Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Garis Imajiner Yogyakarta: Kraton Ngayogyakarta



Oleh: Almas Hammam Firdaus

“Kraton bukanlah menyoal mengenai singgasana semata, namun lebih dari itu kraton juga merupakan representasi kemakmuran, kerakyatan, kebudayaan, pengabdian dan tanggung jawab”

Setelah sebelumnya saya mengulas tentang Panggung Krapyak yang mana masih merupakan tempat yang berhubungan dengan Garis Imajiner Yogyakarta, maka pada tulisan kali ini saya akan mengulas tempat yang berhubungan langsung dengan Garis Imajiner Yogyakarta lainnya. Tempat tersebut adalah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Secara administratif Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat terletak di Jalan Rotowijayan Blok 1, Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana resmi dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan juga kediaman Sultan Yogyakarta beserta keluarganya. Selain itu, dewasa ini Kraton Yogyakarta juga dibuka untuk umum sebagai objek wisata sejarah dan budaya.

Sejarah awal pembangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimulai ketika Pangeran Mangkubumi putra dari Sunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) dan Mas Ayu Tejawati mengobarkan perang yang disebut dengan Perang Palihan Nagari (Perang Giyanti) pada 1746-1755 karena disebabkan oleh campur tangan VOC (kompeni) dalam tampuk pemerintahan dan suksesi kraton. Selain itu juga disebabkan tidak kunjung diberikannya tanah Sukowati yang sangat subur kepada Pangeran Mangkubumi karena propaganda VOC dan Patih Pringgalaya. Inilah akhirnya yang menyebabkan Pangeran Mangkubumi pergi meninggalkan kraton dan mengobarkan perang.

Setelah perang berlangsung selama 8 tahun, akhirnya VOC menyadari bahwasanya apabila perang ini diteruskan lebih lama lagi VOC akan bangkrut dan mengalami kekalahan. Akhirnya gubernur VOC untuk Jawa Utara, Nicholas Hartingh mengambil sikap, untuk menyelamatkan daerah operasionalnya, secara tertutup Hartingh melakukan perundingan dengan Pangeran Mangkubumi. Namun rupanya perundingan tersebut acap kali menemui jalan buntu. Kemudian lewat tangan dingin Syarif Besar Syekh Ibrahim diminta VOC untuk membujuk Pangeran Mangkubumi, yang akhirnya ia pun menyetujui untuk berdamai dan menghentikan perang asalkan dia diberi wilayah dan juga dilantik sebagai sultan yang merdeka. Pada 23 September 1754, nota kesepahaman antara VOC dan Pangeran Mangkubumi terlaksana dan nota tersebut disampaikan kepada Sunan Pakubuwono III sang pengganti Sunan Pakubuwono II. Nota tersebut menyatakan bahwa Pangeran Mangkubumi mendapatkan wilayahnya (Yogyakarta) dan akan dilantik sebagai sultan yang merdeka.

Pada 4 November 1754, Sunan Pakubuwono III menyatakan persetujuannya terhadap hasil Perundingan Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi tersebut. Surat pernyataan itu kemudian disampaikan oleh Sunan Pakubuwono III kepada Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel. Kesepakatan ini akhirnya mendorong terjadinya sebuah perjanjian besar yang ditandatangani di Desa Janti (Kabupaten Karanganyar), beberapa kilometer sebelah timur Surakarta yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti ini menjadi pangkal dari terbelahnya Mataram Islam menjadi dua bagian atau dikenal dengan istilah Palihan Nagari.

Hal tersebutlah yang menjadi awal naik tahtanya Pangeran Mangkubumi sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I sejak ditandatangani perjanjian tersebut pada 13 Februari 1755. Dua hari kemudian pada 15 Februari 1755 terjadi pertemuan antara Sri Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III di Lebak, Jatisari. Dalam pertemuan ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda.

Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sri Sultan Hamengkubuwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta.

