Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Perang Diponegoro: Latar Belakang, Jalannya Perang, dan Akhir



Oleh: Almas Hammam Firdaus

Latar Belakang Perang Diponegoro

Menurut Saleh As’ad Djamhari dalam bukunya Strategi Menjinakkan Diponegoro, menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro muncul di panggung politik Kesultanan Yogyakarta pada 1812 tatkala ia membantu ayahnya yang waktu itu masih menjadi putra mahkota (Pangeran Adipati Hamangkunagoro) yang tengah bersengketa dalam perebutan kekuasaan melawan kakeknya, Sri Sultan Hamengkubuwono II (Djamhari, 2014:29).

Setelah ayahnya diangkat sebagai Sultan oleh pemerintah Inggris, Pangeran Diponegoro dari panggung politik dan jarang hadir di kraton, kecuali saat ada audiensi resmi pada Grebeg Maulud. Pada hakikatnya, ia tidak begitu bahagia terhadap pengangkatan ayahnya sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono III. Karena itu pula Diponegoro menolak untuk ditawari sebagai putra mahkota oleh Residen Crawfurd karena adanya campur tangan asing dalam menentukan seorang Sultan. Mungkin Diponegoro sadar bahwa ia akan diadu dengan ayahnya pada suatu kesempatan nanti bila ayahnya tidak menepati janji atau kontrak dengan Pemerintah Kolonial Inggris. Diponegoro menyaksikan sendiri betapa mahalnya kompensasi yang diminta oleh Rafles tatkala ayahnya diangkat sebagai Sultan.

Selanjutnya dalam buku tersebut dijelaskan aktivitas Diponegoro yang suka berkelana dari satu gua ke gua lain seperti Gua Secang dan Gua Selarong untuk menyepi. Sebagai seorang Pangeran yang juga seorang santri, Diponegoro acap kali berkumpul dengan santri-santri (termasuk santri rendahan sekalipun) dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren lain. Tak hanya santri, Diponegoro juga kerap berbaur dengan petani, membantu menanam padi dan memanennya. Pada suatu saat, ia menanggalkan pakaian adatnya (Jawa) dan mengenakan pakaian model Arab serta menanggalkan namanya (Diponegoro) dan menggantinya dengan Ngabdul Kamid (nama yang nantinya juga digunakan beliau ketika mengobarkan perang). Peristiwa ini secara simbolik menegaskan pendiriannya bahwasannya ia ingin keluar dari lingkaran masyarakat yang dianggapnya jahiliyah dan membangun masyarakat baru dalam suatu balad (negara) Islam berdasarkan tuntunan Al-Quran. Untuk membangun balad Islam harus dicapai dengan melakukan sabil (perang suci terhadap orang-orang kafir).

Untuk merealisasikan tujuannya, Diponegoro berusaha memperoleh simpati masyarakat. Pada tahap awal ia melakukan aktivitas lobi terhadap semua kelompok masyarakat (Tilly, 1978:19). Hubungannya yang akrab dengan para demang; bekel; kyai dan ulama terutama Kyai Mlangi, Kyai Kwaron, Kyai Taptoyani/Taftazani (gurunya), Kyai Mojo, dan Syekh Ahmad membuka jalan pengakuan komunitas santri dan petani untuk mengakui kepemimpinannya.

Tegalrejo bukan lagi perdikan yang sunyi, melainkan berubah menjadi tempat berkumpulnya para pemimpin masyarakat untuk bertukar gagasan, serta menyusun rencana dan aksi rahasia tatkala Kesultanan Yogyakarta mengalami kekosongan kepemimpinan pada 1825. Kegiatan tersembunyi ini disebut sebagai konspirasi sunyi (conspiracy of silence). Kegiatan ini tidak pernah tercium oleh Pemerintah Kolonial Belanda maupun Kesultanan Yogyakarta. Sejak ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III berkuasa sampai Diponegoro sendiri diangkat menjadi Wali Sultan untuk G.R.M. Gatot Menol (Sultan Hamengkubuwono V), Diponegoro selalu mengawasi gerak-gerik penguasa Kesultanan dan Pemerintah Kolonial Belanda melalui abdi dalem yang sengaja diselundupkan ke kediaman mereka. Persaingan kelompok antar bangsawan semakin menajam tatkala masa pemerintahan adiknya, G.R.M. Ibnu Jarot (Sultan Hamengkubuwono IV) berlangsung. Mereka saling mengawasi gerak-gerik dan saling membunuh lawannya secara diam-diam (dengan meracuni makanannya). Ini seolah sudah menjadi kebiasaan bangsawan Dinasti Hamengkubuwono sejak masa Sultan Hamengkubuwono II yang mana terdapat dua kelompok bangsawan yang saling berlawanan yaitu kelompok Kasepuhan pendukung Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono II) yang lebih mematuhi agama dan adat istiadat Jawa (konservatif) dan kelompok pendukung Sultan Raja (Sultan Hamengkubuwono III) yang sekuler dan kebarat-baratan (Hageman, 1856:72).

Diponegoro sekalipun secara politis termasuk kelompok Sultan Raja, namun dalam hal perilaku dan etika, ia cenderung lebih berpihak pada kelompok Kasepuhan. Pada masa pemerintahan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III yang didampingi oleh Patih Danurejo IV sebagai pimpinan administrasi pemerintahan kraton, kelompok Sultan Raja menguasai kebijakan pemerintahan. Danurejo IV yang semula merupakan Bupati Japan (Mojokerto) dengan nama Sumodirejo, diangkat sebagai Patih. Penunjukan tersebut diprakasai oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai patih ia sebenarnya dikenal sebagai orang yang cakap tetapi berambisi untuk menguasai Kesultanan Yogyakarta. Ia menjodohkan putrinya, Ratu Kencono dengan putra mahkota G.R.M. Ibnu Jarot (Sultan Hamengkubuwono IV) yang merupakan adik dari Diponegoro. Ia mengangkat Wironegoro yang merupakan salah seorang kerabatnya sebagai Kepala Pasukan Pengawal Kraton.

Di Kesultanan Yogyakarta sedang ramai dengan persewaan tanah tatkala G.R.M. Ibnu Jarot diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono IV untuk menggantikan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III yang meninggal pada 1822. Karena itu masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV adalah masa keemasan bagi bangsawan penerima uang sewa (tanah). Ini bertolak belakang dengan kehidupan yang dialami masyarakat pedesaan pada saat itu. Untuk mengintensifkan pemasukan keuangan, Patih Danurejo IV membuat peraturan pajak baru dan pungutan bea lainnya secara besar-besaran. Gerbang-gerbang pajak (Tol Poorten) dibangun di semua jalan yang strategis, digerbang pasar dan didekat jembatan tanpa memikirkan kemampuan rakyat.

