Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kebudayaan Megalitikum di Indonesia



Kebudayaan Megalitikum di Indonesia - Menurut Robert von Heine Geldern masuknya tradisi Megalitikum di Indonesia terjadi dalam dua gelombang yaitu golombang pertama (tradisi Megalitikum tua) dan gelombang kedua (tradisi Megalitikum muda).

Kronologi Megalitikum tua diperkirakan tahun 2500-1500 SM, termasuk kurun waktu Neolitikum. 

Beberapa hasil tradisi Megalitikum tua antara lain adalah menhir, dolmen dan bangunan teras berundak.

Seni tradisi ini lebih bersifat monumental. Pendukung tradisi Megalitikum tua adalah bangsa Austronosia dengan hasil budayanya yang paling menonjol adalah beliung persegi. 

Kronologi tradisi Megalitikum muda diperkirakan ribuan tahun pertama sebelum masehi, termasuk kurun waktu masa perunggu besi. 

Hasil seni tradisi tersebut bersifat dinamik dan ornamental serta banyak dipengaruhi kebudayaan Dongson yang berasal dari Vietnam (Robert von Heine Geldern, 1945 : 140-166).

Di Indonesia tradisi Megalitikum hampir tersebar di seluruh Nusantara. Menurut Von Heine Geldorn, gelombang tua berakar pada zaman Neolitikum ditandai dengan bangunan yang hersifat monumental dan gelombang muda dari masa permdagian ditandai dengan bangunan yang barsifat ornamental. 

Hal itu juga diperkuat dongan ditemukannya batu gajah di Pasemah yang monggambarkan soseorang naik gajah yang dipunggung penumpangnya nampak sebuah nekara yang diikat oleh tali (Soekmono,1991:77).

Monurut Haris Sukendar, tradisi Megalitikum dibawa oleh ras Austrinesia dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia pada masa Neolitikum dan perundagian. 

Tradisi ini terus berkembang hingga sekarang. Peranan tradisi Megalitikun dalam masyarakat, tidak mengalami perbedaan yang mencolok di daerah-daerah Indonesia, meskipun tradisi ini terpecah-pecah (1989:598).

Sebagai medium penghormatan yang menjadi tempat semertara kedatangan roh, dibuat menhir yang biasanya ditempatkan di bangunan undak. 

Bangunan undak ini terbentuk bangunan tersusun satu diatas yang lain dan makin keatas bentuknya makin kecil.

Bangunan ini pada umumnya sebagai replika dari bentuk gunung, ketika gunung dianggap sebagai tempat arwah yang abadi sehingga dipandang sebagai gunung suci (Soedjono,1984:287).

Pendirian bangunan Megalitikum dimaksudkan sebagai pemujaan dan penghormatan terhadap roh nenek moyang. 

Berpangkal dari kepercayaan tersebut orang berusaha mambuat suatu media, dengan tujuan agar dapat berhubungan dengan yang sudah meninggal. 

Media tersebut dapat berupa batu besar atau kayu-kayu besar. 

Batu-batu besar tersebut kemudian berubah menjadi suatu yang dipuja dan dianggap sebagai penjelmaan arwah nenek moyang. 

Di samping itu gunung adalah merupakan pusat segala potensi oleh karena itu gunung dianggap sebagai tempat suci, tempat borsemayam dewa-dewa.

Berdasarkan kepercayaan tersebut maka sesuatu yang dianggap suci diletakkan di atas gunung (Riboet Darmosoetopo, dkk,1976:21)


Posting Komentar untuk "Kebudayaan Megalitikum di Indonesia"