Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sejarah Kaum Mu’tazilah, Pelopor Rasionalisme Islam

 

Sejarah Kaum Mu’tazilah. Ilustrasi: Pinterest.com

Sejarah Kaum Mu’tazilahNama mu’tazilah sendiri berasal dari kata “i’tazalah” yang berarti berpisah atau memisahkan diri. Sejarah Islam mencatat bahwa kata “mu’tazilah” setidaknya merujuk pada dua golongan yang berbeda.

Kata “mu’tazilah” pertama kali dipakai pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pada masa tersebut tengah terjadi pertentangan antara beliau dengan penentangnya terutama dari pendukung Muawiyah. 

Akibat pertentangan tersebut kaum muslimin terpecah menjadi beberapa golongan baik yang mendukung Ali, Muawiyah maupun yang menentang keduanya. 

Selain itu, terdapat golongan kaum muslimin yang memilih untuk bersikap netral dan menjauhi pertikaian tentang perkara khilafah tersebut. Golongan inilah yang mula-mula disebut sebagai kaum mu’tazilah.

Pada pengertian selanjutnya, mu’tazilah juga merujuk pada salah satu kelompok atau golongan umat Islam yang muncul sekitar akhir periode Kekhalifahan Umayyah dan kemudian berkembang pada awal Kekhalifahan Abbasiyah

Ciri khas kelompok ini yang membedakan dengan kaum muslim lainnya yaitu penekanan mereka pada penggunaan akal atau rasionalisme dalam beragama terutama dalam memberikan penafsiran terhadap hubungan manusia dengan Allah. 

Pengertian yang kedua inilah yang akan dibahas pada tulisan kali ini.

Kemunculan kelompok mu’tazilah ini tidak bisa dilepaskan dari sosok bernama Washil bin Atha. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Washil bin Atha terlibat perselisihan dengan gurunya yaitu Hasan Al Basri.  

Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. 

Ketika Hasan Basri masih berpikir, Washil dengan lancang langsung mengemukakan pendapatnya bahwa “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. 

Di tempat itu Washil mengulangi pendapatnya di hadapan pengikutnya. Kemudian Hasan Al Basri pun berkata pada murid-muridnya yang lain bahwa “ Washil memisahkan diri dari kita”. Peristiwa inilah yang dipercaya sebagai asal-usul munculnya golongan mu’tazilah.

Terdapat beberapa doktrin yang menjadi ciri khas kaum mu’tazilah, antara lain:

1.       At Tauhid

Prinsip tauhid atau pengakuan akan keesaan Allah sebenarnya merupakan doktrin utama yang diimani oleh seluruh orang Islam. 

Namun prinsip tauhid yang dimiliki oleh kaum mu’tazilah ini lebih spesifik. Menurut kaum mu’tazilah, Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. 

Termasuk yaitu dengan mengingkari bahwa Tuhan memiliki sifat. Bagi kaum mu’tazilah, Tuhan tidak dapat digambarkan dengan memiliki sifat karena dikhawatirkan akan mengurangi keesaan-Nya. 

Bagi kaum Mu’tazilah bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyamai Tuhan begitu juga dengan sebaliknya Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya.

2.       Al Adlu

Doktrin ini menekankan mengenai kemahaadilan Allah. Allah menghendaki kebaikan dan tidak menghendaki kejahatan. 

Kendati demikian manusia dikaruniai Allah memiliki kebebasan mutlak pada setiap perbuatannya, baik untuk berbuat baik maupun berbuat jahat. 

Karena itu maka manusia akan diberikan pertanggungjawaban terhadap perbuatan mereka.

3.       Al-wa’du wal wa’id (janji dan ancaman)

Doktrin ini erat kaitannya dengan doktrin yang kedua. Sebagai implikasi dari kebebasan mutlak manusia dalam bertindak. 

Maka Allah akan memberikan balasan terhadap perbuatan manusia tersebut. Sebagaimana janji Allah bahwa orang yang berbuat baik akan mendapat surga dan sebaliknya orang yang berbuat jahat akan mendapatkan balasan neraka.

4.       Al-Manzilah bain al-manzilatain (tempat di antara dua tempat)

Doktrin ini merupakan jawaban dari  kaum mu’tazilah terhadap persoalan yang dialami oleh kaum muslimin pada masa tersebut. 

