Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sejarah Haji di Indonesia pada Masa Kolonial Belanda

 


“Panggilan Ilahi” merupakan julukan bagi umat islam yang hendak melaksanakan ibadah haji, untuk memenuhi dapat panggilan Ilahi, merujuk pada (QS Ali-Imran: 97) yang artinya:“…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.(QS. Ali Imran: 97).

Haji merupakan bagian dari rukun Islam yang kelima. Ibadah Haji merupakan suatu kewajiban bagi umat islam yang mampu, dalam segi fiansial dan fisik. Indikator mampu di sini yaitu, orang yang mampu melaksanakan Ibdah haji diukur dari segi cukupnya perbekalan, seseorang ke tanah suci baik dari segi biaya perjalanan, biaya pelaksanaan haji, dan juga dari sisi kesehatan seseorang serta biaya yang terkait dengan pelengkapan haji seseorang dan juga memungkinkan baginya berhaji tanpa merugikan orang-orang yang penghidupannya bergantung kepadanya.

Ibadah haji adalah ibadah fisik dimana kesehatan jasmani mutlaq perlu diperhatikan karena seseorang akan berada di tengah-tengah lautan manusia yang bentuk tubuhnya serta karakternya berbeda-beda, dan teriknya cahaya matahari dengan intensitas suhu yang berbeda hal ini pun menjadi tantangan tersendiri bagi para jamaah haji, membutuhkan kondisi fisik yang prima sehingga rangkaian pelaksanaan ibadah haji dapat terlaksana.

Adapun makna berhaji bagi masyarakat di Indonesia memiliki dua makna ganda. Makna haji yang pertama bagi mayoritas muslim di Indonesia, berhaji dipandang sebagai suatu ibadah yang sakral, selain itu berhaji pun memberikan status atau gelar tersendiri bagi seseorang di mata masyarakat dan hal itu memang telah menggejala sejak lama. Sejarah merekam betapa sangat sulit nya perjalanan haji ketika kolonialisme masih merajalela di bumi Nusantara, hal tersebut terjadi karena lahirnya berbagai ketetapan kebijakan belanda kepada para jamaah haji Hindia Belanda. Yang dinilai banyak sekali merugikan mereka atas berlakunya kebijakan tersebut yang berlaku pada saat itu. (Fathurrahman, 2019: 1)

Salah satu hal yang menarik sejak lama, yakni Indonesia memiliki ciri khas tersendiri, di mana haji menjadi sebuah ajang ibadah yang sangat penting serta diutamakan jika dibandingkan dengan bangsa lain. Hal ini dapat dilihat pada catatan Martin van Bruinessen dari laporan The Haddj: Some of its Features and Functions in Indonesia-nya Jacob Vredenbregt (1962), pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, diketahui jumlah jamaah haji dari Hindia Belanda berkisar 10 dan 20 persen dari total keseluruhan haji asing, meski mereka datang dari wilayah yang terhitung lebih jaug secara geografis dibandingkan dengan jamaah haji lainnya. Diketahui pada dasawarsa kedua yakni abad ke-20, jumlahnya mencapai sekitar 40 persen dari keseluruhan jamah haji. (Rahman, 2009: 1)

Perjalanan Haji Muslim Di Nusantara menuju tanah suci (Mekkah) telah berlangsung sejak awal Islam bersentuhan dengan masyarakat Islam di Nusantara (Majid, 2008: 2). Para pedagang utusan sultan serta para musafir penuntut ilmu, mereka adalah penduduk Nusantara yang pertama kali melaksanakan ibadah haji. Abad ke-15 belum banyak pedagang Nusantara yang berada di pelabuhan Arab, sehingga kemudian pada akhir abad ke-15 banyak pedagang Arab dan Sumatera di pelabuhan Arab, seperti Aden dan Hormuz. (Hindasah, tt: 2)

