Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pulau Natal, Sebuah Surga Fosfat di Tengah Samudra Hindia



Oleh: Nogo Gading Sasongko

Pulau Natal merupakan sebuah pulau yang terletak Samudera Hindia (10°25’S dan 105°40’E) yang secara resmi termasuk wilayah dari Australia. Pulau Natal secara geografis lebih dekat dengan wilayah Indonesia dibandingkan dengan wilayah Australia sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan jarak Pulau Natal ke selatan Pulau Jawa sekitar 360 kilometer. Berbanding jauh apabila dibandingkan dengan jarak pesisir barat Australia yaitu 2.600 kilometer. Sedangkan jarak dengan Kepulauan Cocos (Keeling) sekitar 950 kilometer. (Douglas, 2001: 31)

Selain memiliki jarak yang lebih dekat dengan Indonesia, Pulau Natal juga memiliki kondisi iklim yang serupa dengan Indonesia. Iklim di pulau tersebut adalah tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan kemarau. Pulau ini memiliki luas sekitar 135 km² yang 85 km² di antaranya digunakan sebagai taman nasional sejak 1980. Salah satu dari daya tarik yang terkenal ialah Kepiting Merah Pulau Natal. Jutaan Kepiting Merah akan bermigrasi ketika musim hujan tiba, membuat pulau menjadi berwarna merah.

Sejarah Perkembangan Awal Pulau Natal

Pada tahun 1643 bertepatan dengan perayaan Hari Natal, Kapten William Mynors yang tengah berlayar menggunakan HMS Royal Mary melintasi pulau ini. Kapten William kemudian menamai pulau ini Christmas Island atau Pulau Natal. Kemudian pada 1688 seorang penjelajah bernama William Dampier yang turut dalam perjalanan Kapal Inggris Cygnet, mencatat beberapa awak kapal membawa kepiting besar ke dalam kapal untuk dimakan. Eksplorasi pulau ini kemudian baru bermula pada abad ke-19, oleh para pelaut Inggris. (Douglas, 2001: 33)

HMS Flying Fish berlabuh di Pulau Natal pada 1886 di bawah pimpinan Kapten John Maclear. Kapten John Maclear kemudian memberikan nama tempat berlabuhnya Flying Fish Cove. Dilanjutkan oleh HMS Egeria pada 1887 yang dipimpin Kapten Pelham Aldrich dengan naturalis J .J. Lister. Pada ekspedisi ini, rombongan juga turut mengeksplorasi kekayaan flora dan fauna yang terdapat di Pulau Natal. Tidak lama berselang pada 1888 Pulau Natal secara resmi dideklarasikan sebagai bagian dari Imperium Britania Raya.

Kerajaan Inggris kemudian menyewakan pulau itu kepada John Murray, seorang naturalis dan George Clunies Ross, pemilik Kepulauan Cocos (Keeling). Keduanya kemudian mendirikan Perusahaan Fosfat Pulau Natal pada 1890. Untuk memenuhi kebutuhan pekerja, didatangkan tenaga dari Kepulauan Cocos. Para tenaga yang dikirimkan beretnis Melayu, Sikh, dan Cina. Seiring dengan semakin banyaknya pembukaan tambang Fosfat, maka terbentuklah suatu komunitas sosial di antara pekerja.

Pemukiman penambang yang sebelumnya terpisah di penjuru pulau kemudian bergabung di wilayah Flying Fish Cove atau dikenal sebagai Dog’s Head. Wilayah ini dipilih setelah jumlah populasi terus meningkat. Seiring dengan hal tersebut, kebutuhan akan air bersih dan wilayah hunian. Namun pada awalnya para pekerja tambang Fosfat hidup dalam kondisi tidak layak. Bahkan dalam lima tahun pertama, sebanyak 500 pekerja Cina tewas akibat kekurangan vitamin dampak pola makan.