Diponegoro memperingatkan adiknya, Sultan Hamengkubuwono IV mengenai masalah kebijakan keuangan dan perpajakan ini sebagai suatu keputusan yang merugikan rakyat. Akan tetapi karena Sang Sultan adalah seorang yang menyukai hidup mewah, nasihat-nasihat Diponegoro tidak pernah dilaksanakannya. Akhirnya kebijakan pajak ini dibayar mahal oleh Sultan. Sultan Hamengkubuwono IV meninggal mendadak pada 16 Desember 1822. Siapa pembunuhnya tidak pernah terungkap hingga hari ini. Residen Yogyakarta, Baron de Salis kemudian meminta Diponegoro menggantikan Sang Sultan. Diponegoro menolak tanpa alasan yang jelas, akan tetapi ia berkeberatan apabila keponakannya G.R.M. Gatot Menol diangkat sebagai Sultan. Mengapa?

Pertama, G.R.M. Menol yang masih kanak-kanak secara prosedural tradisi, sama sekali tidak memenuhi persyaratan sebagai Sultan. Seorang yang menjadi Sultan haruslah seorang yang telah dewasa dan telah menikah karena seorang Sultan adalah Sayidin Panatagama (pemimpin agama) dan satu-satunya yang berhak mengangkat imam masjid besar. Ia adalah penghulu ageng (penghulu besar) Kesultanan. Kedua, Diponegoro yang didukung oleh mayoritas bangsawan Yogyakarta mempermasalahkan keturunan, asal-usul, nenek moyang G.R.M. Gatot Menol yang berdarah ningrat dari pihak ibunya. Dengan kata lain, sekalipun G.R.M. Menol adalah anak Sultan, tetapi ia lahir dari perkawinan pinggir yaitu perkawinan antara Sultan dengan keturunan budak. Ratu Kencono (anak Patih Danurejo IV) merupakan keturunan Untung Suropati, seorang budak dari Bali. Ketiga, adanya sejarah penghianatan terhadap Sultan dan Dinasti Mataram. Siapapun yang telah berkhianat terhadap Dinasti Mataram akan gugur haknya untuk menjadi Sultan yang mana dalam hal ini Untung Suropati yang pernah memberontak terhadap Dinasti Mataram. Pendapat Diponegoro ini didukung oleh mayoritas bangsawan termasuk Pangeran Mangkubumi. Masalah suksesi ini menjadi rumit tatkala calon lain yang berhak menjadi Sultan, K.G.P.A.A. Pakualam I, pun gugur haknya karena ia pernah berkhianat terhadap Sultan Hamengkubuwono II.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, atas izin Gubernur Jenderal, mengambil jalan tengah. Ia tetap mengangkat G.R.M. Gatot Menol sebagai Sultan. Akan tetapi timbul pertanyaan apakah keputusan ini muncul karena suatu konspirasi dengan kakek G.R.M. Gatot Menol, Patih Danurejo IV atau semata untuk mencari jalan keluar yang mudah dari masalah suksesi ini? Tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan. Dalam hal ini, Baron de Salis mengangkat empat orang keluarga Kesultanan sebagai Wali Sultan yaitu Pangeran Diponegoro, nenek Sultan, ibu Sultan, dan Pangeran Mangkubumi.

Akan tetapi tatkala upacara penobatan Sultan berhasil dilaksanakan, ada dua hal yang kemudian menyinggung perasaan Pangeran Diponegoro. Pertama, ia harus membacakan kontrak baru dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Diponegoro lantas menolaknya dengan mengaku tidak bisa membaca membaca dan menulis, yang mana tentu saja sesuatu hal yang sangat mustahil bagi seorang pangeran yang sejak kecil belajar di banyak pesantren. Kedua, upacara penobatan dianggap sebagai upacara yang senagaja dilaksanakan untuk merendahkan dirinya didepan umum sebagai seorang pengasuh anak kecil. Ia menduga adanya konspirasi antara Patih Danurejo IV dan Residen Baron de Salis untuk menghinakan dirinya di depan umum. Apalagi walaupun secara resmi dinobatkan sebagai wali sultan, Diponegoro ternyata tidak diikutsertakan dalam menangani tugas-tugas eksekutif dan dalam mengambil keputusan penting akan jalannya pemerintahan kesultanan. Karena itu, Diponegoro jarang berada di kraton, pemerintah Kolonial Belanda menganggap bahwa Diponegoro telah melalaikan tugasnya, lebih suka menyepi di Gua Selarong daripada bekerja di kraton. Sejak itu Kesultanan Yogyakarta kehilangan figur yang bisa memimpin pemerintahan Kesultanan. Ketidakhadiran Diponegoro di kraton memberikan kesempatan kepada Patih Danurejo IV untuk bertindak sebagai kepala pemerintahan yang melangkahi pendapat para wali sultan.

Diponegoro yang semakin teguh pendiriannya untuk membangun Balad Islam kemudian mempercepat persiapan dan perencanaan strategi perang secara rahasianya (conspiracy of silence), baik di Selarong maupun di Tegalrejo.

Jalannya Perang Diponegoro

Serbuan terhadap Tegalrejo

Pada Februari 1823, Residen Baron de Salis digantikan oleh Smissaert, seorang bekas Kepala Kehutanan. Smissaert ini nantinya sangat membenci Diponegoro karena ia pernah dipermalukan di depan umum pada suatu pesta yang diadakan di Loji (kediaman Residen) (Schoemacker, 1-6). Karena tidak ada tokoh yang kuat dan disegani dalam kraton, para pejabat Belanda dengan leluasa memasuki kraton. Menurut pandangan orang Jawa hal seperti ini berarti telah melanggar norma-norma kehidupan Jawa dan Islam. Kepemimpinan kraton praktis berada di tangan keluarga Patih Danurejo IV. Patih Danurejo IV bersama pejabat-pejabat Belanda berusaha menyingkirkan Diponegoro karena pengaruh Diponegoro masih kuat di lingkungan kraton. Puncak konflik diawali oleh insiden tiang pancang di Tegalrejo. Residen Smissaert dan Patih Danurejo IV memerintahkan anak buahnya memasang tiang pancang di Tegalrejo sebagai tanda akan dibuat jalan baru. Pemasangan tiang pancang itu dengan sengaja melewati tanah milik Diponegoro tanpa izin. Diponegoro memerintahkan pengikutnya untuk mencabut pancang-pancang tersebut. Sebaliknya Patih Danurejo IV memerintahkan anak buahnya memasang kembali tiang-tiang pancang itu dengan dijaga oleh Pasukan Macanan, Pasukan Pengawal Kepatihan. Pengikut Diponegoro membalas mencabuti tiang-tiang pancang itu kembali dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka. Insiden pancang inilah yang nantinya menjadi sebab khusus dari konflik terbuka antara Diponegoro dan Danurejo IV serta Smissaert yang kemudian membesar menjadi pecahnya Perang Diponegoro. Inilah yang kemudian menjadi alasan Smissaert dan Danurejo IV untuk menyerang dan membuminganguskan Tegalrejo (kediaman Diponegoro) pada 21 Juli 1825.   

