Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Alfred Russel Wallace dan Pembagian Zona Fauna Indonesia



Salah satu pencapaian terpenting Alfred Russel Wallace dalam sejarah kemajuan pengetahuan tentang keanekaragaman spesies di Indonesia adalah pengembangan konsep Garis Wallace atau juga dikenal sebagai garis imajiner. Konsep tersebut dibuat oleh Wallace pada tahun 1863 dan mencakup wilayah Indonesia mulai dari sebelah timur Filipina hingga perairan Bali dan Lombok yang terbentang melalui Selat Makassar.

Peninggalan Alfred Russel Wallace yang terkenal, yang disebut sebagai "Bapak Biogeografi", dapat dikenali dengan jelas dan mudah diidentifikasi. Dalam beberapa suratnya kepada keluarga, teman, dan kolega ilmiah, Wallace mengungkapkan cintanya pada alam dan ide-idenya tentang bagaimana geografi mempengaruhi distribusi spesies.

Selama delapan tahun menjelajahi kawasan tropis di sekitar khatulistiwa, Wallace berhasil menggambar garis imajiner yang membagi flora dan fauna Indonesia menjadi dua bagian besar. Satu bagian memiliki ciri-ciri yang mirip dengan flora dan fauna dari Australia, sementara bagian lainnya mirip dengan flora dan fauna Asia. Wilayah timur terdiri dari spesies flora dan fauna Austro-Malaya, sedangkan wilayah barat terdiri dari spesies flora dan fauna Indo-Malaya.

Pembagian Wilayah

Para ahli membagi wilayah fauna berdasarkan kondisi geologis yang ada. Di berbagai kepulauan di Indonesia, ada perbedaan yang signifikan antara wilayah fauna dan flora. Ada tiga daerah fauna di Indonesia yang dibatasi oleh garis Wallace, Weber, dan Lydekker. Sebagai seorang ahli ilmu alam, Alfred Russel Wallace melakukan regionalisasi flora dan fauna di Indonesia selama delapan tahun (1854-1862) dan menjadi orang pertama yang melakukannya.

Alfred Russel Wallace membatasi wilayah berdasarkan persebarannya, terutama wilayah Landas Kontinen Sunda (bagian barat Indonesia) yang dibedakan dari wilayah fauna dan flora di sebelah timur. Garis yang digunakan untuk membatasi wilayah tersebut dikenal sebagai Garis Wallace, yang dinamai sesuai dengan namanya sendiri. Garis Wallace ditarik oleh Alfred Russel Wallace pada tahun 1863 dan membentang dari sebelah timur Filipina, melintasi Selat Makassar, hingga ke perairan Bali dan Lombok.

Weber membuat batas wilayah flora-fauna di sebelah timur untuk membedakan flora-fauna di Landas Kontinen Sahul dengan flora-fauna di bagian timurnya. Di Landasan Kontinen Sahul masih terdapat kekhasan, terutama di Maluku-Halmahera, dan diberi batas dengan nama garis Lydeker. Garis Lydeker ini membedakan flora-fauna di Landas Kontinen Sahul dengan wilayah Australis.

Indonesia menjadi tempat pertemuan bagi hewan-hewan dari Oriental dan Australis. Wilayah Indonesia bagian barat, yaitu daerah dangkalan Sunda, memiliki fauna Asiatis seperti gajah India, badak bercula satu, orangutan, dan beberapa jenis reptil dan burung. Sedangkan wilayah Indonesia bagian tengah memiliki fauna endemik seperti anoa dan komodo.

Dapat dilihat dari keberagaman fauna di Indonesia, terdapat perbedaan yang signifikan antara wilayah Indonesia bagian barat dan timur. Di wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dangkalan Sahul, terdapat mamalia berkantung seperti halnya mamalia di Australia seperti walabi, landak irian, kuskus, kanguru pohon, dan kasuari. Sementara itu, di wilayah Indonesia bagian barat, terdapat fauna Asiatis seperti gajah India, badak bercula satu, orangutan, serta beberapa jenis reptil dan burung. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah Indonesia bagian barat merupakan bagian dari daratan Asia dan wilayah Indonesia bagian timur pernah bersatu dengan Australia.

Blok Sunda yang sebelumnya tergabung dengan Gondwana terpisah pada masa Jurassic Akhir, sekitar 150 juta tahun yang lalu, dan terus berkembang hingga terbawa ke wilayah tenggara Asia. Pada sekitar 45 juta tahun yang lalu, saat Miosen Tengah, Australia dan Papua mulai bergerak cepat menjauhi Antartika dan terbentuk cekungan di sekitar wilayah Sulawesi dan Filipina, serta jalur subduksi yang mengarah ke selatan pada area Laut Cina Selatan.

