Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pemikiran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram

 


Oleh: Almas Hammam Firdaus

“Mulur mungkret, sebentar susah sebentar senang, sawang sinawang.”

-Ki Ageng Suryomentaram-

Membahas mengenai pemikiran-pemikiran besar di dunia ini, kebanyakan dari kita mungkin hanya terpaku pada pemikiran-pemikiran Barat ataupun dari Timur Tengah, sangat jarang sekali orang membicarakan pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh di Indonesia. Kita seolah lupa bahwasanya di Indonesia pun memiliki pemikir-pemikir yang penulis kira pemikirannya masih sangat relevan dengan dunia modern sekarang ini, seperti contohnya Ki Ageng Suryomentaram yang mungkin bagi generasi sekarang namanya sangat asing untuk didengar apalagi dibicarakan. Berangkat dari permasalahan tersebut penulis berinisiatif untuk menggali kembali pemikiran- pemikiran dari Ki Ageng Suryomentaram yang dalam hal ini dikhususkan pada Kawruh Jiwa serta mengkaji apakah pemikiran beliau masih relevan sampai hari ini atau tidak.

Biografi Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram dilahirkan pada tanggal 20 Mei 1892 di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan nama B.R.M. Kudiarmaji. Beliau dilahirkan sebagai putra ke-55 dari 78 putra/putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII dari rahim garwa ampean, B.R.A. Retnomandoyo yang merupakan putri Patih Danurejo VI (Fikriono, 2018:31).

Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, B.R.M. Kudiarmaji juga diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Sekolah Srimanganti (setingkat sekolah dasar) di lingkungan kraton. Kemudian, beliau juga mengikuti kursus Klein Ambtenaar yang mana di sana beliau mempelajari bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Disela pendidikannya, B.R.M. Kudiarmaji juga sering menyibukkan diri dengan membaca buku-buku tentang sejarah, filsafat, dan ilmu jiwa. Selain mendapat pendidikan Barat, B.R.M. Kudiarmaji juga mendapat pendidikan agama Islam yang mana beliau mendapat didikan langsung dari K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Setelah menyelesaikan kursusnya di Klein Ambtenaar, B.R.M. Kudiarmaji kemudian memilih untuk bekerja di kantor gubernuran selama 2 tahun.      

Pada tahun 1910, sesuai tradisi kraton, saat usianya menginjak 18 tahun, B.R.M. Kudiarmaji pun diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram (Suryomentaram, 1986:188). Seiring berjalannya waktu, kehidupan di lingkungan kraton ternyata tidak memberikan ketenteraman kepada B.P.H. Suryomentaram. Beliau merasa tidak puas karena merasa belum pernah bertemu “orang”. Aktivitas kraton yang ditemuinya hingga memasuki masa remaja adalah interaksi ndoro-abdi, yang tampak darinya hanya yang disembah, yang diiba-iba, yang diperintah, sehingga yang berlaku di dalamnya adalah memerintah, marah, dan memohon. Suryomentaram merasa hanya menjadi orang-orangan alias manusia palsu. Suryomentaram merasa bahwa dirinya sebagai orang telah terkamuflase oleh pakaian dan perhiasan berupa emas dan berlian yang dikenakannya.

Pakaian indah dan perhiasan mewah, membuat dirinya seakan-akan berbeda dengan kebanyakan orang. Pada saat itu ia berkata kepada dirinya sendiri, “Suryomentaram iki yen dijupuk semat, drajat, lan kramate, jing isih kari apa? Jing isih ya mung wong thok!” (“Jika Suryomentaram ini tak lagi memiliki harta benda (semat), kedudukan (derajat), dan wibawa (keramat), yang tersisa hanya orangnya saja!”) (Rusdy, 2014:3). Ketidakpuasan terhadap hidup menjadikan Suryomentaram sering keluar kraton, ke tempat-tempat yang dianggapnya mampu mendatangkan ketenangan, seperti menjelajah Gua Langse, Pantai Parangtritis, dan makam-makam keramat. 