Pecahnya Perang Diponegoro sejatinya juga lahir karena Diponegoro yang mencita-citakan adanya Kesultanan Yogyakarta yang memuliakan agama (Islam). Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, ia melakukan konspirasi sunyi selama 12 tahun dengan para bekel, demang, bupati, ulama, santri dan para petani untuk menyusun kekuatan. Tentara yang merupakan tulang punggung kekuatan perang telah dibangun oleh Diponegoro dalam jangka waktu 12 tahun itu tadi di hampir seluruh wilayah Kesultanan Yogyakarta. Untuk organisasi dan susunan pasukannya sendiri mengadopsi gaya pasukan Janissary milik Kesultanan Turki Utsmani yang meliputi Korps Bulkiyo (Boluk), Barjamuah (Bashiboesuk), Turkiyo (Turki), Harkio, Larban, dan menggabungkannya dengan gaya militer Mataraman seperti Mandung, Jayungan, Pinilih, Suronoto, dan Suragama (Abdullah, 2012:423). Hierarki kepangkatan Pasukan Diponegoro direkonstruksi sebagai berikut:

  • Alibasah (Ali Pasha) setara dengan komandan Divisi. Orang yang diangkat Alibasah di antaranya Alibasah Abdul Khamil, Alibasah Sentot Prawirodirejo, Alibasah Kertopengalasan, Alibasah Muhammad Usman dan lain sebagainya.
  • Basah (Pasha) setara dengan Komandan Brigade, orang yang diangkat menjadi Basah diantaranya Basah Gondokusumo dan Basah Mertonegoro
  • Dullah (agadullah), setara dengan Komandan Batalyon
  • Seh, setara dengan Komandan Kompi
Di samping membentuk hierarki pasukan, Diponegoro juga mempersiapkan markas operasi cadangan seperti di Dekso, Sambiroto serta membangun pabrik-pabrik mesiu disekitar Nagari Yogyakarta seperti di desa Geger, di selatan Yogyakarta, Parakan, Gunung Kidul, dan Kembangarum (Kedu) dan tak lupa juga pembelian besar-besaran padi sebagai logistik (Djamhari, 2014:39). Diponegoro juga mengakat diri sebagai Sultan dengan gelar Sultan Abdul Khamid Herucokro Kabirulmukminin Sayidin Panatagama Ngabdurrahman Khalifatulrasulillah Sabilullah Ing Tanah Jawi.

Aktivitas di Selarong

Setelah Tegalrejo dibumihanguskan pada 21 Juli 1825, Diponegoro dan pengikutnya menyingkir ke Gua Selarong, yang merupakan tempat yang sedari awal dipersiapkan sebagai markas komando. Di Selarong ini Diponegoro menyusun strategi sebagai berikut: pertama melakukan serbuan terhadap Nagari Yogyakarta, mengisolasi pasukan Belanda, dan mencegah masuknya pasukan bantuan ke wilayah Yogyakarta; kedua mengirimkan kurir kepada para Bupati dan ulama baik di wilayah Nagara Yogyakarta ataupun di Mancanegara untuk bergabung dalam perang; ketiga menyusun daftar nama bangsawan yang dianggap lawan dan kawan; keempat membagi wilayah Kesultanan Yogyakarta atas beberapa mandala perang sekaligus mengangkat para pemimpinnya yang mana dalam hal ini ia mengangkat 8 mandala perang antara lain Bagelen (Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprojo), Lowanu (Pangeran Abubakar dan Pangeran Muhammad), Kedu (Kyai Muhammad Anfal dan Mulyosentiko), Pajang (Warsokusumo dan Mertoloyo), Sukowati/Sragen (Tumenggung Kertodirdjo dan Mangunegoro), Gowong (Tumenggung Gajah Pernolo), Langon (Pangeran Notobroto Projo), dan Serang (Pangeran Serang); kelima menyusun pasukan pengawal yang terdiri dari 6 korps yakni Korps Mataram, Daeng, Nyutro, Mandung, Ketanggung, dan Kanoman, disamping itu juga diresmikan terbentuknya pasukan model baru dengan struktur organisasi militer Kesultanan Turki Utsmani; dan keenam memerintahkan dan mempersiapkan tempat-tempat yang strategis sebagai calon pengganti Selarong yang mana sudah disinggung sebelumya yakni Dekso dan Sambiroto.

Reaksi Pemerintah Kolonial Belanda

Pemerintah Kolonial Belanda yang merasa sebagai pemegang kedaulatan dan pelindung Sultan serta amat berkepentingan terhadap stabilitas politik dan keamanan, tidak dapat menerima pemberontakan yang dilancarkan Diponegoro. Komisaris Jenderal Van der Capellen menerima laporan terjadinya pemberontakan Diponegoro pada 24 Juli 1825. Ia menggelar siding Raad van Indie (Dewan Hindia) pada 31 Juli 1825 guna membahas pemberontakan yang dilancarkan Diponegoro. Beberapa anggota mengusulkan beberapa saran jangka pendek dan jangka panjang diantaranya pertama ada yang mengusulkan Dinasti Hamengkubuwono dihapuskan saja dan wilayah Kesultanan disatukan dengan Kasunanan atau Mangkunegaran namun usul ini tidak disetujui karena dikhawatirkan justru dapat menimbulkan konflik yang lebih besar lagi; kedua mengembalikan Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono II) untuk kembali menduduki tahta dengan harapan nantinya apabila perang tetap berlangsung biaya perang dapat dibebankan kepada Sultan, usul ini pun dipertimbangkan; ketiga menumpas pemberontakan dengan kekuatan senjata, usul ini pun disetujui dengan diangkatnya Jenderal H.M. De Kock (Panglima Tentara Hindia Timur (NOIL)) yang merangkap jabatan sebagai Letnan Gubernur Jenderal ditugasi sebagai Panglima Tertinggi Operasi. Untuk menambah kekuatannya, De Kock memanggil pasukan Jenderal van Geen dari Sulawesi dan beberapa kesatuan dari Kalimantan dan Sumatra. Van Geen pun diangkat sebagai Komando Operasi di Lapangan.

Serbuan ke Yogyakarta

Tiga minggu setelah penyerbuan ke Tegalrejo, pada Senin, 7 Agustus 1825, pasukan Pangeran Diponegoro melakukan serbuan ke NagariYogyakarta dengan kekuatan 6.000. Pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Abubakar menyerbu Kadipaten Pakualaman, menghancurkan jembatan Kali Code, membakar kampung Eropa dan Cina, serta menghancurkan gerbang-gerbang pajak. Pasukan yang dipimpin Pangeran Adinegoro menguasai jalan raya Yogyakarta-Magelang-Surakarta. Pasukan yang dipimpin Pangeran Blitar berhasil mencapai Pajang. Di Kejiwan, pasukan induk Diponegoro berhadapan dengan pasukan Sollewijn yang menyebabkan pertempuran hebat dan pasukan Sollewijn mengalami kekalahan. Beberapa meriam, senapan dan kuda berhasil dirampas pasukan Diponegoro. Jalur komunikasi Surakarta-Klaten pun putus setelah desa Gading dikuasai Diponegoro.

