Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sejarah Perkembangan Islam di Cina



Oleh: Almas Hammam Firdaus


“Uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini fa inna thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin (Tuntutlah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim)”

Negeri Cina dalam bahasa Mandarin sering disebut sebagai “Zhang Guo”, yang mana maknanya adalah Negara Tengah. Kalau kita memperhatikan peta dunia, akan didapati bahwa secara geografis negara Cina terletak ditengah-tengah dunia. 

Cina merupakan sebuah negara yang sangat besar, pun dengan penduduknya yang mencapai sekitar 1.402.552.880 sehingga Cina menempati urutan pertama negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.

Sebagaimana telah diketahui, negeri Cina telah melahirkan banyak pakar terkemuka, militer, sastrawan, pelukis, dan lain-lain. Orang-orang Cina Islam telah banyak berperan dalam menciptakan iklim kebudayaan yang unik dan berbeda di antara suku-suku yang lain yang terdapat di Cina. 

Mereka telah banyak menyumbang dalam perkembangan sosial masyarakat Cina dari zaman ke zaman dalam sejarah Cina.

Sejarah Masuknya Islam di Cina

Agama Islam telah hadir di Cina lebih dari 1400 tahun yang lampau. Dalam hal ini terdapat beberapa teori mengenai kedatangan  Islam di Cina. 

Teori yang pertama mengatakan bahwa, Islam telah dibawa oleh para sahabat yang di utus oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk berdakwah ke Cina. Mereka diutus ke Cina sebagai salah satu misi dakwah Nabi untuk menyampaikan risalah Islam ke negara lain. Jarak antara Mekkah dengan Cina adalah sangat jauh. 

Pada waktu itu hanya ada dua cara untuk sampai ke Cina yaitu melalui perjalanan darat dan satu lagi melalui perjalanan laut. Kedua-dua perjalanan tersebut mempunyai risiko tersendiri. Para Sahabat telah menggunakan perjalanan darat dan mereka telah berdakwah di sepanjang perjalanan tersebut. Di setiap tempat mereka singgah, di situlah akhirnya muncul pusat-pusat penempatan umat Islam. 

Oleh sebab itulah pengaruh dan perkembangan Islam begitu cepat di sebelah barat negara Cina di bandingkan dengan sebelah timur. Malahan banyak makam para Sahabat tersebut sampai sekarang masih bisa ditemui di kawasan barat negara Cina. Jalur yang mereka lalui dikenal dengan “Jalur Sutra”. 

Teori kedua adalah melalui Jalur perkawinan, di mana kalau diperhatikan wajah-wajah mereka sangat mirip dengan wajah orang Arab, Parsi, Turki, Uzbekistan, Afganistan dan ada yang kelihatan seperti orang Pakistan. 

Wajah-wajah mereka tersebut menunjukkan mereka mempunyai darah campuran dengan masyarakat yang tinggal di Timur Tengah dengan muka yang putih kemerahan dengan hidung yang mancung. Perkawinan di antara bangsa tersebut telah membantu mempercepat perkembangan dan penerimaan Islam di kalangan masyarakat Cina. 

Perkawinan campuran tersebut bukan saja memperbanyak umat Nabi Muhammad SAW di dunia tetapi memperbagus kualitas generasi di masa yang akan datang yang mampu meneruskan perjuangan generasi pendahulu. Ini terbukti di Cina hari ini, bahwa umat Islam masih mampu mempertahankan nilai  dan ajaran agama mereka walaupun hidup di bawah tekanan dinasti dan kerajaan yang bukan Islam. Mereka bangga menjadi orang Islam yang memakai kopiah dan jubah. 

Bahkan yang paling mengesankan, mereka menabalkan nama-nama mereka dengan nama-nama Islam, seperti Ma Ho, Sulaiman Ding, Ma Huan dan lain-lain, bahkan sebagian dari masyarakat muslim Cina menuturkan bahasa Arab sebagai bahasa percakapan sehari hari.

Selanjutnya teori ketiga adalah melalui jalur perdagangan Lada. Jalur ini dipergunakan oleh saudagar Arab yang melakukan perdagangan melalui laut. Para pedagang ini menjual hasil dagangannya di pelabuhan-pelabuhan yang terletak di Selatan Cina terutama di Bandar Canton. 

Salah satu kesan akan kedatangan para pedagang tersebut adalah berdirinya masjid-masjid lama di Guangzhou. Begitu pula dengan peninggalan batu nisan yang telah berukir dengan kaligrafi Arab yang indah yang bisa didapatkan di lokasi itu. Jalur ini juga telah digunakan oleh Laksamana Cheng Ho untuk melancarkan ekspedisinya ke negara-negara lain. 

Bahkan pedagang dari India juga menggunakan jalur ini untuk sampai ke negeri “Tirai Bambu”. 

