Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sistem Perekonomian Kerajaan Majapahit


Majapahit adalah kerajaan yang luas dengan masa pemerintahan yang panjang. Menurut Kidung Harsya Wijaya, Raden Wijaya diangkat pada tanggal 15 bulan Kartika pada tahun 1215 Caka yang dianggap sebagai kelahiran Majapahit. Di sisi lain, keruntuhan kerajaan disimpulkan dari candra sengkala "sirno ilang kertaning bhumi," yang diterjemahkan menjadi tahun 1400 atau Caka 1478 Masehi, membuat usia Majapahit sekitar dua abad. Meskipun Trowulan menjadi situs ikonik Majapahit yang terletak di pedalaman Jawa Timur, puncak kekuasaan dan kejayaannya terutama berada di laut. 

Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa Majapahit adalah peradaban maritim. Sebagai kerajaan maritim, kegiatan ekonominya utamanya adalah pengiriman dan perdagangan antar pulau. Perdagangan menjadi salah satu faktor penggerak ekonomi dan dilakukan dalam skala yang besar. Dalam konteks perdagangan internasional, Majapahit memainkan peran penting dalam mengelolanya.

Sebagai penguasa di wilayah kepulauan, Kerajaan Majapahit memiliki angkatan darat dan laut yang kuat. Kota Tuban menjadi pelabuhan terbesar di Jawa, kemudian pada abad ke-15 muncul kota Gresik yang banyak dihuni oleh orang Tionghoa kaya sehingga menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dari Maluku. Surabaya dan Jepara juga menjadi penting karena menjadi pengekspor beras (Prajudi Atmosudirdjo, 1983: 43-44). 

Hubungan dan interaksi perdagangan dengan daerah-daerah lain baik di Nusantara maupun Internasional membuat mata uang Cina mendominasi dalam sistem moneter (Adrian Perkasa, 2012: 31-32). Beras menjadi hasil utama Kerajaan Majapahit dan juga menjadi komoditi penting dalam perdagangan internasional.

Mayoritas penduduk Kerajaan Majapahit bekerja sebagai petani, bersama dengan para pedagang dan pelaut antar-pulau, karena keuntungan dari komoditas beras. Kondisi tanah yang subur dan irigasi yang dikelola dengan baik memungkinkan masyarakat Majapahit untuk memanen padi dua kali setahun, menghasilkan surplus yang dapat diekspor di luar wilayah. 

Meskipun kekuatan armada laut Majapahit, kerajaan tetap menjadi masyarakat agraris yang bergantung pada pertanian sebagai pilar utama eksistensinya. Beras diangkut oleh armada kerajaan ke kepulauan Maluku untuk diperdagangkan atau ditukar dengan rempah-rempah. Rempah-rempah ini kemudian diperdagangkan dengan pedagang lain, terutama dari Cina dan India. Dari perdagangan ini, keluarga kerajaan memperoleh kain sutra, keramik, dan objek logam tertentu. Keuntungan yang diperoleh dari perdagangan beras tampaknya telah mendorong para pejabat kerajaan untuk mendorong peningkatan hasil panen beras yang ditanam oleh petani (Daud Aris Tanudirjo, 1993: 133).

Pertanian Kerajaan Majapahit

Para petani di Majapahit telah berhasil mengembangkan teknik pertanian yang canggih, yang terkait dengan beberapa faktor. Pertama, wilayah yang luas dengan dataran rendah yang didukung oleh aliran sungai dan keberadaan gunung berapi. Faktor kedua adalah campur tangan penguasa dalam sektor pertanian, seperti penetapan pajak tanah berdasarkan hasil panen (Subroto, 1993: 156). 

Selain pajak pertanian, pemerintah juga mencari pendapatan dari sumber-sumber lain seperti upeti dari raja bawahan, hadiah dari negara sahabat, hasil rampasan perang, pajak perdagangan, dan pajak industri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kerajaan (Boechari, 1981:7-8).

Dalam upaya untuk mendukung keberadaan Kerajaan Majapahit dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, selain perdagangan dan pertanian, terdapat sektor ekonomi lain yang juga penting. Berdasarkan bukti arkeologis, kelompok penggarap industri memegang peran penting dalam menunjang perekonomian, politik, sosial, dan budaya Kerajaan Majapahit. Sumber-sumber seperti prasasti, kesusastraan kuno, relief candi, dan artefak lainnya masih menjadi sumber utama untuk menjelaskan hal ini. Oleh karena itu, penelitian ini akan berfokus pada sumber-sumber tertulis dan bukti-bukti artefak yang masih ada dari zaman Majapahit.

Ekonomi Kerajaan Majapahit bergantung pada enam jenis aktivitas ekonomi yang berbeda, termasuk pertanian, perkebunan, pemanfaatan hutan, peternakan, perburuan, dan kerajinan. Produk pertanian yang dihasilkan pada periode tersebut mirip dengan yang diproduksi saat ini, seperti beras, umbi-umbian, cabe, labu, kacang-kacangan, rempah-rempah, buah-buahan, dan jenis palem. Namun, produk pertanian utama adalah beras, yang merupakan makanan pokok orang Jawa kuno dan masih menjadi makanan utama yang dikonsumsi oleh orang Indonesia saat ini. 

Beras memainkan peran penting dalam ekonomi Majapahit dan tidak hanya digunakan untuk memenuhi permintaan lokal tetapi juga diekspor sebagai komoditas. Kerajaan tersebut menukar beras dengan rempah-rempah dari Kepulauan Maluku, yang kemudian dikonsumsi atau diperdagangkan dengan pedagang asing dari luar kepulauan. Pajak yang dikenakan pada petani membuat pertanian menjadi sumber pendapatan utama dan menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi kerajaan.