Suryomentaram semakin meyakini bahwa kepemilikan materi dapat menghambat kebahagiaan. Dia kemudian memberikan semua kekayaan pribadinya secara cuma-cuma. Ia memberikan mobilnya kepada sopirnya dan memberikan kuda miliknya kepada pengurus kudanya. Pada akhirnya Suryomentaram meninggalkan kraton, menggunakan nama samaran Notodongso, memakai pakaian layaknya pedagang pergi ke Cilacap untuk berjualan batik. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VII, mengutus orang untuk mencarinya. Para utusan itu kemudian menemukan Suryomentaram di daerah Kroya dan berhasil membujuknya untuk kembali ke Kraton. 

Kegelisahan dan kekecewaan Suryomentaram memuncak tatkala peristiwa pemecatan kakeknya, Patih Danurejo VI, dan ibunya diceraikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Ditambah lagi peristiwa yang paling menyedihkan adalah ketika istri yang dicintainya meninggal dunia dengan meninggalkan putranya yang baru berusia 40 hari (Sugiarto, 2015:28). Kematian orang-orang yang dicintai itu pun tak pelak membuat Suryomentaram benar-benar sedih dan terpukul.

Tahun 1921, Sultan Hamengku Buwono VII wafat. Pangeran Suryomentaram ikut mengantarkan jenazah ayahnya ke Astana Saptarengga Pajimatan Imogiri, mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Ia ditakuti karena orang-orang menganggapnya gila. Para pangeran mengenakan pakaian kebesaran pangeran, para abdi dalem mengenakan pakaian sesuai dengan pangkatnya, akan tetapi Pangeran Suryomentaram mengenakan pakaian kebesarannya sendiri, memakai pakaian dan ikat kepala corak Begelen, mengenakan jas berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas, menyempit payung Cina, memikul jenazah ayahnya sampai ke Imogiri (Suryomentaram, 2010:223). 

Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dinobatkan sebagai raja, Suryomentaram kembali mengajukan permohonan untuk melepas gelar pangerannya dan kali ini dikabulkan. Suryomentaram menolak menerima tunjangan hidup yang ditawarkan oleh Belanda dan malah menerima tunjangan pensiun yang jumlahnya jauh lebih kecil yang diberikan oleh kraton kepadanya sebagai tanda hubungan kekerabatan, hal ini cukup beralasan karena Suryomentaram menganggap ia tidak pernah bekerja untuk Belanda. Setelah melepas kedudukannya sebagai pangeran, Suryomentaram merasa lebih bebas, tidak terikat lagi.

Meskipun demikian, ia masih tetap tidak puas karena belum pernah bertemu orang. Dengan bekal uang secukupnya, Suryomentaram pun pergi meninggalkan kraton untuk kedua kalinya (barangkali untuk selama-lamanya), beliau kemudian membeli sebidang tanah  di Desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah, ia kemudian hidup dengan bercocok tanam sebagai petani, bergaul dengan rakyat jelata dan menjalani hidup sebagai orang biasa. Namanya pun kini berganti menjadi Ki Suryomentaram (seiring waktu karena pamornya kemudian ia dijuluki Ki Ageng Suryomentaram).  

Pada tahun 1922, Ki Hajar Dewantara bersama Ki Ageng Suryomentaram mendirikan Taman Siswa yang ditujukan kepada rakyat yang pada masa itu tidak pernah mengenyam pendidikan. Pada tahun yang sama, 1922, didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa juga. Ki Hajar Dewantara dipilih menjadi pemimpinnya, Ki Ageng Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua. Tahun 1925, setelah menjadi duda lebih kurang 10 tahun, Ki Ageng menikah lagi, kemudian membawa keluarganya pindah ke Bringin, Salatiga, dan rumahnya yang di Yogyakarta digunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa.