Sejarah Perkembangan Islam di Cina

Mengenai perkenalan awal Islam di Tiongkok (sebutan untuk Negeri Cina), dalam hal ini terdapat beberapa penanggalan yang berbeda, namun menurut catatan resmi dari Dinasti Tang (618-905 M), dan catatan yang sama di dalam A Brief History of the Introduction of Islam to China, karya Chen Yuen, menyatakan bahwa hal itu terjadi pada tahun ke-2 dari pemerintahan Kaisar Yong Hui, yakni sekitar tahun 30 H atau 651 M. Dinyatakan bahwa pada tahun itulah pertama kali dari delegasi yang dikirim oleh Utsman Bin Affan ke Tiongkok. 

Dinasti Tang di Tiongkok dibangun oleh Li Yuan, yang dipanggil Kaisar Tai Tsu (618-626 M), digantikan oleh putranya Li Shih Min yang dipanggil Kaisar Tai Tsung (627-649 M), masa perkembangan  kebudayaan, kesusastraan dan kesenian di Tiongkok. 

Pada masa Kaisar inilah Nabi besar Muhammad SAW. (570-632 M) mengucapkan sabda yang terkenal itu, yang berbunyi: “Uthlubul ‘ilma  wa-lau bilshini” (Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina). Sepeninggal Nabi Besar Muhammad SAW., pasukan Islam pada tahun 636 M. Merebut ibukota imperium Parsi, Ctesiphon, dan pada tahun 641 M. Telah menguasai seluruh wilayah imperium Parsi sampai ke perbatasan Thian Shan di Asia Tengah. 

Dalam pada itu, catatan resmi pihak Tiongkok (Chinese Chronicles) menyebutkan bahwa pada abad ke-5 M. Yakni sebelum agama Islam lahir, armada dagang Tiongkok telah berlayar ke Teluk Parsi, muara sungai Eufrat dan Tigris. 

Mengenai hal ini, Dinasti Sui (605-618 M), yakni dinasti yang digantikan oleh Dinasti Tang tersebut membenarkan pula pernyataan di atas.  Jadi orang-orang Arab telah menampung dan memperdagangkan barang-barang  hasil produksi Tiongkok semenjak beberapa masa sebelum mereka memeluk agama Islam.

Selanjutnya pada masa Dinasti Tang malah ada tempat-tempat kediaman khusus bagi orang-orang asing  di bandar Kwang Chow (Kanton), Chang Chow, dan Chuan Chow yang terletak di wilayah Kwangtung dan wilayah Fukien. 

Pedagang yang mendominasi tempat-tempat tersebut adalah orang Arab, sehingga mereka dipanggil dengan “Semit (orang Arab)”, di dalam Annals Dinasti Tang belakangan mereka dikenal dengan sebutan Tashih. Dr. J.C. van Leur di dalam karyanya Indonesian Trade Annals Society (1960:91), menyatakan bahwa koloni dagang orang Arab telah berada di Kanton semenjak awal abad ke-4 M. 

Professor S. M Fatimi menulis sebuah karangan singkat pada tahun 1958 yang menyatakan masjid dengan menara cemerlang di Kanton cuma didahului pembangunannya oleh masjid pertama yang dibangun Nabi Besar Muhammad SAW. Sewaktu hijrah ke  Madinah, yakni Masjid Quba. 

Pernyataan tersebut dikukuhkan oleh senator A.D. Alonto yang telah melakukan penelitian dalam hal ini. Sementara itu Professor Lo Hsiang-Lindi di dalam karyanya A Study Of Shou Keng (sebuah studi tentang Abu Bakar) menyatakan bahwa ada di antara keturunan keluarga SAA itu meninggalkan agama Islam pada masa Dinasti Ming (1336-1644 M).  

Hal ini menunjukkan kalo SAA memang bukan nama keluarga asli Tiongkok. Begitu pula dengan panggilan Yui yakni singkatan  dari nama Yusuf, yakni penyiar Islam pertama yang menemani Sa’ad . Sa’ad  dan Yusuf sendiri memperlihatkan teladan seorang Muslim, dan dampaknya amat besar sekali dalam sisi psikologis masyarakat Muslim Tiongkok saat itu. 

Pada masa pemerintahan Dinasti Sung itulah saudagar-saudagar Arab dan Parsi ramai kembali mengunjungi bandar-bandar dagang di pesisir Tiongkok pada setiap musim, yakni bandar-bandar Kwng Chou  (Kanton) dalam wilayah Kwangtung dan bandar Chuang Chow dalam  wilayah Fukien. 

Chou Kuang Yin, pembangun Dinasti Sung, dan beliau terkenal dengan panggilan Kaisar Tai Tsu (960 796 M). Ia  berusaha memulihkan kehidupan ekonomi umum dan ekonomi rakyat Kaisar dan pengikut-pengikutnya berjuang keras untuk menarik minat para saudagar-saudagar Arab dan Parsi itu dengan berbagai fasilitas beserta jaminan keamanan. 

