Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kyai Sadrach: Sebuah Kisah Pengembaraan Mencari Kebenaran

 


Oleh: Almas Hammam Firdaus

“Orang Jawa agaknya begitu mencintai budaya mereka (Kejawen) karena itu bisa dikatakan nyaris semua agama yang datang ke Jawa mengalami sinkretisme”

Prof. M. C. Ricklefs

Di Jawa tampaknya agama tak pernah hadir sebagai sebuah ganjalan untuk tetap mempertahankan kebudayaannya bahkan nyaris semua agama yang disebarkan di Jawa pada akhirnya mengalami sinkretisme, termasuk agama Kristen. Nah, pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai seorang tokoh yang luar biasa dan cukup memiliki pengaruh pada masa lalu bahkan hingga kini. Tokoh tersebut ialah Kyai Sadrach. Mungkin teman-teman akan bertanya siapakah Kyai Sadrach ini? Seistimewa apakah tokoh ini sehingga pada masa lalu beliau begitu cukup berpengaruh?

Kyai Sadrach lahir dari keluarga petani sederhana di Jepara (sumber lain mengatakan di Demak) pada tahun 1835. Nama mudanya adalah Radin. Sejak sedari muda, Radin ini memang sudah sering berkelana mencari pengalaman hidup sekaligus mengurangi beban keluarganya yang tidak mampu. Dalam pengembaraannya nantilah juga Radin pada akhirnya diadopsi oleh keluarga Islam Jawa yang cukup berada (Silas Sariman. Strategi Misi Sadrach: Suatu Kajian yang Bersifat Sosio-Historis. Jurnal Abdie. 2019).

Oleh keluarga tersebut, Radin pun kemudian disekolahkan ke sekolah lembaga pendidikan umum pada waktu itu yang juga mengajarkan pendalaman agama Islam. Setelah itu, Radin juga sempat belajar ilmu kebudayaan Jawa kepada Sis Kanoman atau Pak Kurmen di Semarang.

Saat usianya menginjak 17 tahun, berawal dari keinginan besarnya untuk mempelajari agama Islam lebih dalam yang pada akhirnya mengantarkan dia untuk belajar di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Sebagai bukti bahwa ia telah belajar Islam dengan sungguh-sungguh akhirnya ia memberi tambahan nama Abas di belakang namanya menjadi Radin Abas. Tak puas hanya belajar di satu pesantren, akhirnya Radin Abas memutuskan untuk memperdalam ilmu dan ajaran Islam lagi di Pondok Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur (Sumanto. Kyai Sadrach: Seorang Pencari Kebenaran. 1974).

Suatu hari, Radin Abas pergi ke sebuah desa bernama Mojowarno. Di desa ini, ia bertemu dengan Jellesma, seorang Misionaris Belanda. Inilah untuk pertama kalinya Radin Abas bersinggungan dengan ajaran Kristen (Sumanto. Kyai Sadrach: Seorang Pencari Kebenaran. 1974).

Jellesma inilah yang telah mengkristenkan seorang petani asal Jepara yang bernama Ngabdullah yang dikemudian hari dikenal dengan julukan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, sang penyebar ajaran Kristen di lereng Gunung Kelud, Kediri, Jawa Timur yang kelak juga akan menjadi guru bagi Radin Abas.

Setelah cukup lama mengembara mencari jati diri, termasuk nyantri di berbagai pesantren dan mengalami banyak pengalaman batin, Radin Abas akhirnya bermukim di Semarang. Ia tinggal di Kauman yang lekat sebagai daerah komunitas muslim di Semarang.

Di Semarang, Radin Abas bertemu dengan seorang yang bernama W. Hoezoo yang mana merupakan seorang Misionaris yang dikirim ke Jawa pada tahun 1849 oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) atau Serikat Misionaris Belanda (Soetarman Soedirman Partonadi. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya. 2001). Pertemuan dengan W. Hoezoo ini agaknya membuat seorang Radin Abas tertarik dan akhirnya memutuskan untuk ikut kelas Katekisasi.

Selain bertemu dengan W. Hoezoo, di Semarang Radin Abas juga bertemu dengan gurunya dulu yang mengajari kebudayaan Jawa yakni Sis Kanoman atau Pak Kurmen yang ternyata sudah masuk Kristen. Oleh Pak Kurmen, Radin Abas kemudian diperkenalkan dengan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Pertemuan dengan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung membuat Radin Abas benar-benar terkesan dan ingin berguru lebih jauh kepada Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Radin Abas agaknya tertarik pada ajaran Kristen ala Jawa yang mana tetap berkeyakinan Kristen tanpa harus meninggalkan adat dan budaya Jawa.