Pada waktu pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena mempunyai keyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Hal ini dikemukakannya pada waktu pertemuan antara Ki Ageng Suryomentaram dengan Empat Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Kyai Haji Mas Mansoer, Ki Hajar Dewantara). Dasar untuk tentara ialah Jimat Perang yaitu pandai berperang dan berani mati dalam perang. Jimat perang ini diceramahkan oleh Ki Ageng ke mana-mana, kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di siaran radio. Maka Jimat Perang ini segera tersebar luas di kalangan masyarakat, sehingga membangkitkan semangat berani mati dan berani perang.

Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1945, Ki Ageng mulai lagi mengadakan ceramah-ceramah ke mana-mana, ikut aktif mengisi kemerdekaan dengan pembangunan jiwa warga negara. Pada tahun 1957, Ki Ageng diundang oleh Bung Karno ke Istana merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai macam masalah negara. Ki Ageng Suryomentaram tetap memakai pakaian sederhana yang biasa digunakan. Ketika memenuhi undangan Bung Karno, Ki Ageng diiringi oleh Ki Pronowidigdo, Ki Soedjono, dan Ki Oto Suastika.  Pada tanggal 18 Maret 1962, Hari Minggu Pon, jam 16.45, Ki Ageng Suryomentaram wafat, di rumahnya di Jln. Rotowijayan No. 24 Yogyakarta. Beliau dimakamkan di makam keluarga di Desa Kanggotan, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Ki Ageng meninggalkan seorang istri, dua orang putra, dan empat orang putri.

Signifikansi Pemikiran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram

Secara istilah, Kawruh Jiwa dapat dipahami sebagai pengetahuan tentang jiwa. Ilmu ini banyak menganalisis fenomena jiwa dan inti pribadi manusia. Jiwa manusia dipahami sebagai sesuatu yang dapat rusak atau binasa. Jiwa yang dapat rusak dan binasa itu mengalami kelahiran dan setelah memperoleh pengalaman-pengalaman hakiki kemudian dapat dimatikan.

Dengan datangnya kematian jiwa ini, maka lenyaplah dominasi atau pengaruhnya pada pribadi seseorang. Jika jiwa seseorang telah berhasil dibersihkan atau dimatikan oleh inti pribadinya sebagai manusia, perbuatan orang tersebut akan teratur dan terarah dengan benar, sehingga hidupnya pun akan terasa damai dan tenteram atau bahagia. Konsep dasar yang sangat penting dari pemikiran Ki Ageng Suryomentaram ini adalah rasa. Kawruh Jiwa adalah konsep pengenalan diri yang merupakan hasil kontemplasinya selama puluhan tahun. Prosesnya dikenal dengan pengawakan diri atau “kawruh jiwa” atau bisa juga disebut sebagai filosofi rasa.

Setiap diri memiliki rasa dan perasaan yang hanya dialami oleh dirinya sendiri. Ini artinya bahwa perasaan merupakan unsur individualitas yang paling dasar. Belajar adalah aktualisasi dari rasa ingin tahu manusia. Makan adalah aktualisasi diri dari rasa lapar. Orang melakukan kejahatan adalah karena dorongan rasa hati yang buruk seperti iri, dengki, hasut, khawatir, atau dendam. Orang menolong sesamanya adalah karena dorongan rasa hati yang baik seperti rasa senang, rasa empati, rasa belas kasih, dan sebagainya. Puncaknya, rasa yang dikehendaki manusia dalam hidupnya adalah rasa kebahagiaan.

Oleh karena itulah pengenalan diri Ki Ageng Suryomentaram ini, selain disebut sebagai “kawruh jiwa”, juga sebagai “kawruh begja” atau ilmu kebahagiaan. Menurut Sugiarto (2015), Kawruh Jiwa bukanlah agama, bukan pula berisi kepercayaan terhadap sesuatu. Kawruh Jiwa bukan ilmu tentang baik dan buruk. Dalam ilmu Kawruh Jiwa, juga tidak ada keharusan untuk menolak atau melakukan sesuatu.