Para kaisar sengaja membentuk lembaga khusus, seperti departemen perdagangan untuk mengawasi kelancaran ekspor-impor. Departemen ini langsung memasarkan produk-produk khusus, yang merupakan monopoli pihak-pihak pemerintah, sambil mengawasi keamanan yang keluar masuk pelabuhan. Departemen ini juga mengurus masalah bea-cukai beserta pemeriksaan barang-barang yang melintasi pelabuhan, dan ini berjalan dengan sangat lancar sekali. 

Jasa yang paling besar terhadap masalah ini, tak lepas  dari peranan seorang keturunan Arab yang bernama Pu Shou Keng. Pada awalnya beliau hanya diperintah untuk mengurusi kepentingan orang-orang Arab di Tiongkok, namun belakangan ia menjabat sebagai Komisaris Tinggi Angkatan Laut untuk memelihara dan menjamin lalu lintas kapal-kapal dagang dari gangguan bajak laut. Dan terakhir ia ditunjuk sebagai kepala dinas perdagangan. 

Begitu besarnya jasanya dalam memajukan ekonomi Tiongkok pada masa Dinasti Sung, hampir 40 tahun dari hidupnya disumbangkan untuk negeri Tiongkok, demikian kata Chen Yui Tsing dalam karyanya A study on Pu Shou Keng (Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok [Jakarta: Bulan Bintang, 1979:53]). 

Karena sistem yang diterapkan oleh Dinasti Sung sangat hebat, para saudagar dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sekalipun sebagian dari para pedagang tersebut belakangan ingin meneruskan pelayarannya ke Korea dan Jepang, akan tetapi tujuan utama mereka adalah Tiongkok (terutama bagian tenggara Tiongkok, yakni wilayah Kwangtung dan Fukuen). 

Menurut taksiran bahwa jumlah saudagar yang datang dari berbagai penjuru dunia tersebut jauh berlipat ganda dari pada penduduk Bandar Shanghai empat puluh tahun yang silam, yakni sekitar tahun 1930-an. 

Para pedagang tersebut sangat betah di daratan Tiongkok tersebut, karena iklimnya yang sangat menyenangkan, dan memiliki kesempatan-kesempatan dagang yang menguntungkan, serta penduduknya yang sangat ramah-tamah. 

Sehingga dengan kondisi yang demikian, banyak di antara mereka yang menetap  di situ dalam jangka waktu yang lama, bahkan tidak kembali lagi ke negara asalnya dengan menikahi penduduk setempat hingga memiliki keturunan di negeri tersebut. Inilah salah satu sebab perkembangan Islam di Tiongkok begitu cepat. Namun pada masa-masa terakhir pemerintahan Dinasti Sung, memperlihatkan korupsi yang merajalela. 

Genghis Khan (1162 M-1227 M) dengan pasukan berkuda yang gerakannya sangat cepat  dan tangkas itu menaklukkan berbagai wilayah Asia, termasuk Tiongkok. Dinasti Sung utara tumbang pada tahun 1127 M. Kendatipun para pejuang Tionghoa mencoba menangkis berbagai serangan bangsa Mongol namun usaha tersebut gagal, bahkan Dinasti Sung selatan juga runtuh pada tahun 1127- 1279 M. Dengan berakhirnya dinasti ini maka terbentuklah dinasti baru yang dikuasai oleh bangsa Mongol di Tiongkok, yang bernama Dinasti Yuan.

Dinasti Yuan ini memerintah dengan penuh tirani selama 89 tahun lamanya. Hak-hak asasi manusia tidak dikenal dalam dinasti ini sebagaimana di wilayah lain. Bangsa Mongol ini memang tahu akan kemampuannya dalam memerintah Tiongkok,  dengan wilayah yang sangt luas tersebut tentunya mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam memimpin wilayah ini. 

Oleh sebab itulah mereka mengerahkan tenaga-tenaga dari wilayah Asia Barat untuk membantu mengurus administrasi wilayah-wilayah yang baru dibentuk tersebut. Orang-orang Tionghoa yang ditaklukkan itu terpaksa patuh dengan penguasa yang tiran itu (D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara. Surabaya. Usaha Nasional.139-141). 

Penguasa Mongol itu malah menempatkan seorang prajurit pada setiap rumah orang Tionghoa dan hanya membolehkan sebilah pisau dapur untuk setiap  sepuluh orang keluarga. Hidup mereka sangat menderita selama 89 tahun dalam kungkungan kekuasaan Mongol yang tak beperadaban itu. Pada akhirnya kaum pionir Muslim bangkit menentang kaum tirani tersebut, maka tumbanglah Dinasti Yuan (1279-1368 M). Akhirnya terbentuklah Dinasti Ming pada masa berikutnya. 

