiwa G30S

Teori ini dibuat berdasarkan versi rezim Orde Baru yang mana sumber utama yang digunakan diantaranya buku karya sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh yang berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kudeta G-30-S/PKI di Indonesia (1968) yang nantinya menjadi pijakan pembuatan film ikonik Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer. Selain buku tersebut ada juga buku suntingan Nugroho Notosusanto Sejarah Nasional Indonesia (Jilid ke VI), buku karya Aristides Katoppo yang berjudul Menyingkap Kabut Halim Tahun 1965 (1999), buku karya Atmadji Soemarkidjo yang berjudul Mendung di Atas Istana Merdeka (2000), dan buku karya Sulastomo yang berjudul Hari-Hari yang Panjang 1963-1966 (2000).

Pada intinya teori ini menyatakan bahwa pimpinan PKI bertanggung jawab atas kudeta G30S. Berdasarkan pledooi Sudisman, bangkitnya kembali perlawanan bersenjata yang dilancarkan di Blitar Selatan tahun 1968, peristiwa Grobogan tahun 1969, Klaten 1969, dan kemunculan kelompok yang menamakan dirinya sebagai CC PKI pasca-1965, baik bergerak di dalam negeri maupun di luar negeri memperkuat teori bahwa dalang dan juga pelaku kudeta G30S adalah para pimpinan PKI.

Teori G30S sebagai Persoalan Internal Angkatan Darat

Versi ini ditulis antara lain oleh Ben Anderson dan Ruth McVey dalam A Preliminary Analysis Of The October 1 1965, Coup In Indonesia  (1971) atau lebih dikenal sebagai Cornell Paper, W.F. Wertheim dalam Whose Plot? New Light On The 1965 Events (1979), Harold Crouch dalam Army and Politics In Indonesia (1978), Coen Hotsapel dalam The 30 September Movement (1993), dan Wimanjaya K. Litohoe dalam Primadosa (1994). Intinya teori ini menyatakan bahwa Peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat. Menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) terpecah menjadi 2 faksi yang mana dua-duanya sebenarnya anti-PKI, tetapi berbeda dalam menghadapi Presiden Soekarno. Kelompok pertama faksi tengah yang loyal terhadap Soekarno, dipimpin oleh Letjen Ahmad Yani yang mana sebenarnya hanya menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional yang memuat PKI berada di dalamnya. Sedangkan kelompok kedua faksi kanan yang didalamnya ada Jenderal A.H. Nasution dan Mayjen Soeharto bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Soekarnoisme. Dalam Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama faksi tengah untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan AD.

Teori Soekarno sebagai Dalang Peristiwa G30S

Teori ini menyatakan bahwa Soekarno sebagai dalang Peristiwa G30S yang mana tujuannya adalah Soekarno ingin melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD terhadap kepemimpinannya yang mana PKI pun jadi ikut terseret karena kedekatannya dengan Soekarno. Setidaknya ada 3 buku yang menuding bahwasannya Soekarno terlibat/bahkan menjadi dalang dalam peristiwa G30S yakni buku Victor M. Vic yang berjudul Anatomy Of The Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004), buku karya Antonie C.A. Dake yang berjudul The Soekarno File 1965-1967: Chronology Of A Defeat (2006) dan buku karya Lambert Giebels yang berjudul Pembantaian Yang Ditutup-Tutupi Peristiwa Fatal Di Sekitar Kejatuhan Bung Karno (2005).