Ilmu Kawruh Jiwa adalah ilmu mengenai jiwa dengan segala wataknya. Dengan belajar Kawruh Jiwa, seseorang diharapkan dapat hidup jujur, tulus, percaya diri, tenteram, tenang, penuh kasih sayang, mampu hidup berdampingan secara baik dengan sesamanya dan alam lingkungannya, serta penuh rasa damai. Keadaan tersebut akan mengantarkan seseorang kepada kehidupan yang bahagia sejati, tidak tergantung pada waktu, tempat, dan keadaan.

Dalam ilmu Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram, terdapat 3 elemen penting yang perlu untuk dipahami, yaitu aku, karep, dan kramadangsa.

Aku adalah elemen suci yang selalu benar, tidak mementingkan diri sendiri dan penuh kasih sayang. Aku merupakan sumber kesadaran manusia. Aku adalah barang asal, sudah ada sebelum orang lahir, dan akan ada sesudah orang meninggal.

Sedangkan karep dapat diartikan sebagai kehendak atau keinginan yang juga merupakan barang asal, sudah ada sebelum lahir, dan akan tetap ada setelah orang meninggal. Karep sangat mementingkan diri sendiri dan ingin menangnya sendiri. Karep sifatnya mengembang dan mengerut, jika terpenuhi akan meningkat atau mengembang, dan akan mengerut atau menyusut jika tidak terpenuhi. Karep memiliki rasa senang-susah, akan senang jika keinginannya terpenuhi, dan sebaliknya akan susah jika keinginannya tidak terpenuhi.

Terakhir adalah kramadangsa yang mana ini merupakan konsep diri pribadi yang berbeda dengan orang lain. Meneliti kramadangsa itu mudah karena rasa tersebut menempel pada diri individu. Jadi, menurut Suryomentaram, jika disebut istilah kramadangsa, maka istilah itu tersebut dapat diganti dengan namanya masing-masing. Dalam pengertian ini, kramadangsa dipahami sebagai maujud.

Relevansi pemikiran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram

1. Relevansi dengan Pengaruh Globalisasi 

Pemikiran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram, cukup relevan untuk menghadapi globalisasi, sebagai konsep pengetahuan praktis yang memberikan pemahaman akan nilai-nilai bagaimana menggapai kebahagiaan sejati, bagaimana menjalani kehidupan, dan bagaimana bergaul dengan sesama.

Globalisasi memang tidak semuanya negatif. Ada hal-hal yang berkaitan dengan kemudahan hidup, terutama dengan sarana dan prasarana yang ditunjang oleh kecanggihan teknologi. Namun, globalisasi memberikan dampak negatif berkaitan dengan mental manusia. Manusia pada era globalisasi menjadi semakin instan, segalanya serba cepat, dan tentu saja dengan kompleksitas kesibukan yang sangat tinggi.

Persaingan dalam hal materi lebih keras dan tidak memedulikan rasa kemanusiaan. Manusia menjadi mesin yang kehilangan nurani, sehingga kehilangan makna dan penghayatan sebagai manusia. Zaman Ki Ageng Suryomentaram, globalisasi belum begitu terasa dampak negatifnya.

Meski demikian, bukan berarti pemikiran yang digagas oleh Ki Ageng Suryomentaram sudah usang dan tidak relevan. Justru, kebutuhan manusia akan kearifan dan makna hidup menjadi semakin besar. Kehidupan manusia masa kini dipenuhi dengan berbagai tuntutan. Catatan kehidupan manusia masa kini lebih kompleks daripada kondisi zaman tradisional.

Globalisasi yang bertumpu pada kemajuan sains dan teknologi, serta menyebabkan perubahan pola hidup, dan cara manusia memandang kehidupan, memberikan dampak yang besar bagi tekanan batin manusia. Tuntutan kehidupan kekinian jauh lebih banyak dan rumit, dibandingkan dengan kehidupan era tradisional yang jauh lebih sederhana.