Setelah mantap ingin memeluk Kristen, maka pada tahun 1866 dengan ditemani Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, Radin Abas pun pergi ke Batavia untuk menemui F.L. Anthing yang mana merupakan seorang Misionaris pertama di Jawa Barat yang kemudian pindah ke Batavia. Dan pada akhirnya pada 14 April 1867 Radin Abas dibaptis oleh Mattheus Taffer yang merupakan seorang pendeta De Protestantsche Kerk in Nederlandche Indie/Indische Kerk (sekarang Gereja Protestan Indonesia) dan menerima nama baptis Sadrach. Nama baptis Sadrach yang disematkan mengacu pada Sadrakh dalam Kitab Daniel yang mana merupakan penentang penindasan Raja Nebukadnezar dari Babilonia. Semangat ini tampaknya sejalan dengan Radin yang menentang penghilangan identitas kejawaannya, dibanding menjadi Kristen dengan budaya religiositas ala Eropa yang dibawa Belanda.

Pasca dibaptis dan sudah resmi masuk Kristen, Radin Abas pun mengubah namanya menjadi Sadrach Radin, Sejak saat itu ia pun akhirnya pergi keliling Jawa untuk mensyiarkan ajaran agama Kristen. Cara Sadrach Radin dalam mensyiarkan agama Kristen pun berbeda dengan para penginjil Eropa lain. Sadrach Radin menyebarkan ajaran Kristen dengan cara mendekati para penduduk dengan budaya Jawa bukan tafsir kitab yang ortodoks yang melarang ini dan itu. Selain itu ia pun juga sering melakukan tanding debat di depan umum. Jika Sadrach Radin kalah maka ia akan kembali ke ajaran sebelumnya, namun sebaliknya jika ia menang maka ia menuntut lawannya untuk tunduk kepadanya dan memeluk agama Kristen. Pendekatan perdebatannya pun menggunakan ilmu-ilmu kebudayaan Jawa, ilmu-ilmu yang dipelajarinya di pesantren dan juga ilmu ajaran agama Kristen. Sinkretisme inilah yang menjadi kunci sukses daripada Sadrach Radin. Ia membuat banyak orang mengikuti ajarannya. Sadrach Radin berhasil meyakinkan orang-orang bahwa menjadi seorang Kristen tidak perlu meninggalkan kejawaannya. Orang tak perlu khawatir bahwa kekristenan akan berkontradiksi dengan tradisinya.

Ketenaran Sadrach mendorong berdirinya komunitas Kristen Sadrach di Karangyoso, sekitar 25 km dari Purworejo. Lembaga keagamaan dikelola seperti sebuah pesantren. Ia kemudian mendapat nama belakang baru, Surapranata. Nama ini sekali lagi mengandung aroma mesianik. Oleh pengikutnya, Kyai Sadrach Surapranata dianggap semacam juru selamat yang dirindukan. Hal inilah yang justru menjadi titik konflik Sadrach dengan para zending Belanda maupun dengan pemerintah kolonial. Beberapa zending di Jawa maupun yang berpusat di Belanda, misalnya Lion Cachet, rajin menulis laporan bahwa Sadrach dan orang-orang Kristen yang dipimpinnya belum hidup menurut ajaran Kristen yang benar atau istilah lainnya bidah. Mereka melihat ajaran Kyai Sadrach ini sesat karena menggabungkan ilmu-ilmu Kejawen dan kepercayaan lokal lainnya dengan kekristenan. Belum lagi pemerintah kolonial mencurigai adanya bau-bau pemberontakan dalam kiprah Kyai Sadrach.