Berdasarkan prasasti Kembangarung pada tahun 902 M, teknologi pertanian yang digunakan mencakup cangkul, bajak, dan garu. Prasasti juga menyebutkan beberapa alat yang digunakan dalam upacara penetapan sima, seperti wadung, kapak, petel, alat penusuk, linggis, cangkul, trisula, dan pisau. Cangkul terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang berbentuk cangkul dan bagian tangkai. Pacul terdiri dari satu lempengan dengan bagian depan yang runcing dan bagian belakang yang dibuat dengan lubang untuk memasang doran. Bagian pacul dibuat dari logam, sementara doran terbuat dari kayu. Selain itu, ani-ani yang terbuat dari bambu sebagai tangkai, papan bilah kayu, dan bilah tipis besi juga digunakan untuk memanen padi.

Para petani melakukan beberapa jenis pekerjaan dalam pertanian. Pertama, mereka membersihkan rumput atau sisa tanaman lama dari lahan garapan dengan amabaki. Kedua, mereka membajak atau mencangkul tanah. Mencangkul biasanya dilakukan pada lahan sawah yang tidak terlalu luas. Baik membajak maupun mencangkul memiliki fungsi yang sama yaitu untuk menggemburkan tanah. Tahap ketiga adalah membuat manggaru untuk membuat tanah yang sudah dibajak atau dicangkul menjadi lebih halus. 

Tahap terakhir adalah mengairi lahan sawah sampai penuh dengan air sebelum menanam atau tandur. Sebelum tanah digarap, petani sudah menyiapkan lahan persemaian untuk menanam benih padi. Setelah penanaman benih, mereka melakukan pekerjaan memantun atau menyiangi dengan tujuan mencabuti rumput dan menggaruk tanah agar tanaman padi tidak terganggu. Pada proses pemanenan, petani menggunakan ani-ani. Selama menunggu panen, petani menjaga tanaman agar tidak terserang hama seperti tikus, wereng, dan lain-lain. (Subroto, 1993: 164-168).

Perdagangan Kerajaan Majapahit

Pada zaman Majapahit, perdagangan mencapai puncaknya. Kehadiran dua sungai tersebut sangat penting dalam memfasilitasi distribusi barang, sebagai sarana transportasi dari pedalaman ke pelabuhan, dan sebagai pendukung pelayaran ke luar pulau dan ke negara asing. Barang-barang yang diperdagangkan meliputi kebutuhan sehari-hari, hasil industri dan kerajinan, serta barang-barang internasional dalam perdagangan antar pulau dan negara.

Para pedagang pada masa Majapahit mengangkut barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan, hasil bumi, ternak, dan bahan pakaian. Beras merupakan makanan pokok masyarakat Jawa dan menjadi bahan perdagangan yang sangat maju. Prasasti Taji (901M) menyebutkan bahwa dalam rangka upacara penetapan sima untuk konsumsi, dibutuhkan 57 kadut beras, 6 kerbau, dan 100 ekor ayam. Selain beras, para pedagang juga membawa hasil bumi lainnya ke Maluku dan Nusa Tenggara. Dalam Prasasti Panggumulan A (902 M), disebutkan bahwa terdapat pedagang beras yang diminta untuk mengikuti upacara penetapan sima saat mereka lewat desa Panggumulan menuju pasar Sindinan. Selain itu, barang-barang produksi industri atau kerajinan dan barang-barang internasional juga diperdagangkan pada masa Majapahit.

Kebutuhan sehari-hari meliputi makanan, produk pertanian, ternak, dan bahan pakaian. Di masyarakat Jawa, beras merupakan makanan pokok. Prasasti Taji (901 M) menyebutkan bahwa 57 kadut beras, 6 kerbau, dan 100 ayam dibutuhkan untuk upacara sima. Oleh karena itu, beras telah menjadi komoditas perdagangan yang sangat berkembang sejak zaman kuno. Pedagang Jawa pada abad ke-10 membawa beras dan produk pertanian lainnya ke Maluku dan Nusa Tenggara. Prasasti Panggumulan A (902 M) mengungkap keberadaan pedagang beras yang diwajibkan untuk berpartisipasi dalam upacara sima saat melewati desa Panggumulan dalam perjalanan mereka menuju pasar Sindinan.

Selain beras, buah-buahan juga dijual sebagai komoditas makanan. Berdasarkan relief yang ditemukan di kuil Penataran, beberapa buah yang dijual termasuk nanas, pisang, pepaya, kelapa, dan tebu. Namun, masih perlu diteliti lebih lanjut apakah buah-buahan ini diperdagangkan secara lokal atau telah menjadi komoditas internasional.

Garam adalah kebutuhan sehari-hari penting lainnya. Garam diproduksi dengan menguapkan air laut dan merupakan komoditas penting bagi masyarakat pedalaman. Prasasti Biluluk (1366 M) menyebutkan hak yang diberikan kepada masyarakat Biluluk untuk membuat garam.

Kebutuhan lainnya termasuk ternak, unggas, dan ikan. Ternak yang sering diperdagangkan termasuk kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam. Informasi ini dapat ditemukan dalam prasasti yang berisi peraturan pajak yang dikenakan pada penjual ternak di daerah yang ditetapkan sebagai sima (Slamet Pinardi dan Winston SD Mambo, 1993: 183-184). Selain itu, komoditas yang diperdagangkan untuk kebutuhan sehari-hari termasuk kelapa, kesumba (pewarna batik), buah mengkudu, kacang-kacangan, lada, dan tebu (Groeneveldt, 1960: 16).


Posting Komentar untuk "Sistem Perekonomian Kerajaan Majapahit"