Diketahui dari sumber-sumber sejarah bahwasannya pada abad ke-17, Indonesia dan Mekkah telah menjalin hubungan diplomatik. Pada masa itu berziarah ke Makkah bagi umat Islam Nusantara yakni sebagaimana diatakan Bruinessen seperti “sebuah pengakuan politik” dan juga “sumber ngelmu”. Mengapa begitu, karena para penguasa pada masa masa itu yakni seperti dari Banten dan Mataram yang sama-sama mengirim utusannya pada tahun 1630-an, untuk mengirimkan utusan ke Makkah dengan tujuan mencari dukungan supranatural serta meminta gelar sultan yang berasal dari penguasa Jazirah Arab. Mereka memandang bahwa syarif besar, penguasa Haramain sebagai penguasa Darul Islam, yang dapat memberiakan berkah melalui pemberian gelar sultan. Tepat pada tahun 1674 untuk pertama kalinya seorang pangeran jawa juga naik haji, yakni ia adalah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten bernama Adul Dohhar atau baiasa dikenal saat ini dengan gelar Sultan Haji. (Arsip Nasional RI, Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial)

Kemudian setelah mulai meningkatnya keinginan umat muslim di Indonesia untuk dapat melaksanakan Ibadah Haji. Selain untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah ada pula terdapat niat sebagian dari umat Islam di Indonesia pada masa itu untuk menimba ilmu agama di sana. Mereka dikenal sebagai orang mukim sebagaimana yang disebutkan oleh Snouck Hugronje dengan sebutan “jawah mukim”. Biasanya mereka menetap di tanah suci selama beberapa tahun, kemudian mereka mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya selama di tanah suci pasca perpulangannya kembali ke Nusantara.

Sikap Labil kebijakan VOC yang selalu mempertimbangkan keadaan politik di kepulauan Nusantara dan kepentingan-kepentingan VOC, untuk dapat mengangkut calon jamaah haji Hindia-Belanda pada masa itu, mempersulit keadaan, adakalanya mereka memperbolehkan calon jamaah haji untuk dapat menaiki kapal dagang VOC, namun ada kalanya pula mereka melarang calon jamaah haji untuk dapat menaiki kapal dagang VOC, bahkan mirisnya mereka pun melarang para jamaah haji hindia belanda yang telah kembali dari tanah suci untuk dapat mendarat di Batavia. (Lihat: Jannah, 2016: 43)

Ketakutan kolonial Belanda terhadap dampak besarnya pengaruh haji terhadap gerakan nasionalis, hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda mulai menetapkan berbagai kebijakan politik yang kemudian dikenal dengan politik Islam Hindia Belanda. Padahal pada awal mulanya pemerintah Belanda tidak berani mencampuri urusan berbau agama secara langsung, bisa dibilang netral, terhadap agama. (Rumila Sari, 2014: 39)

Belanda mencatat bahwasannya, terdapat banyak jamaah haji Hindia Belanda yang berangkat ke Mekkah, kemudian tidak kembali lagi yakni sekitar tahun 1853 dan 1858. Jumlah jamaah haji yang pulang dari tanah suci tidak sampai dari separuhnya jika dibandingkan dengan jumlah orang yang telah berangkat sebelumnya ke Mekkah untuk berhaji. Pemerintah Belanda memberikan kesan sementara ada masa itu bahwa jamaah yang tidak kembali ke Nusantara dikarenakan meninggal saat diperjalanan, atau dijual sebagai budak, mengingat perjalanan haji pada masa itu sangat sulit serta menelan banyak korban. (Zainal, 2012: 100)

Dalam laporan kolonial dikatan bahwasannya kapal yang sarat dengan penumpang pada saat itu ditambah barang-barang calon jamaah haji yang terbilang sangat banyak sekali, akibatnya lorong-lorong kapal pun menjadi penuh dengan tumpukan barang yang diletakkan di sepanjang gang yang ada. Sehingga akibatnya, untuk dapat melaksanakan solat pada kondisi seperti saat itu pun sudah tidak ada lagi tempat. Bahkah yang sangat mirisnya jika ada penumpang yang hendak membuang hajat kecil dan hajat besar terpaksa dilakukan ditempatnya bernaung. Para penumpang terpaksa harus mengurus makanannya sendiri, baik di kapal ataupun harus dibawa ke pinggir pelabuhan,selama bongkar muat barang. Fasilitas yang tidak memuaskan tergambar jelas dan jauh dari persyaratan kesehatan sangat dirasakan sekali pada saat itu. (Arsip Nasional RI, TGs tanggal 6 November 1896 No.353 Geh)