Diponegoro mengetahui posisi Delanggu yang strategis yang mana apabila dapat dikuasai maka jalan untuk merangsek ke Surakarta menjadi sangat dekat. Pada 28 Agustus 1826, Diponegoro mengarahkan 10.000 pasukan untuk menguasai Delanggu dan berhasil, dengan jatuhnya Delanggu menjadikan kekalahan yang telak bagi Belanda, sejumlah kereta pengangkut logistik dan uang dirampas. Selanjutnya Diponegoro berhasil menjalin hubungan dengan pasukan Pajang sehingga hal ini merupakan ancaman yang serius terhadap Surakarta. Belanda pun berusaha keras agar pasukan Diponegoro tidak bisa merangsek masuk ke Surakarta. Pada 24 September 1825, Jenderal de Kock memimpin sendiri pasukan nya dengan kekuatan 7.500 pasukan untuk merebut kembali Nagari Yogyakarta. Akibat serbuan itu pasukan Diponegoro mundur ke arah barat. Jenderal de Kock juga menyerbu Selarong namun tidak mendapati pasukan Diponegoro disana. Sejak itu pertempuran jadi berlarut-larut, pihak Diponegoro kemudian mengganti strateginya yang dalam sejarah dinamakan atrisi (penjemuan). Strategi inilah yang kemudian mengubah perang Diponegoro ini menjadi jangka panjang. Walaupun nantinya sempat terhenti karena kekalahan pertempuran di Desa Gawok pada Oktober 1826 yang mana membuat pasukan Diponegoro tertahan di Pajang sampai 1827.

Pemberontakan di Daerah-daerah

Pemberontakan Pangeran Serang

Kadipaten Serang merupakan wilayah mancanegara milik Kesultanan Yogyakarta. Pada Agustus 1825, pecah pemberontakan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Serang yang dibantu adik iparnya Pangeran Notoprojo (Bupati Gagatan) dan Raden Sukur. Dengan kekuatan 8.000 pasukan Pangeran Serang menyerbu Purwodadi untuk membuka jalan menuju Demak dan mengonsentrasikan pasukannya di Desa Bongo (Gamba). Semua jembatan yang menghubungkan Semarang dan Demak dihancurkan. Peristiwa inipun membuat kalangkabut Residen Semarang H.H. Domis dan Residen Jepara-Rembang van Haak. Untuk mengatasi pemberontakan ini Jenderal van Geen memerintahkan Kapten Buschen dan Kapten Lassasie bergerak ke Demak dan Bongo. Dengan cepat pertempuran hebat pun terjadi dan pihak Belanda mengalami kekalahan. Pada 15 September 1825 di Buyaran terjadi pertempuran yang sangat sengit dan menimbulkan korban jiwa yang besar hingga dianggap sebagai pertempuran paling dahsyat dalam sejarah Pantai Utara. Akibat pertempuran ini pasukan Pangeran Serang berkurang drastis karena banyak yang wafat. Pangeran Serang tidak menyerah, pada 23 Oktober 1825, ia kembali menyerang Purwodadi namun serangan ini gagal karena Kolonel van Harrar dan pasukannya telah berjaga ketat disana. Akhirnya Pangeran Serang dan pasukannya memilih bergerak ke arah timur menyeberangi Sungai Bengawan Solo untuk menuju Mancanegara Timur.

Pemberontakan di Mancanegara Timur

Sejak peristiwa pembumihangusan Tegalrejo, sebagian Bupati di Mancanegara Timur sebenarnya bersimpati terhadap Pangeran Diponegoro, akan tetapi belum berani bertindak. Residen Surabaya Besier melaporkan kepada Jenderal de Kock bahwa sebagian Bupati di Mancanegara Timur telah bersiap-siap mengangkat senjata. Bupati-Bupati tersebut diantaranya Bupati Magetan, Madiun, Brebeg, Godean, Kertosono dan Caruban (wilayah Kasunanan). Mancanegara timur mulai bergolak sejak mendapat kiriman surat dari Bupati Sukowati, Kartodirdjo. Kartodirdjo mengajak para Bupati Mancanegara Timur untuk melawan Kesultanan Yogyakarta dan Belanda untuk memuliakan kembali agama Islam dan memulihkan kembali Kesultanan, selain itu ia juga menuduh Patih Danurejo IV bekerja sama dengan Belanda untuk menyulut api peperangan. Akan tetapi ajakan tersebut ditolak oleh Bupati Wedana Ronggo Prawirodirdjo III yang mana membuat para Bupati lain mengurungkan niatnya untuk membantu Diponegoro walaupun tidak semua.

Pada 23 September 1825, terjadi gejolak di Ngawi. Orang-orang Cina dibunuh sementara rumahnya dibakar. Orang-orang Cina ini dianggap berperan sebagai pedagang pelantara yang hampir menguasai pasar-pasar di Ngawi dan sebagai penyedia logistik militer untuk pasukan Jenderal de Kock. Pemberontakan ini dipimpin oleh Tumenggung Wironoto yang dibantu Temenggung Kertodirdjo, Tumenggung Surodirdjo, Tumenggung Alap-Alap, bergabung pula Pangeran Serang dan Raden Sukur. Untuk menumpasnya Belanda pun melakukan pembakaran desa dan merampas ternak serta logistik. Pada 9 Januari 1826, Kertodirdjo berhasil ditangkap tetapi Pangeran Serang, Tumenggung Alap-Alap dan Raden Sukur berhasil lolos (Weitzel, 1859:247).

Pemberontakan di Kadipaten Kertosono

Untuk pemberontakan di Kertosono sendiri dipimpin oleh Bupati Kertosono Tumenggung Wiryonegoro. Ia memerintahkan membakar perkampungan Cina dan menggerakkan prajurit untuk membuat kubu pertahanan di sepanjang Sungai Brantas. Pemberontakan ini dianggap berbahaya karena wilayah Kertosono sendiri yang berbatasan dengan Wirosobo (Mojoagung), Japan dan Anjlok di sebelah barat, serta Karesidenan Surabaya dan Pasuruan di timur. Jenderal de Kock memerintahkan Kolonel Bonelle memadamkan pemberontakan ini. Pada 17 Oktober 1825, dikerahkanlah  satu detasemen infanteri dan artileri regular berkekuatan 328 pasukan, artileri 69 pasukan, dan pionir 26 pasukan. Pasukan ini dibantu pula oleh pasukan pembantu pribumi (hulptroepen) dari Madura dan Sumenep serta 2.500 Jayengsekar. Pada 28 Oktober 1825, Detasemen infanteri di bawah komando Mayor Le Bron de Vexela menghacurkan kota tua tempat tinggal Wiryonegoro. Setelah kediamannya diserbu, Wiryonegoro melarikan diri ke Brebeg dan beberapa lama setelahnya menyatakan menyerah. Pada 27 Oktober 1825, Wiryonegoro pun dijembut dari Brebeg dan menandai akhir pemberontakan di Kertosono.