Bagaimanapun dalam masa pemerintahan Dinasti Yuan ini, banyak juga muncul tokoh-tokoh intelektual, seperti ada dua orang ahli yang sangat terkenal dalam bidang persenjataan dan militer (pembuat meriam) yakni Alauddin Al-Mufari dan Ismail Al-Syami. 

Kedua-duanya itu adalah imigran dan bukan penduduk Tiongkok asli. Mereka yang pertama sekali menggunakan mesiu (gunpowder) untuk menembakkan bola-bola meriam (cannon balls) untuk menghancurkan tembok besar pertahanan (benteng-benteng). 

Dinasti Yuan pernah menggunakan hasil bikinan mereka untuk menghancurkan Benteng Hsiang Yang dalam Provinsi Hupei. Belakangan Alauddin diangkat menjadi Deputi Wan Hu (wakil panglima suatu pasukan yang berkekuatan 7.000 orang prajurit). Sementara Ismail menjabat kepala pengawas (Chief Superintendent) untuk pabrik pembuat meriam. 

Pada masa Dinasti Yuan, orang-orang Islam Arab, dipanggilkan dengan sebutan Tashih, dan juga dengan sebutan Semit atau disingkat dengan Sem, dan sebagian ada yang dipanggilkan dengan Hoi-Hoi belakangan berubah menjadi HuiHui (Uighur) (Marshal Broomhall. Islam In Cina: A Neglegted Problem [New York. Paragaon Book Reprint Corp. 1966:167]). 

Panggilan Sem diperuntukkan dalam surat-surat resmi, sementara yang lain adalah panggilan sehari-hari. Menjadi pertanyaan belakangan kenapa mereka memanggil orang-orang Semit dengan Hui-Hui? Karena pada masa Dinasti Yuan keturunan bangsa Semit (orang Arab) yang ada di Tiongkok menyembah Allah yang Esa dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. 

Dalam masalah politik advisori, kekuasaan Mongol memerlukan orang-orang yang cakap dan mampu dalam bidang pemerintahan. Mereka itu ahli dalam bidang-bidang peradilan, administrasi, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya. 

Oleh sebab itu, banyak posisi penting yang dipegang langsung oleh orang-orang Muslim. Orang-orang Islam dari berbagai penjuru Tiongkok  aktif memainkan peranannya dalam menyebarkan misi Ilahiyah. Sehingga lambat laut banyaklah orang yang memeluk agama Islam. 

Masjid-masjid pun berdiri di berbagai sudut kota dan provinsi. Inilah yang menimbulkan suatu ungkapan pada masa Dinasti Yuan itu, yang berbunyi: “ There are Moslems everywhere under the sky in Yuan Dinasty”, (di mana pun berada, di bawah kolong langit,  ada orang Islam pada masa dinasti Yuan). 

Telah merupakan sebuah tradisi pada masa itu bahwa setiap pernyataan takluk mestilah disertai dengan penyerahan sandera. Emir Bukhara menyerahkan putranya sendiri untuk disandera oleh Genghis Khan. Pangeran yang masih muda itu bernama Said Omar Syamsuddin. 

Genghis Khan membawa pangeran tersebut ke Peking untuk dididik  bahasa Tionghoa. Pemuda tersebut sangat cerdas dan sangat mudah menyerap Kebudayaan Tiongkok. Kubilai Khan (1214 M-1294 M), cucu dari Genghis Khan yang menguasai Tiongkok, memberi nama kepada pangeran muda itu Syeed Sweeni. 

Semenjak Dinasti Yuan, maka para pendatang muslim dengan muslim pribumi sangat ramah sehingga lahirlah semboyan ”All Moslems are Brother”, mereka sama-sama melaksanakan salat berjamaah tanpa ada perbedaan ras maupun bangsa. Ini adalah sebuah fakta bahwa orang Tionghoa sangat toleran terhadap agama, dan muslim di Tiongkok semakin berurat akar dari hari ke hari.

Disebabkan penguasa Mongol yang tiran, maka minat pejuang-pejuang muslim  untuk membela dan berjuang membela masyarakat yang lain yang tertindas semakin tak tertahankan, ditambah lagi dengan dukungan para pasukan Han yang menggabungkan diri dengan kelompok Muslim. 

Pemberontakan tersebut dipimpin oleh General Kok Tze Hin, ia adalah seorang muslim, dan pada akhirnya menyerahkan pimpinan revolusi tersebut kepada menantunya, Chu Yuan Chang, Dinasti Yuan akhirnya tumbang ditangan menantunya itu. Keberhasilan yang diraih oleh Chu Yuan Chang, ditandai dengan mengumumkan dirinya sebagai Kaisar yang pertama dari Dinasti Ming. 

Dengan panggilan resminya Kaisar Hung Wu, namun sejarah lebih mengenalnya dengan Kaisar Chu Yuan Chang. Sementara istrinya adalah seorang Muslimah, yang diumumkan menjadi ratu dengan panggilan Ratu Ma atau Empress Ma. Diansti Ming artinya “dinasti yang gilang gemilang” ataupun “terang berderang”. 