Akhirnya pada 13 Maret 1755 (Kamis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) diproklamasikanlah Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Selanjutnya Sri Sultan Hamengkubuwono I memulai pembangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 9 Oktober 1755. Proses pembangunannya berlangsung hingga hampir satu tahun dan diarsiteki langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Selama proses pembangunan tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono I beserta keluarga mesanggrah di Pesanggrahan Ambar Ketawang (terletak di Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang). Sri Sultan Hamengkubuwono I beserta keluarga memasuki Kraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kamis Pahing, 13 Sura 1682 TJ). Dalam penanggalan tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai dengan sengkalan memet: Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.

Kraton Yogyakarta dibangun dengan menggunakan sistem tata letak/tata kota (urban planning) seperti pada era Majapahit yaitu dengan menggunakan konsep “catur gartra manunggal” yang artinya 4 susunan yang menjadi satu kesatuan yang mana meliputi pertama pusat pemerintahan (keraton) kedua religi/tempat ibadah (Masjid Agung), ketiga alun-alun sebagai halaman, dan keempat adalah pasar sebagai perputaran bisnis dan ekonomi. Bentuk arsitektur dan geometris Kraton Ngayogyakarta bersifat linier yang terdiri atas sejumlah pintu gerbang dan halaman yang berorientasi pada poros utara-selatan yang mempunyai filosofi model badan manusia sempurna dan jalan menuju penyempurnaan manusia.

Untuk memasuki Kraton Ngayogyakarta harus melalui pintu gerbang. Gerbang di Kraton Ngayogyakarta disebut sebagai “plengkung” karena bagian atas setiap gerbangnya berbentuk melengkung. Plengkung ini jumlahnya ada lima dan masing-masing mempunyai nama. Pertama, Plengkung Tarunasura (Plengkung Wijilan) yang terletak di Alun-alun Utara, disebut Plengkung Tarunosura karena dulunya gerbang ini dijaga oleh para prajurit muda. Kedua, Plengkung Madyasura yang terletak di sisi timur Kraton, plengkung ini dikenal dengan Plengkung Buntet (tertutup) karena ditutup pada 23 Juni 1812, dan pada masa HB VIII plengkung ini dibongkar lalu diganti menjadi gerbang biasa. Ketiga, Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading) yang terletak di sebelah selatan Alun-alun Selatan, nama Plengkung Nirbaya berarti tidak ada bahaya, selain itu juga menjadi pintu keluar bagi jenazah sultan dan keluarganya ketika hendak dimakamkan. Keempat, Plengkung Jagabaya (Plengkung Tamansari) yang terletak di sisi barat tembok Benteng Kraton atau disebelah barat Pasar Ngasem dan Tamansari, Plengkung Jagabaya dapat diartikan menjaga dari bahaya yang mengancam, namun sekarang Plengkung Jagabaya telah berubah menjadi gerbang/gapura biasa. Terakhir, Plengkung Jagasura yang terletak di sebelah barat Alun-alun Utara, Plengkung Jagasura dapat diartikan penjaga yang pemberani karena dulunya Plengkung ini dijaga oleh para prajurit pinilih yang pemberani dan mumpuni kemampuannya.

Tata ruang di dalam bangunan keraton terdiri dari lima lapisan. Lapis pertama terdiri dari Alun-alun Utara yang dulunya sering digunakan untuk tempat latihan prajurit keraton, tempat menyampaikan aspirasi rakyat dengan cara tapa pepe dan juga digunakan sebagai tempat eksekusi terdakwa kasus kejahatan; Masjid Agung sebagai tempat ibadah; Pekapalan; Pagelaran; pasar; Alun-alun Selatan yang dulunya sebagai tempat berkumpulnya para prajurit Kraton; Kandang Gajah Kepatihan yang dulunya merupakan sarana birokrasi dan benteng sebagai sarana pertahanan militer. Lapis kedua terdiri dari Siti Hinggil yang merupakan pelataran yang tinggikan yang berada di sebelah utara dan selatan Kraton. Siti Hinggil Utara terdapat tempat yang bernama Bangsal Witana dan Bangsal Manguntur Tangkil yang berfungsi untuk pelantikan raja dan upacara kenegaraan. Siti Hinggil Selatan digunakan untuk kepentingan sultan yang bersifat pribadi seperti menyaksikan para prajurit berlatih hingga menyaksikan rampogan (adu macan dengan manusia/banteng). Lapis ketiga terdiri dari Pelataran Kemandhungan Utara dan Selatan. Pelataran ini digunakan untuk ruang transit menuju ruang utama. Pada Pelataran Kemandhungan Utara terdapat Bangsal Pancaniti sedangkan pada Pelataran Kemandhungan Selatan terdapat Bangsal Kemandhungan. Lapis keempat terdiri dari Pelataran Sri Manganti dan Bangsal Sri Manganti yang dulunya dipergunakan untuk menyambut tamu namun sekarang dipergunakan untuk tempat pertunjukan kesenian untuk umum. Dan Lapis terakhir adalah Pelataran Kedhaton yang mana digunakan untuk tempat tinggal Sultan dan keluarganya. Disini juga terdapat Bangsal Kencono yang dulunya digunakan untuk tempat tinggal Sultan dan keluarganya namun sekarang dialihfungsikan menjadi kantor dan tempat menyambut tamu penting.