Perang Dunia II

Dalam kondisi gawat darurat akibat Perang Dunia II, masyarakat di Pulau Natal juga merasakan hal yang sama. Kandungan Fosfat yang melimpah serta posisi pulau yang berada di tengah Samudera Hindia membuat Pulau Natal menggiurkan. Kapal Selam Jepang menenggelamkan sebuah kapal Norwegia dengan torpedo pada Januari 1942. Setelah peristiwa tersebut, sebanyak 50 keluarga dievakuasi ke Perth. Tidak lama berselang, pada 31 Maret 1942 sebanyak 850 tentara Jepang menduduki Pulau Natal.

Setelah berhasil menguasai pulau tersebut, Jepang segera berusaha mengeksplorasi Fosfat untuk kebutuhan perang. Namun hal ini terkendala oleh pengeboman yang dilakukan oleh Sekutu. Stok pangan yang menipis membuat Jepang mengirimkan 2/3 penduduk Pulau Natal ke kamp tahanan di Jawa. Seiring dengan berbaliknya kemenangan Sekutu, pada Agustus 1945 pasukan Jepang yang tersisa menyerah. Secara resmi Inggris menduduki kembali pulau tersebut pada Oktober 1945.

Perubahan Kepemilikan

Pasca Perang Dunia II selesai, Pemerintah Australia pada 1949 melakukan pembelian atas Perusahaan Fosfat Pulau Natal. Tetapi secara Administratif Inggris justru menggabungkan Pulau Natal dengan Singapura. Ketika banyak koloni Inggris mulai menyatakan kemerdekaannya, Australia menyatakan minatnya akan Pulau Natal. Singapura kemudian menerima ganti rugi kandungan Fosfat dari Australia sebesar £2.800.000. Pemindahan kekuasaan secara resmi dilaksanakan pada 1 Oktober 1958.

Pasca pemindahan kekuasaan tersebut, seluruh aktivitas baik pertambangan maupun administrasi berada di bawah wewenang Pemerintah Australia. Australia kemudian melanjutkan aktivitas pertambangan Fosfat di Pulau Natal. Kehidupan pulau yang bergantung pada tambang kemudian mulai berusaha untuk dikurangi demi ekosistem. Hal ini terutama untuk melindungi beberapa hewan seperti. Kepiting Merah dan Burung Laut, karena kedua hewan ini rentan terkontaminasi Fosfat.

Wacana tentang pembentukan taman nasional bergulir sejak 1970 dan baru terlaksana pada 1980, yang terletak di bagian barat daya pulau. Wilayah taman nasional terus bertambah hingga saat ini hampir menduduki dari 64% pulau. Akibat dari hal ini orientasi ekonomi masyarakat juga berubah, dari yang sebelumnya pertambangan menjadi pariwisata. Selain menawarkan keindahan alam yang ada, pulau ini sempat menjadi surga bagi para pecinta Kasino. Kasino Pulau Natal amat terkenal pada tahun 1990-an.

Kisah kejayaan kasino di Pulau Natal bermula ketika Indonesia memutuskan untuk menutup tempat perjudian yang berizin. Keputusan ini diakibatkan perjudian tidak pantas dengan citra masyarakat Indonesia. Melihat hal ini Frank Woodmore, pengusaha properti asal Perth melihat peluang. Berdirilah kasino di Pulau Natal pada tahun 1993 yang langsung diserbu para pengusaha dan pejabat Indonesia. Uniknya pemerintah orde baru secara tersembunyi turut mendukung kasino di Pulau Natal.

Namun kejayaan pulau ini berakhir setelah badai moneter menghantam Asia dan kasino ditutup pada 1998. Kelanjutan perekonomian Pulau Natal yang sempat bergantung pada kasino kemudian beralih menjadi pariwisata. Sementara itu tambang Fosfat diperkirakan hanya mampu bertahan hingga 20 tahun ke depan. Masyarakat juga menolak eksplorasi lanjutan akibat rusaknya ekosistem pulau tersebut. Sehingga pariwisata menjadi tumpuan hidup masyarakat Pulau Natal.

Posting Komentar untuk "Pulau Natal, Sebuah Surga Fosfat di Tengah Samudra Hindia"