Mengenai pemilihan nama dinasti yang baru itu patut dipertanyakan, akan tetapi bagi orang Islam pertanyaan itu sudah cukup jelas. Ini ada kaitannya dengan Madinah al-Munawwarah untuk menggantikan nama kota Yastrib. Yang bermakna kota yang  gemilang atau terang berderang. Inilah alasan kenapa nama dinasti ini diberi nama Dinasti Ming. 

Islam memperoleh perkembangan yang pesat pada masa Dinasti Ming, bukan hanya bagi pendatang, namun bagi keturunan Han yang paling dominan di negeri’ Tirai Bambu”itu. Tindakan atau kebijakan yang pertama yang dilakukan oleh Kaisar Chu Yuan Chang ini setelah merebut kota Nanking ialah membangun Masjid Raya, dan didekasinya di masjid tersebut sebuah sajak yang terdiri dari 100 kata  (100 huruf Tionghoa), yang dipahat di masjid tersebut yang artinya: “Kitab Suci menerangkan dengan jelas tentang permulaan alam semesta. 

Nabi yang mengajarkan agama itu lahir di Barat Besar. Ia menerima wahyu suci yang berjumlah 30 juz, memberikan pencerahan terhadap orang banyak. Dia itu guru bagi beribu raja dan kaisar, dan pemuka seluruh Nabi. 

Dia itu membantu revolusi yang dianugerahi langit ini untuk mensyiarkan dan melindungi negeri dan rakyat. Sembahyang dilakukan lima kali sehari untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia. 

Agama itu sangat santun terhadap orang melarat dan melindungi manusia dari kekacauan. Ia melukiskan hidup pada hari kemudian  dan kemenangan di situ. Ia mengajarkan cinta yang menyeluruh di bawah naungan langit. Semua ajarannya berawal dari semenjak alam diciptakan dan akan tetap hidup selama-lamanya. Agama itu punya kekuasaan Maha Perkasa untuk membasmi ajaran-ajaran iblis, menyimpang, dan menyesatkan”. 

Masjid tersebut kemudian diperluas oleh Kaisar Sheh Tsung (1522 M- 1566 M). dan mendapatkan gelar dengan Masjid Chin Juieh (Masjid Pencerahan Murni).

Nurhachi (1616 M-1627 M), sebagai penguasa Wilayah Manchuria, pada tahun 1616 M. Ia memanggil dirinya dengan sebutan Chin Khan. Ia wafat pada tahun 1627 M. lalu digantikan oleh Huang Tai Chi (1627 M-1635 M). Sebagai penguasa wilayah itu. 

Tokoh ini pada tahun 1635 M. Mengumumkan pembentukan imperium dan memanggil dirinya sebagai Kaisar, yang dikenal dengan Dinasti Ching. Dinasti inilah belakangan dikenal dengan nama Dinasti Manchu (1644 M), dengan kota Mukden dipilih sebagai ibu kota dinastinya.

Menjelang tahun 1644 M, berkembanglah kemelut dalam Dinasti Ming, seorang tokoh bernama Li Tzu Cheng, berhasil membentuk pasukan dari kaum bandit dan  membuat kekacauan dan kerusuhan, pada waktu itu seorang tokoh dari Dinasti Ming, General Wu San Kwei, tidak berdaya menghadapi kemelut itu, sehingga ia mengundang pasukan dari Dinasti Ching dari Mnchuria untuk menumpas bandit tersebut. 

Setelah itu, General Wu San Kwei, mencoba menghalau pasukan Manchu pengacau untuk kembali ke balik tembok besar Tiongkok, namun ia tiada berdaya. Dengan begitu, tentara Manchu secara leluasa menancapkan kakinya di wilayah Tiongkok (Ibrahim Tien Ying Ma. Perkembangan Islam di Tiongkok (Jakarta. Bulan Bintang. 1979:164).

Pihak Muslim di Tiongkok berpendirian bahwa perlawanan bersenjata yang dilakukannya itu berlandaskan keadilan, karena jalan perundingan dengan pihak Manchu supaya meninggalkan wilayah asli Tionghoa dan wilayah Tiongkok lainnya, telah menemui kegagalan. Semboyan yang diteriakkan pihak Muslim Tionghoa itu, tercantum pada berbagai inskripsi, yang berbunyi: “Hancurkan kekuatan Manchu dan galakkan gerakan Ming”. Namun sebaliknya pihak Mancu juga tak kalah meneriakkan slogan juga, yang berbunyi: ”hancurkan kaum perusuh Muslim”.

Pihak Muslim Tionghoa akhirnya mengirimkan utusan ke kota Peking untuk melakukan perundingan dengan pihak Manchu, namun menemui kegagalan. Semenjak itulah perlawanan secara bersenjata kaum muslimin menyebar luas di berbagai wilayah hingga menghabiskan waktu selama 268 tahun.