Selain itu disini juga terdapat Gedong Jene yang merupakan satu-satunya bangunan keraton yang bertingkat, gedung ini digunakan hingga masa HB IX sebagai tempat tinggal, namun pada masa HB X juga digunakan untuk kantor pribadi. Juga tempat yang tak kalah penting adalah Bangsal Prabayeksa yang mana Bangsal ini digunakan untuk menyimpan Pusaka Ndalem sehingga tidak sembarang orang boleh memasukinya.

Lalu membahas tentang Garis Imajiner Yogyakarta, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini memiliki filosofi yang dalam yang mana dimulai dari tempat-tempat yang berhubungan dengan Garis Imajiner Yogyakarta sebelumnya yakni Pantai Parangkusumo dan Panggung Krapyak yang mana dari Pantai Parangkusumo sampai Panggung Krapyak melambangkan hubungan suami dan istri yang kemudian menjadi benih, lalu dilanjutkan dari Panggung Krapyak sampai Alun-alun Selatan yang melambangkan fase kelahiran manusia. Lalu Alun-alun Selatan sampai Kraton Ngayogyakarta melambangkan pertumbuhan manusia muda dan dari Kraton Ngayogyakarta sampai Alun-alun Utara melambangkan fase manusia muda menjadi dewasa. Selain itu juga Kraton Ngayogyakarta yang merupakan titik pusat dari Garis Imajiner Yogyakarta juga melambangkan secara filosofis sebagai anak yang harus diayomi oleh ibu yang dalam hal ini adalah Laut Selatan dan dilindungi serta dijaga oleh ayah yaitu Gunung Merapi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa keberadaan keraton dan berdirinya Kraton Ngayogyakarta ini tidak semata-mata hanya untuk singgasana belaka dan dirancang secara seenaknya, namun Kraton Ngayogyakarta ini justru dibangun dengan perencanaan yang sangat matang dan mendetail bahkan sampai pada simbol-simbol dan filosofisnya. Oleh karenanya kita utamanya generasi muda sebagai generasi penerus bangsa diharapkan ikut berpartisipasi dalam menjaga, merawat, mempelajari, mengunjungi, melindungi serta melestarikan Kraton Ngayogyakarta beserta yang berada didalamnya, tidak hanya Kraton Ngayogyakarta saja sebenarnya tapi semua situs-situs bersejarah yang ada di negara Indonesia tercinta kita ini agar nantinya situs-situs tersebut tetap awet dan lestari sampai anak cucu kita nanti.

Demikian pembahasan tentang Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian dari Garis Imajiner Yogyakarta, mudah-mudahan bermanfaat dan menambah literasi panjenengan sedoyo, apabila ada tambahan bisa ditambahkan di kolom komentar. Dalam pembahasan selanjutnya saya akan membahas tempat-tempat yang berhubungan dengan Garis Imajiner Yogyakarta lainnya. Jadi tetap nantikan tulisan-tulisan saya selanjutnya. Matur Suwun

Posting Komentar untuk "Garis Imajiner Yogyakarta: Kraton Ngayogyakarta"