Pemberontakan di Karisidenan Kedu

Sebelum peristiwa Tegalrejo, sebenarnya rakyat di perbatasan Kedu dan Kesultanan Yogyakarta telah mempersiapkan perang dengan membeli padi secara besar-besaran. Gejolak di Karesidenan Kedu dimulai ketika pasca Peristiwa Tegalrejo, sejumlah 5.000 orang berkumpul secara sukarela di Distrik Probolinggo (sebelah tenggara Magelang). Mereka kemudian menyeberangi Sungai Elo untuk menyerbu Magelang. Tempat tinggal pejabat dibakar pada 26 Juli 1825. Bupati Magelang dan para pejabat lari menyelamatkan diri. Dari Selarong, Diponegoro menulis surat yang ditujukan untuk para Demang, penatus, penekat, penglawe, penajungan dan seluruh masyarakat untuk berperang. Surat yang sama juga dikirimkan kepada Tumenggung Surodilogo, Bupati Wedana di sebelah barat Gunung Sumbing. Daerah sekitar bukit Menoreh kemudian juga menjadi pangkalan pasukan Diponegoro. Pemberontakan rakyat semakin meluas terutama di distrik Menoreh dan Godean yang mana rakyat di dua distrik ini kebanyakan pengikut fanatik Diponegoro yang mana mereka memberontak pada 31 Juli 1825. Untuk mengatasi pemberontakan di Menoreh, maka didatangkan satu kolone pasukan yang dipimpin oleh de Vries. Pemberontakan juga terjadi di desa-desa di antara Sungai Progo dan Sungai Elo diantaranya Desa Desa Benda dan Sodangan. Untuk mengatasi pemberontakan di Kedu agar tidak semakin membesar, maka Jenderal de Kock memerintahkan Letnan Kolonel Cochius untuk berangkat ke Kedu. Desa-desa yang dicurigai memberontak dibakar. Pemberontak yang ditangkap pun disiksa agar menghasilkan efek jera. Namun ternyata hal tersebut tidak membuat para pemberontak jera bahkan malah semakin meluas. Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan pada bulan Agustus 1826, dibangunlah pos-pos penjagaan di beberapa tempat strategis terutama di persimpangan jalan penghubung antara distrik dan kota Magelang.

Berlarutnya Perang

Medan Pajang

Setelah kekalahan di Gawok pada Oktober 1826, serangan pasukan Diponegoro sempat terhenti. Pasukan Diponegoro kemudian berpencar membangun pangkalan di lereng gunung Merapi dan menduduki desa-desa di wilayah Pajang. Sebagian lagi membuat pangkalan di sekitar Prambanan. Hampir seluruh wilayah Pajang dikuasai oleh Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo. Diponegoro pun kembali menggunakan strategi atrisinya yang mana strategi ini membebaskan bertindak para komandan pasukan dengan taktik gerilyanya untuk menggerogoti kekuatan musuh dengan kekuatan yang kecil. Kekuatan pasukannya diperkirakan sekitar 5.000 pasukan yang tersebar di berbagai pangkalan perlawanan seperti di Desa Jatianom, Pulowatu, Delanggu, Prambanan dan Gunung Kidul. Untuk markas komandonya sendiri di Jatianom diperkuat oleh 1.500 pasukan dan 5.000 pasukan Bulkiyo. Mereka memperoleh senjata dengan membeli secara gelap dari Solo, sedangkan amunisinya sendiri dari Semarang. Di tempat-tempat tertentu pula dibangun pos-pos pengintai (pecalang).

Setelah Jenderal de Kock mengetahui bahwa Jatianom dijadikan pangkalan markas komando Diponegoro, ia memerintahkan untuk menyerbu, merebut dan menduduki Jatianom. Pada 22 Februari 1827, Letnan Kolonel Le Bron de Vexela dengan kekuatan 2.000 pasukan menyerbu Jatianom. Serbuan gagal karena Diponegoro rupanya telah mengetahui rencana operasi tersebut lewat spion-spionnya (teliksandi). Jatianom lebih dulu bisa dikosongkan. Jatianom dan desa-desa sekitarnya akhirnya dibakar oleh pasukan Belanda. Serangan diteruskan ke Singosari, desa yang menjadi pangkalan pasukan Diponegoro. Pasukan Le Bron urung menyerbu ke Singosari yang ternyata dipertahankan 1.600 pasukan. Pasukan Diponegoro ditahan dengan tembakan-tembakan meriam. Operasi diteruskan ke jalan raya Klaten-Prambanan, tetapi tak menghasilkan apapun. Pasukan Diponegoro kembali melakukan konsolidasi di Jatianom dan Pulowatu. Rakyat di daerah ini memang pantang menyerah walaupun desa mereka telah dibakar tak menyulutkan niat mereka untuk membela Diponegoro. Pada April 1827, Jatianom kembali diserbu, pasukan Diponegoro pun kembali mundur ke Desa Kepurun di lereng Gunung Merapi.

Akibat kegagalannya dalam menaklukan Diponegoro di wilayah Pajang, Mataram, dan Bagelen, akhirnya Jenderal de Kock menerapkan strategi baru yang dinamakan Stelsel Benteng pada Mei 1827. Untuk menjalankan strategi ini De Kock menyusun suatu rencana yang dinamakan Rencana Operasi 1827 dengan lima pendekatan yakni mengikat persahabatan dengan musuh-musuh Diponegoro, mengikat persahabatan dengan Sunan Pakubuwono VI (meskipun Sunan juga pada akhirnya berpihak kepada Diponegoro) dan K.G.P.A.A. Mangkunegara II, merebut kembali wilayah Kesultanan yang diduduki dan dikuasai oleh pasukan Diponegoro, menggiring pasukan Diponegoro ke medan antara Sungai Progo dan Bogowonto yang akan dijadikan daerah penghancuran, dan menangkap Pangeran Diponegoro.

Dengan pendekatan tersebut, operasi-operasi diprioritaskan berjalan di wilayah Pajang. Alasannya sejak awal perang sampai April 1827, Jenderal de Kock telah kehilangan 1.603 atau 27% dari jumlah prajuritnya yang berjumlah 6.000 pasukan. Jenderal de Kock membagi operasi menjadi dua yakni medan Timur (Pajang & Mataram) dan medan Barat (Bagelen, Ledok, dan Banyumas). Untuk daerah operasi Timur dipersiapkan 5 kolone mobil. Sasarannya adalah membersihkan dan merebut kantong atau pangkalan pasukan Diponegoro yang ada di Pajang dan menggiringnya ke medan penghancuran. Prioritas operasi ini adalah kawasan segitiga Pulowatu yakni Kalasan-Pasar Gede, Yogyakarta-Kalijengking, dan Prambanan-Imogiri.