Semenjak masa terakhir dari pemerintahan Kaisar Shun Chih (1644 M-1661 M) itu sampai pada masa tumbangnya dinasti Manchu pada tahun 1912 M., maka dinasti Manchu tersebut tidak sedikit jumlahnya mencatat pertempuran yang berlangsung dengan pihak “ Kaum Perusuh Muslim”. Intinya bahwa Cina Muslim di bawah Dinasti Manchu tidak mengalami perkembangan yang berarti,  malahan yang ada adalah ketertindasan dan pemberontakan di mana-mana.

Pada abad ke-19 M, rezim pemerintahan Dinasti Qing telah menggunakan kebijakan anti Islam. Hasilnya, Cina Muslim telah mengalami kesulitan karena telah mulai dimasuki oleh negara-negara imperialis Barat seperti Amerika, Soviet dan negara-negara lain (Bao Jun. Yusuf. Perkembangan Masyarakat Cina Muslim di Dunia. Kuala Lumpur. Pusat Penyelidikan Ensiklopedia Malaysia. 1999:31). 

Akibatnya, banyak sekali pemberontakan-pemberontakan yang terjadi,  salah satunya seperti pemberontakan Yunnan Islam.  Pasukan Qing telah memusnahkan lebih dari dua juta umat Islam dalam masa 12 tahun. Kemudian Umat Islam juga telah dibuang ke luar negeri karena dianggap telah menggagu keamanan dan ketenteraman dinasti itu (Raphael Israeli. Islam In Cina. USA. The Lexington Book. 2002:43). 

Namun umat Islam sabar dengan cobaan ini meski penindasan terus menjadi-jadi. Malahan sebaliknya, keimanan mereka semakin kuat hingga akhir hayat mereka. Masyarakat Islam berkembang pesat setelah kejatuhan Dinasti Qing tersebut.  

Keadaan kembali terbalik, setelah Dinasti Manchu tumbang pada tahun 1911 M-1912 M, malahan ini buat  pertama kalinya pihak Muslim menikmati persamaan derajat di Tiongkok. Konstitusi Nasional, seperti halnya dengan proklamasi Kuomintang dengan jelas menjamin kebebasan beragama. 

Islam diakui secara resmi. Konstitusi Tiongkok memberikan hak kepada wakil-wakil Muslim untuk duduk di dalam Majelis Nasional  (National Assembly), dipilih oleh pihak Muslim yang berada pada seluruh wilayah Tiongkok (Ibrahim Tien Ying Ma. Perkembangan Islam di Tiongkok. Jakarta. Bulan Bintang. 1979:256). 

Masyarakat Islam telah kembali menguasai keadaan dan memulihkan suasana seperti sediakala, dengan membangun kembali sekolah-sekolah Islam, Kemudian semenjak pembentukan Republik, sekolah-sekolah lanjutan pun kembali dibangun seperti Northwest College di Peking, Ming Teh Secondary School di Yunnan, Mu Sing Secondary School di Hang Chow (HanKow), Kun Loon Middle School di Chianghai, dan Cheng Ta Islamic Normal School di Tsianan dan di Peking. 

Kemudian pembangunan pendidikan keagamaan di masjid-masjid dengan sistem halaqah, lambat laun berubah menjadi perguruan yang bersifat modern. Buku-buku tentang Islam pun kembali direvisi dan sistem pembelajaran modern pun diperkenalkan seiring dengan bergulirnya ide pembaharuan yang ada di Mesir. Seluruh lembaga-lembaga Islam yang bersifat swasta, dibiayai sendiri oleh pihak Muslim tanpa bantuan pemerintah. 

Organisasi-organisasi Islam sejak saat itu mulai bermunculan seperti, Progressive Association (Perhimpunan Muslim Progresif) dan memiliki pengikut yang sangat luas. Pada bulan Oktober 1929, terbentuk lagi Islamic Association, sebagai sentral organisasi yang berkedudukan di Nanking. Kemudian pada tahun 1937, Islamic National Salvation Federation of China (Federasi Islam Nasioanl bagi Penyelamatan Tiongkok) didirikan yang berpusat di Han Kow oleh General Omar Pai Cung Hsi, yakni seorang jendral berbintang empat yang sangat gigih melawan agresi Jepang.

Dalam tempo 32 tahun, surat kabar dan majalah Islam tidak ketinggalan menjadi perhatian mereka. Lebih dari 70 Islamic Journal (berkala Islam) berhasil diterbitkan dengan sukses. Pada tahap awal diterbitkan Islamic Jornal di Yunnan pada tahun 1915 ada yang mengatakan pada 1911 M. (masih diperdebatkan). 