Pokok dari doktrin ini adalah bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar dan belum tobat maka ia bukan lagi mukmin namun juga bukan kafir tetapi fasik. 

Pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin secara mutlak karena itu keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan tidak cukup dengan pengakuan dan pembenaran saja, maka berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. 

Namun, ia juga tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya dan dapat mengerjakan pekerjaan yang baik di lain waktu.

5.       Amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)

 

Pemikiran kaum mu’tazilah mulai berkembang pada masa Kekhalifahan Umayyah dimana pada masa tersebut umat Islam mulai bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan Yunani dan Persia. 

Meskipun demikian pemikiran kaum mu’tazilah masih menjadi minoritas dari keseluruhan komunitas kaum muslim saat itu karena pada masa tersebut perhatian kekhalifahan utamanya masih tertuju pada pengembangan ekspansi wilayah.

Setelah kekhalifahan berganti pada Dinasti Abassiyah, perhatian mulai banyak ditujukan pada perkembangan ilmu pengetahuan. 

Saat itu mulai banyak buku-buku pengetahuan dan filsafat dari berbagai peradaban terutama dari peradaban Yunani yang diterjemahkan dan dipelajari oleh umat muslim. 

Rasionalisme filsafat-filsafat Yunani inilah yang banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan kaum mu’tazilah. Aliran mu’tazilah mulai banyak mendapatkan pengikut pada masa khalifah Al Mansur serta pada khalifah Harun Ar Rasyid yang terkenal dengan perhatiannya pada aspek pengembangan ilmu pengetahuan.

Puncaknya adalah pada masa Khalifah  Al Ma’mun (198 – 219). Beliau adalah seorang intelektual yang cerdas, pintar dan cinta kepada ilmu pengetahuan. Beliau memilih mengikuti aliran Mu’tazilah karena dinilai rasional dan mampu menjawab persoalan-persoalan praktis yang ada saat itu. 

Bahkan pada masa pemerintahannya, aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. 

Khalifah Al Ma’mun juga mulai mengadakan majelis-majelis besar untuk membahas ilmu-ilmu pengetahuan dari aliran Mu’tazilah. Bahkan beliau menjadikan istana negaranya untuk menjadi tempat-tempat pertemuan ahli pikir dari semua aliran yang ada. Pertemuan tersebut biasa disebut sebagai “mihnah”.

Sayangnya dalam mengekspresikan kefanatikannya terhadap Mu’tazilah, Khalifah Al Ma’mun  sering kali menggunakan kekuasaannya untuk memaksa rakyat untuk mengikuti aliran tersebut. 

Hal inilah yang justru membuat aliran mu’tazilah menjadi mundur dan ditinggalkan oleh banyak umat muslim pasca wafatnya Al Ma’mun.

Meskipun demikian, rasionalisme dan keterbukaan berpikir yang dimiliki oleh kaum mu’tazilah telah mendorong perkembangan pengetahuan pada peradaban Islam saat itu. 

Pemikiran mereka yang terbuka memungkinkan dipelajarinya pengetahuan dan filsafat-filsafat Yunani kuno oleh umat muslim yang pada akhirnya juga berdampak pada perkembangan pengetahuan peradaban Islam sendiri. 

Perkembangan pengetahuan itulah yang menghantarkan umat Islam pada saat itu pada puncak kejayaan serta kemajuan peradaban di antara berbagai peradaban dunia lainnya. 

Kota-kota Islam seperti Baghdad dan Cordova pada saat itu telah bersinar dengan banyaknya perpustakaan dan pusat pengajaran yang mana pada saat bersamaan Eropa masih berkutat pada era kegelapan.

Kini perkembangan zaman telah membawa Eropa dan Amerika menjadi peradaban terdepan dalam penguasaan pengetahuan dan teknologi. 

Sayangnya di saat yang bersamaan peradaban Islam seakan tidak mampu bersaing dan justru malah mengalami kemunduran. 

Berkembangnya puritanisme dan memudarnya keterbukaan berpikir seakan membuat peradaban Islam jauh dan tidak ramah dari perkembangan pengetahuan. 

Padahal sejarah telah membuktikan bahwa peradaban Islam telah tumbuh dengan membawa perkembangan pengetahuan bersamanya.

Posting Komentar untuk "Sejarah Kaum Mu’tazilah, Pelopor Rasionalisme Islam"