Akibat operasi-operasi yang dilakukan secara intensif membuat pasukan Diponegoro kian terdesak dan mundur masuk ke desa-desa di lereng Gunung Merapi yang tandus. Konflik internal pun juga mewarnai pasukan Diponegoro yang berasal dari Mataram dan prajurit pribumi Pajang. Akhirnya Diponegoro dan pasukannya yang berasal dari Mataram meninggalkan Pajang. Kesempatan ini dimanfaatkan De Kock untuk membujuk Kyai Mojo menyerah melalui meja perundingan, namun usaha tersebut gagal dan perundingan tersebut hanya menghasilkan gencatan senjata selama bulan Ramadhan atau 12 Agustus-30 Oktober 1827. Kesempatan ini digunakan kedua belah pihak untuk melakukan perembesan (infiltrasi) ke daerah Mataram dan Kedu lewat lereng Gunung Merapi. Akan tetapi Jenderal van Geen melanggar kesepakatan dengan tetap menyerang pasukan Diponegoro di lereng Gunung Merapi meskipun akhirnya gagal karena Diponegoro rupanya sudah berada di Mataram.

Medan Mataram

Sejalan dengan operasi 1927, disamping operasi tempurnya juga dilakukan operasi intelijen dan psikologis. Sejak diangkat kembalinya Sultan Sepuh sebagai raja pada Agustus 1826, rupanya mempengaruhi pendirian sebagian dari pendukung Diponegoro. Operasi psikologis dimulai oleh Residen Yogyakarta Lawick van Pabst yang berusaha mempengaruhi Pangeran Serang dan Tumenggung Notoprojo. Tak terduga rupanya operasi tersebut pun berhasil, Pangeran Serang dan Tumenggung Notoprojo menyerah bersama pasukannya yang terdiri dari 47 orang kepercayaan, 280 prajurit, dan prajurit lain yang seluruhnya berjumlah 820 pasukan pada Juli 1827. Berita ini pun membuat Diponegoro kecewa namun ia segera mengambil kebijakan cepat melakukan konsolidasi dan mengangkat Dalem Rifangi menjadi Bupati Pegunungan Selatan yang berkedudukan di Kotagede dan mengganti namanya menjadi Resosentono (De Kock, 14. 17).

Dalam usahanya untuk merebut Kotagede, Kolonel Cochius membangun benteng di Donoloyo. Benteng yang sedang dibangun ini kemudian diserang oleh Pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Basah Muhyi dengan kekuatan 1.000 pasukan, Pangeran Suryonegara dan Pangeran Suryoningrat, namun serangan tersebut gagal menembus benteng. Sebagai balasan, pada Juli 1827, Kolonel Moyor de Errembault de Dudzeele dengan kekuatan 480 pasukan menyerbu Kotagede, gempuran pasukan ini didukung oleh kekuatan pasukan Pangeran Notoprojo dan pasukan pengawal Sultan yang seluruhnya berjumlah 925 pasukan juga ditambah 400 pasukan cadangan. Pertempuran yang berlangsung selama 6 jam ini pada akhirnya membuat pasukan Diponegoro mengalami kekalahan dan harus menyingkir ke Pasar Gede. Dengan ini Kotagede pun berhasil diduduki Belanda.

Setelah melakukan konsolidasi akhirnya pada 18 Juli 1827 menyerang Benteng Gamping dan Benteng Bulu. Kedua benteng ini bernilai strategis tinggi dan berfungsi sebagai pertahanan nagara Yogyakarta walaupun dalam serangan ini pimpinan pasukan yakni Tumenggung Joyosentiko gugur.

Meningkatnya perlawanan di wilayah Yogyakarta, pada akhirnya menyebabkan Jenderal van Geen akhirnya memerintahkan untuk meningkatkan operasi pembersihan pasukan Diponegoro yang berpangkalan di beberapa tempat. Akibat operasi-operasi yang dilancarkan van Geen ini banyak penduduk desa yang tak bersalah menjadi korban perampasan, pembunuhan dan pembakaran. Selain itu akibat belum terbiasa dan belum menguasai strategi stelsel benteng menyebabkan banyak pasukan Belanda yang kelelahan dan harus dirawat. Moral pasukan Belanda pun banyak yang turun akibat hal ini. Sebaliknya Diponegoro dan pasukannya justru semakin masif untuk melancarkan serangan.

Medan Kedu

Setelah Diponegoro meninggalkan Pajang pada 1827, Kedu berubah menjadi medan perang yang dahsyat. Berakhirnya gencatan senjata pada Oktober 1827, dieksploitasi sebagai momentum yang tepat untuk melakukan aktivitas peperangan kembali. Pada bulan Oktober 1827, Benteng Trayem diserang oleh pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Pakuningrat dan Pangeran Pakuningprang, namun serangan ini gagal dan pasukan pun menyingkir ke Pegunungan Trayumas yang sekarang menjadi markas baru bagi pasukan Diponegoro.

Aktivitas pasukan Diponegoro di Kedu membuat Jenderal van Geen resah. Sebagian pasukan Diponegoro di Kedu juga kerap kali melakukan pencegatan dan gangguan baik terhadap pasukan maupun angkutan logistik yang mana pasukan ini dipimpin oleh Adipati Urawan dan Tumenggung Yudo Penawang. Penduduk Probolinggo yang fanatik terhadap Diponegoro juga sangat merepotkan Belanda. Oleh karena itu, komando militer pasukan Belanda di Kedu diperintahkan untuk membuat garis pertahanan dari kaki Gunung Merapi, Kalijengking-Trayem-Bligo, dan di kawasan pegunungan. Baru pada akhir 1827, pasukan daerah pertahanan Kedu tersebut berhasil memukul mundur pasukan Diponegoro.

Medan Menoreh, Bagelen, Ledok dan Banyumas

Medan Menoreh, Bagelen, Ledok, dan Banyumas ini termasuk ke dalam tiga Residensi, Menoreh termasuk wilayah Karesidenan Kedu, Bagelen termasuk Mancanegara Barat, dan Ledok termasuk Karesidenan Banyumas dan Pekalongan. Daerah-daerah ini termasuk dalam komando Kolonel Cleerens. Diponegoro memilih Menoreh sebagai kedudukan markas komandonya. Untuk mengamankan wilayahnya, Cleerens menetapkan suatu garis keamanan dari Kaliabu (Menoreh) sampai Banyumas. Penetapan garis ini pun disetujui oleh Jenderal van Geen mengingat rakyat Pegunungan Menoreh, Trayumas, Ledok dan Gowong kebanyakan mendukung Diponegoro. Tidak seorang pun disana yang mau memberitahukan lokasi Diponegoro, bahkan ketika mereka diancam oleh Kolonel Cleerens mereka juga tidak menunjukan rasa takut sama sekali. Akhirnya Cleerens pun mengganti sistem operasinya dengan sistem operasi teritorial yang bertujuan untuk memikat hati rakyat secara damai. Untuk keperluan operasi ini, Cleerens pun membangun benteng-benteng di tempat-tempat yang strategis.

Sekalipun sudah melakukan operasi teritorial secara intensif tetap saja hasilnya tidak memuaskan. Orang (Diponegoro) yang dicari Cleerens di daerah-daerah ini ternyata sangat dihormati dan bahkan dianggap sebagai Sultan.