Islamic Literature (kesusastraan Islam di Peking ). Domestic Education (Pendidikan Rumah tangga), Barulah disusul dengan yang lainnya secara bertahap dalam bahasa Tionghoa. Majalah berkala yang paling tua adalah The Crescent (Bulan Sabit), The Light Of The Crescent (Sinar Bulan Sabit), kedua duanya terbit di Peking. The Islamic Review (Tinjauan Islam), terbit di Shanghai. Islamic Science (ilmu pengetahuan Islam) dari Ko Kiang pada tahun 1920. Moslem Youth (pemuda Muslim) dari Kanton pada tahun 1926. Kemudian masih banyak lagi yang lainnya, di mana seluruhnya ditulis dengan pembahasan-pembahasan yang bermutu.

Pada zaman ini juga dimulailah babak baru pengiriman pelajar Muslim Cina ke berbagai Negara terkemuka di dunia Arab untuk belajar dan menggali ilmu keislaman, seperti ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Pada tahun 1931 M, Muhammad Ma Jian (1906 M- 1978 M) telah pergi ke Universitas Al-Azhar, dan pada tahun 1939 M beliau kembali ke Cina dan mengarang kamus yang terkemuka “Kamus Arab-Cina”, dan telah melibatkan dirinya ke dalam kelompok penerjemahan Al-Quran pada tahun 1981.

Lembaga Penerbitan Ilmu Sosial Negeri Cina telah berhasil menerbitkan karya Beliau dengan judul “Al-Quran Arab-Cina” dan telah mendapatkan penghargaan terbaik atas segala usahanya dari pemerintah. Kemudian, Lembaga Penerbitan Kitab Suci Al-Quran Madinah di Arab Saudi telah menerbitkan penerjemahannya” Kitab Suci Al-Quran” dalam bahasa Mandarin dan disebarkan ke seluruh dunia.

 Seorang lagi tokoh yang cendekiawan dan Imam yang masyhur  di Cina adalah Yakoh Wang Jing Zhai (1879-1949). Beliau telah belajar di Universitas Al Azhar dan telah terpengaruh dengan pemikiran Islam kontemporer. Sekembalinya ke Cina beliau menerbitkan Islam Light Magazine (Majalah Pelita Islam). Dengan berkat kefasihan berbahasa Arab dan Cina, beliau menggunakan untuk menerjemahkan  Al-Quran dalam tiga gaya bahasa (klasik, kontemporer dan agama). 

Ini dimaksudkan untuk memudahkan berbagai kalangan dalam memahami dan membacanya.  Semua itu telah menyenangkan umat Islam di negeri “Tirai Bambu” tersebut.  Beliau adalah di antara empat imam yang terkenal, sementara tiga lainnya adalah Hilai al-Din, Ha De Chen (1888 M-1943 M), Muhammad Da Pusheng (1874 M-1965 M), dan Abdul Laximu Ma Song Ting (1895 M- 1992 M).

Empat imam kontemporer tersebut pada zaman ini telah mampu menyedot perhatian para akademisi yang berminat dalam bidang penerjemahan dan penyampaian prinsip-prinsip Islam ke dalam berbagai jenis buku karena kemahiran mereka menguasai dua bahasa. Mereka telah mengasas banyak sekolah dan pondok pesantren dalam rangka menyebarkan dan memperkuat keyakinan masyarakat muslim di Negeri Cina.

Pengaruh Islam terhadap Kebudayaan Cina

Menurut seorang pakar hubungan antara Cina dan kebudayaan Islam, Anthony Garnaut dalam tulisannya yang berjudul The Islamic Heritage In Cina: A General Survey menegaskan bahwasanya Islam pun turut memberikan sumbangan bagi peradaban dan kebudayaan Cina. 

Islam telah memberikan pengaruh yang lumayan cukup besar seperti pada bidang kesenian, kesusastraan, musik, astrologi, filsafat, ekonomi, militer, sosial dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh tersebut masih dapat dilihat hingga sekarang ini. Salah satu elemen yang paling menonjol adalah seni kaligrafi (khat) yang menjadi bukti akan adanya interaksi budaya dalam masyarakat Cina. 

Menurut beberapa catatan sejarah, hasil seni kaligrafi yang pertama kali ditemui adalah di bandar pelabuhan di Selatan Cina. Inskripsi khat tersebut ditemui pada porselen, batu nisan dan kerajinan tangan. Seni kaligrafi tersebut mempunyai pengaruh yang cukup tinggi, tidak hanya memperkaya hasil kerajinan namun memiliki nilai keindahan dan dekorasi produk yang dihasilkan. 

Di samping itu, ia menjadi saluran penyampaian misi dakwah dan simbol ajaran Islam. Keunikan dari khat Cina Muslim adalah ia ditulis dalam bahasa Arab dengan gaya tulisan Cina. Selain memperlihatkan kesucian agama Islam, tulisan khat juga menyimpan pesan yang tersurat dan yang tersirat. 