Sebelum terdapat kapal uap, perjalanan haji bagi calon jamaah haji Nusantara, sangatlah terbilang mahal dan berbahaya. Waktu yang dihabiskan untuk satu perjalanan haji selama dua sampai tiga tahun dan acap kali jamaah haji dengan terpaksa meninggalkan harta bendanya di sana. Akan tetapi di akhir abad ke-19 kapal layar yang bertugas mengangkut jamaah haji ke Mekah di ganti oleh kapal uap. Dampak positif dari pergantian kapal sangat terlihat terutama dari segi keamanan penumpang, karena kapal telah menggunakan mesin berteknologi tinggi, lebih cepat dari kapal layar. Dengan dibukanya Terusan Suez termasuk salah satu faktor yang mempercepat kapal itu masuk ke perairan Nusantara. Keadaan itu pula yang mendorong semakin tingginya keinginan masyarakat untuk dapat pergi berhaji, termasuk anak-anak dan wanita. (C.Snouk Hurgronje, Kumpulan…, Jilid IX, h.164)

Setelah bermunculan banyaknya kecurangan yang membabibuta dimana kecurangan-kecurangan tersebut jauh dari control pemerintah pada saat musim haji, yang dilakukan oleh para agen pemberangkatan haji dari kalangan para pribumi, di saat pemerintah belanda kewalahan dalam menampung banyaknya jumlah calon jamaah haji Hindia Belanda yang hendak berangkat ke tanah suci, disaat itu pula pemerintah belanda memutuskan untuk menangani secara langsung transportasi jamaah haji yang hendak ke Mekah, pemerintah Belanda memerintahkan untuk tetap menjaga mutu pelayanan kepada penumpang, hal ini diperintahkan secara langsung kepada Maskapai Nederland, agar para calon jamaah haji terhindar dari berbagai segi kecurangan maupun pemerasan yang kerap kali terjadi, pada saat sebelumnya. (Majid, 2008: 76)

Pada saat Kedatangan C. Snouck Hurgronje ke Indonesia pada tanggal 11 Mei tahun 1889, hal merupakan akhir dari suatu era serta dimulainya era baru di Indonesia. Beliau adalah sebagai arsitek keberhasilan politik Islam yang sangat melegendaris, ia telah berhasil melawan ketakuan pemerintah belanda terhadap Islam dengan nasihat-nasihatnya. Pengaruh nya telah membawa berubhan terbesar terhadap kebijakan haji pada masa pemerintahan Belanda. (LIhat: Jannah, 2016: 73)

Referensi:

Ahmad Faturrahman, Skripsi : “Berhaji Pada Masa Kolonial: Selebes Selatan 1947-1950”, (Parang Ma’lengu: UIN Alauddin Makassar, 2019)

Fadly Rahman, Kliping Humas UNPAD: “Memaknai [Gelar] Haji”, (Sumedang: UNPAD, 2009).

Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial,( Jakarta: CV. Sejahtera, 2008).

Iin Hindasah dan Amung Ahmad SM, Historia Madania, “Transportasi Jamaah Haji Masa Kolonial Abad XIX”,(Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung).

Arsip Nasional RI, Naskah Sumber“ Biro Perjalanan Haji Di Indonesia Masa Kolonial”, (Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation dengan Arsip Nasional RI).

Digilib.uinsby.ac.id Pdf, “Haji Pada Masa Kolonial Belanda di Indonesia”.

Rumila Sari, Tesis, “Kebijakan Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859”, (Palembang : IAIN Raden Fatah, 2014).

Zainal, “Regulasi Haji Indonesia Dalam Tinjauan Sejarah”, Juris. Vol.11 No.2, Desember 2012.

Arsip Nasional RI, TGs tanggal 6 November 1896 No.353 Geh.

C.Snouk Hurgronje, Kumpulan…, Jilid IX, h.164.

Posting Komentar untuk "Sejarah Haji di Indonesia pada Masa Kolonial Belanda"