Pada Oktober 1827, pasukan Diponegoro yang dipimpin Basah Ngabdul Mukin dan Basah Joyosendirgo mulai bergerak ke Bagelen Selatan untuk membangun pangkalan di Bubutan dan Wojo. Sementara pasukan Diponegoro yang lain dengan kekuatan 6.000 pasukan memasuki Remo Jatinegara dibawah pimpinan Basah Ngabdul Tahyi dan Basah Ngabdul Latip, selanjutnya mereka bergerak ke Karanganyar (Kebumen) dan ke Karangbolong. Sementara induk pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Ngabei Joyokusumo, Tumenggung Mangkudirdjo, Alibasah Kertopengalasan, Wonorejo, Joyobinangun dan Joyomerdoyo dengan kekuatan 5.000 pasukan bergerak ke Linggis.

Pada 11 Desember 1827, pasukan Diponegoro secara tiba-tiba menyerang beberapa tempat penting di daerah ini. Wonosobo, Kreteg, Kaliwiro berhasil direbut dan diduduki. Penyerbuan ini dipimpin oleh Pangeran Notobroto. Karena kegagalannya membendung pasukan Diponegoro di daerah komandonya, akhirnya Kolonel Cleerens meninggalkan operasi yang diterapkannya dengan mengintroduksi strategi Stelsel Benteng.

Medan Mancanegara Timur

Diponegoro memahami Stelsel Benteng yang diintroduksi Jenderal de Kock dan persiapan-persiapan yang dilakukannya, khususnya pada logistik. Diponegoro kemudian mengutus Tumenggung Sosrodilogo untuk ke Rajegwesi (wilayah Karesidenan Jepara-Rembang) membuat huru-hara disana. Pada 28 November 1827, Sosrodilogo mulai melancarkan aksinya dengan mendatangi rumah Patih dan menangkapnya, membakar Ndalem Kabupaten dan kediaman asisten Residen, menangkap pejabat-pejabat pemerintah, mengganggu jalan angkutan logistik dan melepaskan orang-orang di penjara.

Setelah berhasil menduduki Rajegwesi, Sosrodilogo dan pasukannya kemudian melakukan penyerangan ke berbagai tempat di Karesidenan Rembang. Sasaran utamanya menduduki daerah-daerah sepanjang Bengawan Solo agar mereka dapat menahan laju angkutan logistik. Gerakan pasukan Sosrodilogo semakin lama makin tak terbendung, mereka berhasil menduduki Jepon, Padangan dan Lasem. Banyak orang-orang Cina juga yang dipaksa masuk Islam dan disunat (Abdullah, 2012:446).

Pemberontakan Sosrodilogo ini merupakan pukulan yang mendadak bagi Jenderal de Kock. Karena tidak bisa mengirimkan pasukannya dengan segera, akhirnya ia memerintahkan Bupati Wedana Madiun Raden Ronggo Prawirodiningrat untuk menghadapi Sosrodilogo. Bantuan didatangkan dari Surakarta dibawah pimpinan Residen Nahuys bersama pasukan Desenstje. Namun ternyata menaklukan Sosrodilogo tidaklah mudah, di Desa Planturan pasukan Nahuys pun berhasil dikalahkan dan Nahuys sendiri sampai harus terjun ke Bengawan Solo. Jenderal de Kock pun akhirnya segera menginstruksi Van Geen agar Du Perron yang berkedudukan di Kedu segera diberangkatkan ke Rembang. Pun dengan Kolone Gresheim yang diperintahkan ke Blora. Kolone Du Perron berhasil menduduki kembali Kranggan dan Lasem, namun sebaliknya Gresheim justru kesulitan untuk menghadapi pasukan Sosrodilogo yang menerapkan taktik hit and run (menyerang dan melarikan diri) serta karena sulitnya medan hutan jati yang lebat.

Pada 26 Januari 1828, Rajegwesi dikepung oleh 3 kolone dari arah selatan. Pertempuran dahsyat pun tak terelakan. Dalam pertempuran ini pasukan Sosrodilogo banyak yang gugur dan pada esok harinya yakni pada 27 Januari 1828, Rajegwesi resmi berhasil dikuasai kembali oleh Belanda. Tumenggung Sosrodilogo bersama beberapa pasukannya yang tersisa masih sempat melarikan diri ke Madiun. Bupati Madiun pun bersiaga untuk menangkap Sosrodilogo tidak pernah bisa ditangkap sampai ia muncul kembali di medan Yogyakarta pada 1829.

Stelsel Benteng

Konsepsi dan Operasi

Stelsel Benteng adalah stategi dan senjata tentara Hindia Belanda untuk menghadapi pasukan Diponegoro. Stelsel Benteng digagas oleh Jenderal de Kock pada 1827. Konsepsi Stelsel Benteng tercipta sebagai hasil pemaduan pengalaman dalam sejarah militer. Pasukan yang melakukan manuver masuk terlalu jauh ke daerah lawan seringkali mengalami serangan dadakan dari lawan, oleh karenanya terciptalah ide untuk membuat semacam pagar pertahanan sederhana dari pohon kelapa untuk melindungi bivak mereka. Cara ini ternyata efektif. Stelsel Benteng merupakan strategi dua kutub, yakni gabungan unsur manuver (pasukan) yang dinamis dengan unsur perlindungan benteng yang statis.

Stelsel Benteng sebagai sistem senjata memiliki fungsi yang berkembang dari aspek strategi militer ke strategi umum seperti benteng berfungsi sebagai batas wilayah dalam daerah pertahanan untuk memutuskan komunikasi daerah-daerah yang dikuasai lawan dan memperpendek jarak penyaluran logistik, evakuasi pasukan, dan tempat istirahat atau Rumah Sakit; benteng sebagai tempat aktivitas ekonomi yaitu mengawasi persawahan, pasar-pasar dan tempat-tempat penyetoran pajak; dan terakhir benteng sebagai tempat menyalurkan aktivitas politik seperti perundingan dan membujuk pimpinan pemberontakan atau kepala desa dengan memberikan sejumlah hadiah seperti opium atau kain sarung (Abdullah, 2012:447). Dari aspek taktis Stelsel Benteng diterapkan dalam bentuk patrol-patroli taktis serangan secara teratur dan terus menerus untuk memaksa lawan ke suatu daerah yang dikehendaki. Dari aspek strategi, Stelsel Benteng memberikan kebebasan kepada komandan pasukan kolone untuk menerapkan operasi tempur, operasi teritorial, psikologi dan budaya. Sasarannya ialah memisahkan hubungan musuh dengan rakyat, merebut instrument-instrumen penting lawan, mencegah penyusupan, dan membatasi ruang gerak lawan. Dalam pelaksanaannya untuk menaklukan Diponegoro total benteng yang dibangun Jenderal de Kock berjumlah 258 benteng dengan berbagai bentuk dan ukuran yang tersebar di seluruh medan (Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, Ledok dan Mancanegara Timur). Pembangunan ini menelan biaya yang sangat besar. Stelsel Benteng juga memiliki kekurangan diantaranya pembangunan benteng yang sering keliru dan tidak efektif sehingga terpaksa ditinggalkan sebelum digunakan mengingat pergerakan pasukan Diponegoro yang tidak bisa dengan mudah ditebak dan dideteksi, selain itu karena keterbatasan bahan untuk membangun seringkali benteng-benteng ini dibangun dengan bahan seadanya sehingga mudah dihancurkan oleh lawan, dan juga akibat prasarana jalan dan transportasi logistik yang tidak memadai sangat menghambat strategi Stelsel Benteng ini.