Pada Miosen Tengah sekitar 15 juta tahun yang lalu, kerak samudra pada Blok Banda yang berumur lebih dari 120 juta tahun mencapai jalur subduksi pada selatan Jawa dan palung terbentuk ke arah timur sepanjang batas lempeng hingga bagian selatan dari Sula Spur. Wilayah Indonesia bagian tengah seperti Sulawesi terletak di wilayah peralihan yang disusun oleh benturan dua massa kerak benua, yaitu Sundaland dan Australoid, serta kerak oseanik yang kini menjadi ofiolit. Pola tektonik dan distribusi daratan dan laut akibat proses amalgamasi Sulawesi ini akan memengaruhi penghunian Sulawesi oleh fauna dari Asia dan Australia. Oleh karena itu, di Sulawesi terdapat perbenturan antara fauna dari dua dunia, yaitu fauna Asiatik dan fauna Australian.

Penyebaran fauna di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh pergerakan tektonik, tetapi juga oleh zaman es sekitar lima puluh ribu tahun yang lalu. Saat itu, dangkalan Sunda dan dangkalan Sahul bergabung dengan benua Asia dan Australia, sehingga Jawa, Kalimantan, Sumatera, Papua, dan Maluku menjadi satu daratan dengan Asia dan Australia. Hal ini disebabkan oleh menyusutnya lautan hingga tujuh puluh meter. Namun, Sulawesi tetap terisolasi karena dikelilingi oleh laut yang dalam. Hal ini memungkinkan flora dan fauna di Sulawesi mengalami isolasi dan evolusi, sehingga memiliki keanekaragaman tersendiri yang berbeda dari wilayah lain di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya fauna Asiatik dan fauna Australian yang membawa penumpang massa kerak Sundaland dan Australoid, yang kemudian mengalami endemisme tersendiri di tempatnya sekarang.

Aktivitas Penduduk

Secara umum, masyarakat yang tinggal di sekitar garis wallacea didominasi oleh petani dan nelayan yang bergantung pada lahan dan laut sebagai sumber penghidupan mereka. Selain itu, ada juga pedagang yang bergerak di antara kedua kelompok tersebut untuk memfasilitasi perdagangan. Wilayah wallacea, seperti Sulawesi Selatan, memiliki potensi besar untuk menjadi wilayah yang maju, dengan pertanian, perikanan, dan perdagangan sebagai sektor utama penghasilan. Contoh kerajaan Gowa dan Bone menunjukkan betapa pentingnya sumber daya alam seperti lahan pertanian yang luas, perairan yang kaya, dan pusat perdagangan yang ramai dalam mengembangkan wilayah tersebut. Selain menjadi sumber penghasilan, perdagangan juga berfungsi sebagai sarana komunikasi yang memfasilitasi pertumbuhan dinamika antara masyarakat di wilayah Sulawesi.

Umumnya, orang-orang di pedesaan memiliki sebidang tanah untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Lahan tersebut dapat berupa persawahan maupun perladangan. Jika ada pendatang yang awalnya tidak memiliki lahan pertanian, mereka biasanya akan membeli tanah dari penduduk sebagai investasi untuk masa depan mereka ketika pensiun nanti. Dalam jangka panjang, mereka akan menjadi penduduk tetap di desa tersebut. Keluarga yang tidak memiliki lahan pertanian akan bekerja sebagai buruh tani di lahan orang lain. Kepemilikan tanah biasanya diwariskan oleh keluarga sebelumnya. Namun, masalah muncul ketika lahan pertanian yang diwariskan semakin kecil dan sempit seiring berjalannya waktu.

Secara umum, pertumbuhan penduduk di daerah pedesaan cenderung rendah, bahkan di bawah rata-rata nasional. Meski begitu, bagi masyarakat kota, memiliki tanah di pedesaan dianggap sebagai "investasi", sehingga banyak penduduk desa yang bermigrasi ke kota untuk menjadi buruh kasar.

Di daerah yang memiliki pertanian yang dikelola secara intensif, seperti Kabupaten Sidenreng-Rappang, Pinrang, dan Pangkep, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih maju daripada daerah-daerah yang lebih bergantung pada hasil laut. Oleh karena itu, usaha ekstensifikasi pertanian dilakukan di daerah-daerah yang masih memiliki lahan kosong.

Peternakan dan perkebunan juga memberikan kontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi penduduk. Contohnya, perkebunan kopi terdapat di wilayah Tana Toraja, Enrekang, Bulukumba, dan Bantaeng. Sedangkan perkebunan kelapa terdapat di Kabupaten Luwu, dan perkebunan cengkeh di kabupaten-kabupaten yang berada di wilayah pesisir laut.

Referensi

Tanaka, Koji, Mattulada dan Narifumi Maeda.1986. Environment, Landuse and Society in Wallacea. Kyoto: Center for Southeast Asian Studies.

Hadi, Bambang Syaiful. 2008. Makalah Geografi Regional Indonesia. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta

Posting Komentar untuk "Alfred Russel Wallace dan Pembagian Zona Fauna Indonesia"