Seni khat adalah memiliki hubungan yang sangat erat antara manusia dan penciptanya (Allah SWT) dan menjadi manifestasi antara seorang hamba dengan khaliknya. Seni khat sebenarnya menjadi cermin kepada sikap, perasaan, pemikiran, dan rohani umat Islam. Kesenian ini merupakan ekspresi kepada kehalusan budi pekerti dan ketertiban interaksi dalam masyarakat serta kehidupan sosial (Wang Sen. Aan. Rahasia Kegemilangan Islam di Cina. Selangor, LA Khauf Marketing. 2007:53-54).

Teknik kaligrafi yang digunakan dalam seni khat Cina Muslim adalah salah satu yang tertua di dunia. Kepentingan seni khat dalam kehidupan penduduk Cina dapat dilihat dalam sistem pendidikan, penadbiran dan perkembangan intelektual. Pemerintahan dinasti Cina dalam perekrutan pegawai adalah sangat ketat, salah satu syaratnya adalah peserta harus menguasai seni khat tersebut. 

Ia turut menjadi kriteria penting dalam menguji kriteria intelektual seseorang, demikian pula dalam kenaikan pangkat dan jabatan. Semakin bagus kaligrafi yang dihasilkan semakin bagus kedudukan seseorang di tempatnya bekerja.  Oleh sebab itu, subjek kaligrafi menjadi subjek penting yang diajarkan di sekolah-sekolah di Cina. 

Menurut Garnaut, peradaban Islam juga telah memberi pengaruh dalam dunia kedokteran Cina. Umat Islam di negeri itu telah menginisiasikan pendirian Rumah Sakit pertama di Cina, Hu Yah Wo Yuan pada tahun 1277. 

Selain itu, buku tentang kedokteran Cina yang direvisi pada era kekuasaan Dinasti Song tahun 1056 dan 1107 banyak mengambil dari buku kedokteran yang ditulis oleh Ibnu Sina. 
Islam pun juga cukup dominan mempengaruhi seni kuliner Cina yang dikenal dengan aneka masakannya yang lezat. 

Pengaruh tersebut nantinya akan banyak melahirkan banyak makanan halal di Cina yang mana sebelumnya banyak yang non halal dan menggunakan daging babi kemudian mengalami modifikasi sehingga menjadi halal dan dapat dikonsumsi oleh umat Islam.

Dan yang tak kalah penting juga pengaruh Islam juga berpengaruh terhadap arsitektur Cina seperti pada Pulau Qionghua yang kini berada di sekitar Danau Taman Beihai di pusat kota Beijing yang mana dibangun oleh insinyur Islam bernama Amir Al Din. 

Selain itu juga terjadi akulturasi antara arsitektur Cina dan Islam yang mempengaruhi bentuk masjid di Cina seperti di Masjid Shaheba, Masjid Zhu Xian Zhen, Masjid Bandar Pelabuhan Yan Tai, Masjid Lanzhou Xiguan, Masjid Huaishen, dan Masjid Sanya. 

Jadi kesimpulannya jelas bahwa Islam telah lama sekali mengakar di negeri Tirai Bambu ini, dimulai dari Dinasti Tang hingga Dinasti Manchu (Dinasti Ching). Namun, sangat disayangkan, ketika Cina berubah menjadi sebuah Republik, yang belakangan disebut dengan RRC (Republik Rakyat Cina), dengan menganut sistem komunis yang anti Islam, maka kondisi umat Islam yang ada di negeri itu seperti anak ayam yang kehilangan induknya, karena semua ajaran Islam tidak lagi berfungsi pada saat itu, seperti dihapuskannya badan wakaf yang telah dipraktikkan sepanjang zaman oleh umat Islam, menghalalkan praktik makan babi yang juga telah lama ditinggalkan oleh kaum muslim. 

Inilah yang membuat keguncangan bagi mereka yang masih tersisa, semoga mereka yang minoritas hari ini dalam segi kuantitas menjadi mayoritas dalam kualitas. 

Karena bagaimanapun Islam hingga hari ini masih ada di negeri Tirai Bambu tersebut. Kondisi ini seperti yang telah dimuat dalam sebuah surat kabar harian Kwangming, yang pada masa-masa akhir Dinasti Manchu (Dinasti Ching) pemerintah kurang memperhatikan kondisi umat Islam sehingga muncullah kekuatan baru yaitu komunis, yang berniat membinasakan kekuatan muslim  yang ada di wilayah itu. 

Kendatipun begitu  sejarah juga telah mencatat bahwa tidak ada satu pun agama yang mampu dimusnahkan ataupun ditumpaskan oleh kekuatan senjata atau pengejaran mana pun di dunia ini.

Untuk mengetahui sisi lain perkembangan Islam di Cina, tonton video berikut ini:




Posting Komentar untuk "Sejarah Perkembangan Islam di Cina"