Aplikasi Stelsel Benteng di medan Mataram dan Bagelen (1828-1829)

Pada kurun 1828-1829, strategi atrisi Diponegoro dengan perlawanan inkonvensionalnya ternyata tidak dapat berkembang lagi tatkala berhadapan dengan sistem senjata dan strategi stelsel Benteng. Akibatnya energy pasukan Diponegoro terkuras banyak, sementara posisi mereka sudah terdesak dan semangat mereka mulai merosot karena banyaknya benteng yang telah dibangun oleh Belanda.

Pada September 1829, Diponegoro bersama Alibasah Sentot Prawirodirjo melakukan konsolidasi dan konsentrasi pasukan di desa Siluk (Selo), di kaki Pegunungan Selarong. Desa Siluk kemudian diserbu oleh pasukan Kolonel Cochius sehingga terjadi pertempuran yang hebat. Dalam pertempuran ini pasukan Diponegoro mengalami kekalahan, akan tetapi Diponegoro dan Sentot berhasil meloloskan diri. Akibat tekanan dan kejaran yang intens serta dengan berbagai pertimbangan, Sentot akhirnya terpaksa menyerah pada Oktober 1829. Sebenarnya sebelum menyerah Sentot ini sempat mengajukan berbagai syarat yang dianggapnya sulit untuk dipenuhi oleh Belanda, namun diluar dugaan, Belanda ternyata sanggup memenuhi syarat yang diajukan Sentot yang membuatnya akhirnya secara terpaksa harus menyerah. Diponegoro yang belum menyerah pergi kearah barat menuju ke Bagelen untuk mengkonsolidasi pasukannya disana. Akan tetapi keadaan di Bagelen sudah berbeda dari sebelumnya. Disana Kolonel Cleerens dengan strategi teritorial yang intensif ditambah strategi Stelsel Benteng, Cleerens rupanya sudah bisa mulai melunakkan rakyat Bagelen yang sebelumnya sangat teguh pendiriannya. Benteng pun sudah banyak dibangun disana diantaranya 51 benteng di Bagelen, 20 benteng di Ledok, dan 7 benteng di Kedu.

Akhir Perang Diponegoro

Pada akhir 1829, kekuatan dan posisi Diponegoro beserta sisa pasukannya sebenarnya sudah diketahui oleh Belanda. Sebenarnya ia bisa saja menyerbu dan membunuhnya, akan tetapi Jenderal de Kock sadar bahwa pengaruh Diponegoro dikalangan rakyat masih sangat besar, apabila Diponegoro dibunuh maka dikhawatirkan akan memicu kemarahan rakyat sehingga nantinya akan memunculkan pemberontakan yang lebih besar lagi. De Kock akhirnya memilih menggunakan cara tipu daya. De Kock merencanakan untuk membujuk Diponegoro agar ia keluar dari kantong pertahanannya secara damai kemudian menangkapnya dengan cara terhormat. Peran untuk membujuk Diponegoro kemudian diserahkan oleh De Kock kepada Kolonel Cleerens.

Pada 9 Februari 1830, Cleerens mengutus bekas orang kepercayaan Diponegoro, Penghulu Pake Ibrahim dan Kaji Badaruddin menghubungi Diponegoro, untuk menyampaikan pesan bahwa Kolonel Cleerens ingin bertemu untuk menyampaikan keinginan berdamai dari Jenderal de Kock. Tempat pertemuan yang diinginkan adalah Desa Remokamal. Diponegoro menyetujuinya. Dalam pertemuan tersebut Diponegoro menyatakan setuju untuk berunding dengan Jenderal de Kock yang diadakan di Magelang.

Pada hari yang ditentukan, 28 Maret 1830, Diponegoro meninggalkan penginapannya diikuti oleh Basah Mertonegoro, Basah Gondokusumo, Kaji Ngisa, Kaji Badaruddin, dan dua punokawannya yang sangat setia Banteng Wareng dan Joyosuroto. Di Magelang, tata duduk sudah diatur secara protokoler. Para pengikut berada diruang tengah. Hanya tiga orang yang mendampingi Jenderal de Kock yakni Residen Kedu van Valck, Mayor de Stuers (ajudan) dan Kapten Roeps (penerjemah). Beberapa pengikut Diponegoro duduk di kursi luar.

Tidak ada pembiacaraan yang penting tetapi hal ini berlangsung cukup lama. Di tengah pembicaraan itu, Jenderal de Kock memerintahkan Kolonel Michiels untuk melucuti pengawal Diponegoro dan juga melarang Diponegoro meninggalkan tempat. Diponegoro yang merasa kedatangannya sesuai adat Jawa untuk melakukan silaturahmi (hari Raya Idul Fitri) merasa sangat kecewa dan marah karena ia merasa ditipu dan dijebak oleh Jenderal de Kock. Setelah melucuti pengikut Diponegoro, maka setelahnya de Cock memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Diponegoro dan langsung membawanya ke kereta yang sudah sedari awal disiapkan kemudian membawanya ke Semarang. Setelah dari Semarang Diponegoro ditahan sementara di Batavia sebelum akhirnya dipindahkan ke Manado dan ke Makasar sampai wafatnya pada 8 Januari 1855. 

Dalam Perang Diponegoro ini tercatat sekitar 15.000 tentara Belanda hilang dan tewas dalam perang. Mereka terdiri dari 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 serdadu Pribumi. Sementara itu dua pertiga dari 3.154 pasukan yang didatangkan dari Negeri Belanda tewas. Di pihak Diponegoro diperkirakan 200.000 orang Jawa tewas menjadi korban peperangan. Untuk biaya perangnya Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan biaya sebesar f 25.000.000 (Djamhari, 2014:186).

Referensi:

Abdullah, Taufik, dkk. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve

ARA. Piagam Resosentono. Arsip Koleksi H.M. de Kock Seri 14 Volume 7

Djamhari, Saleh Asad. (2014). Strategi Menjikkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830. Depok: Komunitas Bambu

Hageman, J.C.Z. (1856). Geschiedenis van den Oorlog op Java van 1825 tot 1830. Batavia

Schoemacher, J.P. De Onderwerping en Gevanengeming van Diponegoro hoofd der Opstandeligen in den Java Oorlog 1825-1830. MIT

Tilly, Charles. (1978). From Mobilization to Revolution. Massachusetts: Addison Wesley Publising Company

Weitzel, A.W.P. (1849). De Derde Militaire Expeditie Naar het Eiland Balie. Gorinchem

Posting Komentar untuk "Perang Diponegoro: Latar Belakang, Jalannya Perang, dan Akhir"