Dalam Kyai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa, C. Guillot menyebutkan bahwasanya gerakan penyebaran keagamaan Kristen di masa kolonial Belanda memang tampak kurang bergairah. Belanda khawatir akan muncul rasa dan kedudukan yang sama antara penduduk lokal dengan para pendatang dari Eropa jika mereka menyebarkan agama Kristen. Kontras jika dibandingkan dengan bangsa kolonial lain macam Spanyol dan Portugal yang meninggalkan jejak Katolik di tiap jengkal tanah jajahannya. Juga soal metode dakwah. Belanda bukannya tak punya penginjil. Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) adalah serikat misionaris Belanda yang mulai masuk ke Indonesia semasa pemerintahan Inggris pada 1814. Tokoh penginjil awal adalah Joseph Kam yang memulai dakwahnya di kepulauan Maluku, juga termasuk Sumatera dan Jawa. Pada kenyataannya, Sadrach tidak lagi dianggap dalam NZG. Ia tak kunjung diangkat menjadi pendeta untuk bisa memimpin sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus bagi jemaatnya sendiri. Maka, sejak 1893, Sadrach memutuskan tidak lagi berhubungan dengan Belanda dan orang Eropa lainnya. Meskipun begitu, sebagian besar pengikutnya masih setia kepada Sadrach. Para pengikut Sadrach, yang disebut orang Kristen Jawa, punya hubungan rumit dengan sesama rakyat maupun dengan orang Eropa. Mereka kerap dicemooh dengan ungkapan londo wurung Jawa tanggung (belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung sebagai orang Jawa) atau wong Jawa ilang Jawane (orang Jawa yang kehilangan kejawaannya). Lambat laun, cap Kristen sebagai agama Belanda terkikis meski tidak sepenuhnya hilang. Hubungan antara umat Islam dan Kristen pun cenderung lebih baik dan perbedaan tak lagi terlihat jomplang. Mereka sama-sama orang Jawa, orang desa. Sadrach, dalam hal ini, lebih paham pendekatan yang lebih mengena di hati masyarakat dibanding para zending dari Belanda.             

Sadrach, menurut Hoekama dan Sutarman dalam buku Jan S. Aritonang, menjadikan Injil sebagai norma hidup. Baginya, norma itu mirip dengan pitutur (nasihat, arah) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat umat Islam. Para pengikutnya menilai Sadrach pandai menemukan kata-kata yang menyentuh perasaan orang Jawa. Itulah kenapa Sadrach juga menyandang gelar kyai, sebagaimana banyak guru kebatinan atau ulama agama Islam di Jawa. Bagi masyarakat Jawa, seorang kyai adalah orang yang memiliki kedudukan karena apa yang dia katakan akan didengar oleh banyak orang dan tentunya punya banyak pengikut. Seorang kyai juga tidak ditahbiskan oleh badan atau lembaga tertentu layaknya para pendeta atau pastor. Sadrach semakin berpengaruh, dan kejengkelan para zending-zending Belanda terus terpupuk, sampai akhirnya mereka mendesak pemerintah kolonial Belanda untuk menangkap sang kyai. Tahun 1882, mereka berhasil mendakwa Kyai Sadrach sebagai penghalang program vaksinasi cacar yang sedang digalakkan pemerintah.

Sadrach kemudian ditahan di penjara Kutoarjo selama 21 hari sampai kemudian dibebaskan karena bukti-bukti yang meragukan. Belum lagi terdapat laporan bahwa kebaktian-kebaktian di Karangyoso dilarang dan dihalang-halangi oleh polisi. Ini menggambarkan bahwa para rohaniwan Belanda bisa menggunakan tangan besi pemerintahan Hindia Belanda untuk membungkam Sadrach. Namun, ada satu orang Belanda yang mengerti alam pikiran dan dunia masyarakat Jawa, yaitu J. Wilhelm. Peristiwa penangkapan Kyai Sadrach dianggapnya sebagai kesalahan besar. Buku Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya karya Sutarman Soediman Partonadi menyebut Karangyoso, kediaman Kyai Sadrach, kemudian jadi tempat berkumpulnya orang-orang Kristen dari berbagai daerah. Jamaahnya melesat hanya dalam waktu tiga tahun (1870-1873) hingga mencapai hampir 2.500 orang. Selama masa itu pula, lima gereja didirikan di Karangyoso, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan Karangjambu.

Perkembangan jamaah Sadrach hanya mampu bertahan di kisaran tahun 1939. Masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan pendirian Gereja Kristen Jawa memupus habis gereja ala Sadrach. Gejala ini sudah terasa saat Kyai Sadrach meninggal dunia pada 14 November 1924 di usia 89 tahun. Waktu itu jamaah pengikutnya sudah mencapai 20 ribuan. Yotham, anak angkatnya, meneruskan dakwah Kyai Sadrach. Tapi ia tak mampu mengimbangi kharisma bapaknya dalam memimpin jamaah. Kini, masih ada beberapa desa sederhana yang menjadi tempat tinggal komunitas Kristen ala Sadrach di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kendati secara resmi mereka mengikuti jalan Kristus, akan tetapi kehidupan keseharian mereka tidak berbeda jauh dengan masyarakat desa pada umumnya. Nilai-nilai Jawa masih menjadi bagian inheren dari sistem berpikir dan cara mereka hidup.