Teori Soeharto Dalam Peristiwa G30S

Teori ini diperkuat oleh beberapa hal diantaranya dalam Kesaksianku Tentang G30S (2000), Soebandrio mengungkapkan bahwa Soeharto sempat bertemu dengan Kolonel Latief dan Letkol Untung (pemimpin aksi penculikan terhadap para perwira militer). Dalam pertemuan itu, Latief mengungkap rencana kudeta pada Soeharto, namun Soeharto merespon tidak melarang/tidak mencegah operasi tersebut dan juga tidak melaporkannya kepada A.H. Nasution dan Ahmad Yani. Inilah yang menjadi titik masuk bagi analisis kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto. Lebih jauh lagi Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap yakni menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui penculikan dan pembunuhan pada 1 Oktober 1965; membubarkan PKI yang dianggap sebagai partai yang memiliki basis anggota yang banyak dan pendukung Soekarno; menangkap 15 menteri yang loyal terhadap Soekarno; dan mengambilalih kekuasaan dari Soekarno. Kolonel Abdul Latief pun dalam Pledooi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) membenarkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan H. Agus Salim, Jakarta pada 28 September 1965 (dua hari sebelum operasi dijalankan) namun Soeharto merespon tidak melarangnya/mencegah operasi tersebut.

Teori CIA sebagai Dalang dari Peristiwa G30S

Teori ini berpendapat bahwa dalang Peristiwa G30S adalah CIA yang bekerjasama dengan “klik” Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI dengan tujuan akhir menggulingkan Presiden Soekarno. Pendapat ini diantaranya berasal dari tulisan Peter Dale Scott yang berjudul US and The Overthrow Of Soekarno 1965-1967, Pacific Affairs (1985) dan Geoffrey Robinson yang berjudul Some Arguments Over Conserning US Influence and Complicity In The Indonesia Coup Of October 1, 1965 (2000). Menurut teori ini lebih lanjut bahwa Peristiwa G30S terjadi karena kepentingan AS yang tidak menginginkan Indonesia menjadi basis komunisme. Pada dekade 1960-an, AS mempercayai teori Domino bahwa komunisme Indocina bisa bersambung dengan komunisme Indonesia yang mana kemudian bisa menciptakan Poros Jakarta-Peking (Beijing). Sejarawan John Roosa juga mengungkap dalam Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) bahwa AS juga memberikan bantuan dana sekitar $10.000 (sekitar 50 juta rupiah) untuk membiayai kegiatan KAP Gestapu (Komisi Aksi Penggayangan Gerakan September Tiga Puluh). Selain itu CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada AD.

Teori Chaos

Teori ini menyatakan tidak ada pemeran tunggal dalam Peristiwa G30S dan tidak ada grand scenario, semuanya didominasi oleh improvisasi lapangan. Sumber-sumber yang mengacu pada teori ini antara lain buku karya Manai Sophiaan yang berjudul Kehormatan Bagi Yang Berhak (1994), buku Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Memoar Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno (1995) dan buku John D. Legge yang berjudul Sukarno: Sebuah Biografi Politik (1972). Teori ini menyatakan lebih lanjut bahwa Peristiwa G30S merupakan kombinasi antara unsur-unsur nekolim (Negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger, serta oknum-oknum tentara AD yang tidak benar. Teori ini menisbikan kenyataan adanya rivalitas di kalangan PKI dan AD, dan tidak mengakui keberadaan tiga kekuatan politik yaitu Presiden Soekarno, AD, dan PKI dalam pentas politik nasional setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Demikian pembahasan dari teori-teori dalang dibalik Peristiwa G30S yang mana sekali lagi masih memerlukan banyak peninjauan dan penelitian lebih lanjut agar peristiwa ini bisa terungkap sepenuhnya. Namun yang jelas segala bentuk pengkambinghitaman dan kebencian hanya akan mempersempit ruang gerak kita. Segala tuduhan pengkambinghitaman dan kebencian laten yang cenderung dibesar-besarkan terhadap PKI sebagai dalang tunggal Peristiwa G30S yang mana belum sepenuhnya terbukti tentu tidak dibenarkan. Waspada boleh namun apabila yang dilakukan hanya terus mengkambinghitamkan dan membenci sesuatu yang belum sepenuhnya terbukti kebenarannya hanya akan membuat kita terus tenggelam dalam historical trauma sama seperti Jerman dengan ingatan NAZI-nya.        

Posting Komentar untuk "Polemik Dalang di Balik Peristiwa G30S"