Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sejarah Singkat Perang Padri 1821-1837

Di Minangkabau, ada sebuah konflik antara kaum adat dan kaum Padri yang baru pulang dari Timur Tengah. Kaum Padri datang untuk memurnikan ajaran Islam dan ingin menghilangkan kebiasaan adat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, serta aspek hukum adat matriarkat tentang warisan dan pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam yang tidak ketat. Kaum Padri sendiri beraliran Islam Wahabi yang bersifat fundamentalis. Konflik ini terkait dengan penerapan syariat di Tanah Minang.

Perang Padri terdiri dari tiga periode yang berbeda. Periode pertama terjadi antara tahun 1821-1825, dan merupakan pertempuran antara koalisi Belanda dan kaum adat melawan kaum Padri. Periode kedua, yaitu masa genjatan senjata, terjadi pada tahun 1825-1830 dan ditandai dengan tercapainya Perjanjian Manasang. Sedangkan periode ketiga terjadi antara tahun 1830-1837, yang merupakan perang antara koalisi kaum adat dan Padri melawan Belanda.

Pada periode tahun 1821-1825, kaum adat bergabung dengan Belanda untuk mengalahkan kaum Padri. Namun, mereka menuntut agar diadakan perjanjian yang menjamin bahwa jika koalisi menang, Belanda tidak akan melakukan ekspansi ke wilayah Sumatera Utara, melainkan hanya ke wilayah bagian tengah dan timur. Perjanjian ini dikenal sebagai Treaty of Sumatera dan disetujui oleh Belanda.

Pada periode tahun 1825-1830, terjadi masa genjatan senjata karena Belanda sedang terlibat dalam perang Diponegoro yang melibatkan konflik besar di Jawa. Belanda melakukan mediasi dengan kaum Padri untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata demi menciptakan suasana damai.

Oleh karena itu, Residen Belanda di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri, yang saat itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, untuk berdamai dengan mengeluarkan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena pada saat yang sama, Pemerintah Hindia Belanda kehabisan dana untuk menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa, seperti Perang Diponegoro.

Pada periode 1830-1837, setelah Perang Diponegoro berakhir dan kekuatan Belanda pulih di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda mencoba kembali menundukkan Kaum Padri. Hal ini didasari oleh keinginan mereka untuk menguasai penanaman kopi yang sedang meluas di pedalaman Minangkabau (darek).

Namun, melihat maksud dan tujuan yang terselubung dari Belanda, Kaum Adat mundur dari koalisi dan bergabung dengan Kaum Padri untuk melawan Belanda. Kaum Adat berpendapat bahwa Belanda tidak akan mematuhi perjanjian sebelumnya dan akan melakukan ekspansi ke Sumatera Barat.

Letnan Kolonel Elout melakukan serangan-serangan terhadap faksi Padri antara tahun 1831-1832 dan mendapat dukungan tambahan dari Sentot Ali Prawiradirja, salah satu panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah berkhianat dan bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda setelah perang di Jawa berakhir.

Pada bulan Juli 1832, pasukan infanteri yang besar dipimpin oleh Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger dikirim dari Jakarta untuk mempercepat penyelesaian konflik. Dengan tambahan pasukan ini, koalisi Padri-Adat membalas dengan sepenuh tenaga. Namun selama bertahun-tahun pertempuran berlangsung, pasukan koalisi kewalahan dan kecepatan pertempuran melambat. Tuanku Imam Bonjol terus berusaha untuk mengkonsolidasikan pasukannya yang tersebar dan melemah, tetapi setelah lebih dari 10 tahun bertempur secara terus-menerus melawan Belanda, hanya sedikit yang masih siap untuk bertempur kembali.

Tuanku Imam Bonjol, yang dalam keadaan lemah, tiba-tiba menerima tawaran perundingan dari Residen Francis di Padang. Dia menyatakan kesediaannya untuk bernegosiasi, tetapi diminta untuk datang tanpa membawa senjata. Namun ini hanya perangkap Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, dan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Oktober 1837. Dia segera dibawa ke Bukittinggi dan kemudian ke Padang.

Pengasingan Tuanku Imam Bonjol dilakukan secara bertahap dan di lokasi yang berbeda-beda, hingga akhirnya dia dipindahkan ke Manado, di mana dia diasingkan selama 27 tahun sebelum meninggal pada tanggal 8 November 1864.

Posting Komentar untuk "Sejarah Singkat Perang Padri 1821-1837"