Sadrach kadang dirujuk sebagai bukti sahih dari bahaya Kristenisasi. Bagaimana kolonialisme Belanda dicurigai bukan hanya menghisap kekayaan Nusantara, namun juga menggerogoti harmoni masyarakat melalui misi zending-kristenisasi. Pilihan Sadrach yang tetap memakai predikat kyai dianggap sebagai taktik untuk mengelabui masyarakat desa yang polos.

Namun, posisi Sadrach sendiri ambigu. Ia tentu murtad jika dilihat dari sisi Islam. Tapi ia pun tak pernah diterima sepenuhnya oleh misi zending yang dipimpin para pendeta Eropa. Sampai-sampai, seperti sudah disinggung sebelumnya, ia bahkan ditangkap Belanda. Ajaran Sadrach dianggap tidak sepenuhnya “murni”, bahkan ada yang menganggap masih mengadopsi nilai-nilai mistik Jawa yang dimuati spiritualitas Islam. Di mana-mana, tendensi “pemurnian” memang selalu memakan korban. Tapi jika dimaknai lebih dalam, meminjam istilah Abdurrahman Wahid dari tahun 1980-an, dakwah yang dilakukan Sadrach bisa dikatakan sebagai “pribumisasi Kristen”. Di situlah arti penting Kiai Sadrach.

Peninggalan Kyai Sadrach yang hingga kini masih dapat dijumpai adalah Gereja Kristen Jawa yang dibangun pada tahun 1870 di Desa Karangyoso, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo yang bentuknya sangat unik karena lebih mirip masjid dibandingkan dengan gereja. Gereja ini dikenal dengan Masjid Agung Gumantung Tanpa Canthelan (masjid agung yang bergantung tanpa kaitan yang mana di sini merujuk kepada tidak bergantung dari organisasi mana pun dalam pembiayaannya). Selain namanya yang unik, bentuk arsitekturnya pun juga sangat unik yang mana mengadopsi dari bentuk gaya masjid desa kuno. Gereja ini mempunyai tiga tingkat dan lebih uniknya lagi terdapat pada atapnya yang mana bila gereja biasanya terdapat salib, namun gereja ini di atapnya justru terdapat Panah Pasopati dan Cakra (Soetarman. 2001:153).

Menurut Bapak Purwanto Nugroho yang merupakan salah seorang ahli waris dan kerabat Kyai Sadrach menjelaskan bahwasanya bangunan gereja tersebut memiliki filosofi bangunan Joglo Jawa dengan atap susun tiga yang melambangkan Sang Bapa, Sang Putra, Sang Roh Kudus sebagai Tri Tunggal Yang Esa. Bangunan berbentuk bujur sangkar seperti bangunan masjid dengan ukuran lebar 12 m, panjang 12 m melambangkan jumlah murid Yesus Kristus sebanyak 12 orang. Di pucuk atap ada dua senjata yang dipadukan menjadi berbentuk salib yang punya filosofi sumber cinta kasih adalah Yesus yang merupakan cinta kasih yang harus disebarkan ke segala penjuru. Salib itu berupa perpaduan antara senjata dewa yaitu Panah Pasopati dan Cakra. Salib Kristus melebur dosa seperti dua pusaka bersatu.

Demikian sekelumit kisah Kyai Sadrach dan lika-liku hidup yang harus dijalaninya. Meskipun hidupnya penuh dengan banyak kontroversi, tapi satu hal yang kita bisa belajar dari beliau bahwasanya meskipun beliau menganut agama Kristen yang notabenenya adalah agama yang dibawa oleh bangsa Eropa (Belanda) yang mana merupakan bangsa yang telah menjajah bangsanya (Jawa) akan tetapi beliau tidak serta merta membela apa yang dilakukan Belanda terhadap negerinya (Jawa). Beliau tetap menegaskan kemanusiaannya sebagai orang yang terlahir di Jawa sehingga beliau memberontak dengan aturan Belanda yang menyengsarakan negerinya.


Posting Komentar untuk "Kyai Sadrach: Sebuah Kisah Pengembaraan Mencari Kebenaran"