Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Imajinasi dalam Sejarah

Ilustrasi Imajinasi dalam Sejarah. Foto: Jeremy Beck/ Unsplash.com


Imajinasi dalam SejarahImajinasi-khayalan, daya kreativitas sejarawan untuk menguraikan dan merangkai fakta-fakta sejarah menjadi cerita/tulisan sejarah yang menarik dan diterima kebenarannya. 

Jadi, imajinasi di dalam sejarah diperlukan namun tidak untuk menyusun rekaan atau cerita fiksi. Namun imajinasi digunakan sejarawan untuk merangkai kalimat-kalimat, menarasikan, dan menguraikan agar menarik, sehingga tidak monoton dan bukan hanya sekadar jajaran fakta-fakta. Sehingga ceritanya menjadi utuh, kronologis, hidup, dan dapat membawa pembaca ikut di dalamnya.

Imajinasi selalu terikat fakta sejarah, bukti, bekas, dan menunjuk pada sesuatu yang terjadi, bukan fiksi dan rekaan belaka. 

Maka dari itu, imajinasi yang digunakan oleh sejarawan harus tetap mengacu pada bukti dan sumber sehingga bukan menjadi sebuah karya fiksi.

Sejarah Indonesia yang Bersifat Serba Dua dan Serba Tunggal

Dalam historiografi, terdapat dua pandangan, yaitu serba dua dan serba tunggal. Pandangan di sini memiliki maksud sebagai cara memandang sejarah suatu bangsa. 

Serba dua yaitu pandangan dari sisi luar/asing dan serba tunggal yaitu pandangan dari sisi dalam.

Memandang sejarah suatu bangsa (Indonesia) tidak mudah, hal ini dikarenakan terbentur pada masalah bentuk dan isi. Adanya dua sisi dalam pandangan menjadikannya tidak mudah yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan konflik.

Bentuk yaitu wujud istilah, tersedianya istilah. Istilah di sini haruslah memiliki arti bersifat jelas, merujuk pada satu arti tidak ambigu dan merupakan rumusan yang ditetapkan oleh suatu konsensus.

Contohnya istilah “Sejarah Nasional Indonesia” yang sudah disepakati merupakan sejarah Indonesia dari awal sampai akhir. Sedangkan isi menyangkut ketercakupan secara merata pengertian yang dibawa oleh istilah itu.

Apabila istilah tidak memiliki arti, yang terjadi hanyalah verbalisme (bukan ilmu), dan apabila istilah yang tidak sesuai maka hanya subjektivitas dari penciptanya saja.

Sejarah nasional harus memiliki visi dan bersifat. Visi merupakan pandangan, dengan pengertian pendapat asasi seseorang tentang sesuatu yang mendasarkan pada falsafah hidup manusia/bangsa. Bersifat artinya memiliki sifat asasi atau keunikan yang membedakan dengan yang lain. Sifat yang tunggal, satu-satunya utuh, tidak ambigu atau tidak dualistis.

Serba Dua

Pandangan serba-dua, bersifat luar, negatif, asing atau zenosentris. Maksudnya melihat sejarah Indonesia dari dua kekuasaan yang senantiasa berhadapan. Pandangan negatif karena adanya superioritas kompleks. Masyarakat luar Eropa dianggap belum berbudaya dan rendah, maka harus dibudayakan. Contohnya, Belanda menganggap bangsa Indonesia tidak akan ada tanpa keberadaan mereka.

Pandangan ini menganggap sejarah Indonesia sebagai suatu intervensi asing, seperti zaman Hindu, Islam, Portugis, Belanda, Inggris, Jepang. Sebelum 1942 Geschlenis van Nederland-Indie (Sejarah Hindia Belanda) dan Indisch Geschiedenis (Sejarah Tanah Hindia).

1. J. K. J. de Jong “Opkomst van het Nederlansch Gezag in Oost Indie”

2. M. L. van Deventer “Geschiendenis der Nederlanders op Jawa 1600-1800”

3. J. S. Furnifal “Netherlands India: Study of Plural Economy” (1944)

4. Thomas Stamford Raffles “History of Java”

5. P. J. Veth “Java, Geografisch, etnologisch historisch”

Indische Geschiedenis pada tahun 1942-1945, sejarah berada dalam sensor dan pengawasan ketat dari badan propaganda dan kebutuhan pemerintah militer Jepang, yang mana Belanda, dilukiskan sebagai penjajah.

Serba Tunggal

Setelah Indonesia merdeka dan mendapat kedaulatan, pada tahun 1950 pemerintah mulai membahas mengenai penulisan sejarah Indonesia yang bersifat Indonesiasentris atau serba tunggal. 

Pandangan sejarah Indonesia serba tunggal sebagai respons terhadap pandangan pertama. Sejarah serba tunggal melihat sejarah Indonesia dari sisi positif, regional, dan dalam diri bangsa Indonesia sendiri sejak antropogenesis sampai masa mahapralaya (lenyapnya Indonesia bersama lenyapnya alam semesta).

Pandangan serba tunggal bersifat positif dan regional. Positif mengandung arti menghasilkan riwayat bangsa Indonesia yang berpadu, bulat, dan kontinu. Regional, artinya perlawanan daerah demi daerah yang terpencar-pencar, tetapi yang dilawan sama yaitu Belanda. 

Contohnya perlawanan Banten, Mataram, dan Makassar memiliki masalah yang sama, yaitu VOC. Ini menunjukkan realitas bahwa di sejarah Indonesia pernah ada daerah-daerah di masa lalu yang belum bersatu dan memiliki masalah/peran yang sama. Akan tetapi setelah disatukan akan menghasilkan sejarah Indonesia yang utuh.

Sejarah Nasional (masa revolusi/ setelah revolusi 1945)

Sejarah Indonesia yang berkembang pada masa revolusi dan setelah revolusi bersumber utama pada karangan Dr. F. W. Stafel yang terbit pada tahun 1939, namun sifatnya Nederlandosentris. 

Akan karena alasan tersebut, pada tahun 1950 dibahaslah mengenai penulisan sejarah Indonesia dengan menekankan pada semangat nasionalisme. 

Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan meminta UGM dan UI untuk menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional pada tahun 1957. Dalam seminar tersebut memiliki problem utama yaitu untuk kepentingan nasional tidak lepas dari unsur politik, kaitannya dengan kepribadian bangsa dan tuntutan ilmiah yang bisa jadi bertentangan dengan kepentingan politik 

Tema dari seminar ini yakni: Periodisasi Sejarah Indonesia, Syarat Mengarang Kitab Sejarah Indonesia yang Bercorak Nasional, Pelajaran Sejarah Nasional di Sekolah, Pendidikan Ahli Sejarah, Pemeliharaan dan Penggunaan Bahan-bahan Sejarah. Kemudian menghasilkan disertasi Sutjipto Wiryosuprapto “Naskah Jawa Kuno” di tahun 1960.


Posting Komentar untuk "Imajinasi dalam Sejarah"