Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

The Christmas Truce 1914: Malam Damai di Tengah Gemuruh Perang Dunia I



Oleh: Ardiyan Agung Nugroho

Keserakahan  dan agama adalah dua alasan klasik yang paling sering membuat umat manusia saling berperang dan membunuh satu sama lain. Sejarah panjang peradaban manusia yang diwarnai dengan berbagai tragedi dan peperangan hampir tidak pernah luput dari faktor agama sebagai pemicunya. Namun, apakah agama selalu menjadi alasan bagi manusia untuk saling bermusuhan.  Ataukah sebenarnya agaman hanyalah alibi dari keserakahan dan kerakusan manusia. Bagaimana jika justru agama menjadi alasan bagi pihak-pihak yang berperang untuk saling berdamai dan meletakkan senjata mereka.

Peristiwa unik ini setidaknya pernah terjadi pada masa Perang Dunia I. Perang Dunia I sendiri terjadi pada 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918 yang melibatkan pihak Triple Entente yang terdiri atas Inggris, Perancis , Russia beserta sekutu-sekutunya melawan Triple Alliance yang terdiri atas Austria-Hongaria, Jerman, dan Kekaisaran Ottoman. 

Memasuki bulan Desember 1914, Paus Benedictus XV menyuarakan kepada para pemimpin negara-negara Eropa yang tengah bertikai untuk melakukan gencatan senjata setidaknya pada malam suci untuk menghormati perayaan Natal. Sayangnya, seruan tersebut tidak banyak digubris oleh para pemimpin negara-negaara yang saling bertikai.

Namun nampaknya para prajurit di medan perang memiliki pendapat berbeda. Hati mereka ternyata tidak sekeras para pemimpinnya yang dipenuhi keserakahan. Para prajurit di garis depan awalnya berharap bahwa perang akan berakhir sebelum bulan Desember dan mereka dapat segera kembali merayakan Natal di tanah airnya masing-masing. Namun pertempuran yang berjalan alot nyatanya terus berlangsung hingga musim dingin. Hal ini salah satunya terjadi di pertempuran front Barat antara pasukan Jerman melawan Inggris.

Memasuki bulan Desember salju mulai turun di sebagian besar Eropa dan merubah  medan perang menjadi dingin dan berlumpur. Mendekati  25 Desember, medan tempur menjadi semakin berat dengan semakin lebatnya hujan dan embun yang membeku. Di sisi lain intensitas peperangan juga semakin mereda.

Mengetahui situasi tersebut Kaisar Jerman William II kemudian mengirim pohon natal ke garis depan untuk menghibur pasukannya. Pada 23 Desember , para tentara Jerman di front Barat mulai memasang pohon-pohon di luar parit mereka. Hal itu kemudian diikuti dengan menyanyikan lagi Stille Nacht  oleh para tentara Jerman. Suara nyanyian tersebut ternyata juga didengar oleh tentara Inggris. Hal menakjubkan mulai hadir ketika para tentara Ingggris yang berada di sisi seberang mulai  ikut melantunkan melodi Natal tersebut.

Uasana makin cair ketika bebebrapa tentara Jerman keluar dari parit dan meneriakkan upacan natal dengan bahasa Inggris, bahasa musuhnya. Hal ini dapat terjadi karena ternyata beberapa tentara Jerman pernah bekerja di Inggris sebelum masa perang.  Hal itu pun banyak membantu hadirnya komunikasi antar kedua belah pihak. 

Awalnya tentara Inggris khawatir bahwa itu tipuan dari tentara Jerman. Namun melihat kondisi tentara Jerman yang tidak bersenjata akhirnya beberapa tentara Inggris ikut keluar dari parit dan mulai bersalaman dengan tentara Jerman.  Perayaan natal di tengah medan perang pun dimulai,  kedua pihak saling bersalaman, saling menyanyikan lagu-lagu natal bahkan hingga bertukar hadiah-hadiah sederhana seperti rokok, alkohol dan makanan kaleng.

Beberapa tentara Jerman kemudian mulai memasang pohon Natal di sekitar parit mereka. Bahkan menurut beberapa kesaksian, kedua pihak  juga mengadakan turnamen sepak bola bersama. Kesempatan gencatan senjata ini juga dimanfaatkan kedua pihak untuk mengevakuasi dan menguburkan rekan-rekan mereka yang gugur di medan perang selama pertempuran berlangsung. 

Meskipun demikian, para prajurit tetap diminta untuk waspada. Para perwira lapangan menginstruksikan agar para anak buah mereka tidak menembak musuh kecuali jika ditembak duluan. Perintah itu dikenal dengan istilah live and let live (kalau kalian hidup biarkan mereka hidup juga). Semua instruksi gencatan senjata singkat ini nyatanya merupakan inisiatif para prajurit di lapangan sendiri. Tidak ada pernyataan resmi dari pihak berwenang yang menyatakan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Semua murni inisiatif para prajurit untuk merayakan Natal dan berdamai demi alasan kemanusiaan.

Sayangnya, momen damai dan kebersamaan itu hanya berlangsung singkat. Para perwira memerintahkan pasukannya untuk kembali ke parit masing-masing. Kedua pihak pun saling memberikan penghormatan sebelum kembali ke kubu masing-masing. Dan seiring momen natal usai, peperangan pun berlanjut dan kedua pihak kembali saling menyerang. Medan perang kembali diramaikan dengan deru suara senapan dan peledak yang saling bersahutan. Akhirnya, momen damai di tengah peperangan itu pun berakhir sudah.

Meskipun hanya sesaat, momen gencatan senjata itu menjadi sesuatu yang sangat berarti. Sejatinya, prajurit di garis depan juga manusia biasa sebagaimana kita semua. Sisi kemanusiaan itu ditampilkan ketika kedua pihak sejenak meletakkan senjata dan saling merayakan natal bersama-sama meskipun secara teknis mereka masih berperang. Sebagaimana seorang manusia, mereka mencintai  perdamaian dan  persahabatan dari pada peperangan.Meskipun pada akhirnya mereka harus kembali pada pahitnya kenyataan dan terpaksa saling berperang demi tanah air mereka masing-masing.


Posting Komentar untuk "The Christmas Truce 1914: Malam Damai di Tengah Gemuruh Perang Dunia I"