Di dalam kehidupan modern, seseorang tidak bisa lagi mengandalkan sawah dan ladang. Kehidupan modern menuntut seseorang bekerja sehingga memiliki uang, sebagai satu-satunya alat tukar untuk mendapatkan kebutuhan hidup. Kekayaan bagi orang modern, sungguh berbeda dengan kekayaan pada konsep tradisional yang bertumpu pada kepemilikan ternak, serta luasnya tanah.

Manusia modern dituntut memiliki rumah gedung, kendaraan motor atau mobil, gaji bulanan, dan tabungan di bank. Kebutuhan manusia modern, tidak hanya berkutat pada pemenuhan sandang, pangan, dan papan, melainkan juga kebutuhan tentang pendidikan dan kesehatan. Seseorang yang menginginkan kehidupan yang layak dalam masyarakat modern, paling tidak harus menyelesaikan pendidikan sarjana yang mana merupakan sesuatu yang tidak ada dalam konsep kehidupan tradisional. Kebutuhan dana untuk pendidikan hingga mencapai sarjana, tentu tidak sedikit.

Selain itu, kebutuhan yang berkaitan dengan pemenuhan gengsi atas standar sosial juga menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Semua itu menjadikan ukuran bagi pengejaran semat, drajat, dan keramat, semakin tinggi dan kompleks (Nikmaturrohmah, 2016:70).

2. Relevansi dengan Problem Dekadensi Moral

Pemikiran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram masih relevan untuk membendung kemerosotan moral dengan membentuk karakter manusia tanpa ciri, yang mampu memahami rasa orang lain, melepaskan keakuan, dan kuat dalam mengendalikan diri.

Kompleksitas kehidupan menjadikan semakin sulitnya manusia modern mendapat kebahagiaan. Tuntutan yang luar biasa, meliputi segala macam lini, menjadikan semakin kompleks pula keinginan dan hasrat yang sering kali tumpang tindih. Hal itu menjadikan semakin kaburnya, makna kebahagiaan bagi manusia modern.

Susah dan senang, begitu cepat berputar, kebahagiaan dan penderitaan begitu cepat silih berganti. Kompleksitas kehidupan menjadikan banyak manusia modern yang rusak secara moral, dan lemah secara karakter. Nilai-nilai etika hanya sebagai polesan, dan pemenuhan formalitas; budaya korupsi telah merambah pada hampir semua bidang, dan secara merata terdapat di setiap jenjang usia. Anak-anak berbohong; remaja berbuat curang saat ujian; orang dewasa menipu dalam berdagang; orang-orang tua rela menyuap, demi anaknya diterima sekolah atau kerja.

Perbuatan jahat dan kriminal telah berkembang dengan sangat mengerikan, melampaui batasan apa yang sanggup dilakukan bahkan oleh binatang. Keseluruhan persoalan manusia modern, pada dasarnya berhulu pada lemahnya karakter, akibat lemahnya penanaman nilai-nilai moral. Perlunya pemahaman kehidupan yang benar, dan pengetahuan yang praktis sebagai dasar etika dan karakter, bagaimana berhubungan antar sesama, dan bagaimana menjalani kehidupan yang penuh kebahagiaan. (Nikmaturrohmah, 2016:72). 

Referensi:

Fikriono, Muhaji. (2018). Kawruh Jiwa Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaram. Tangerang: Javanica

Nikmaturrohmah. (2016). Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan Pembentukan Karakter Sufistik. Skripsi. Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi. Fakultas Ushuluddin dan Humaniora. UIN Walisongo Semarang

Rusdy, Sri Teddy. (2014). Epistemologi Ki Ageng Suryomentaram Tandhesan Kawruh Bab Kawruh. Jakarta: Yayasan Kertagama

Sugiarto, Ryan. (2015). Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Yogyakarta: Pustaka Ifada

Suryomentaram. (1986). Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryomentaram Jilid III. Jakarta: Inti Idayu Press

Suryomentaram. (2010). Falsafah Hidup Bahagia. Jakarta: Panitia Kawruh Jiwa  


Posting Komentar untuk "Pemikiran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram"