Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kehidupan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Politik Kerajaan Aceh

Dalam suatu masa keberlangsungan pemerintahan suatu kerajaan, tentu ada yang namanya masa emas. Dalam hal ini, kerajaan Aceh mempunyai masa emas pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 ).  Beliau menduduki tahta Aceh setelah beliau menurunkan paksa sultan sebelumnya yaitu Sultan Ali  Riayat Syah untuk turun dari tahta kepemimpinan karena menuai banyak kecaman dan kekacauan  di  kesultanan   tahun  1604-1607  M.

Kejayaan Kerajaan Aceh bisa dikatakan dimuali dengan sebuah pondasi yang kuat, sultan pertama mereka yaitu Sultan Ali Mughayat Syah dengan membangun pusat armada perang dan membangun armada laut yang kuat.

Hal ini pun diteruskan oleh para penerusnya diantaranya Sultan Alaidin Riayat Syah Al-Kahar yang dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda terus berupaya memperkuat armada dan angkatan perangnya untuk melindungi wilayah kerajaan Aceh dan perdagangannya sekaligus memerangi bangsa manapun yang ingin menguasai Aceh.

Hal tersebut dilakukan agar mereka mampu bertahan ditengah persaingan perdagangan internasional.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh

Banda  Aceh  sebagai  bandar  niaga  tidak  terlalu  ideal  untuk  pelabuhan kapal-kapal besar abad XVI. Pelabuhan sukar dirapati kapal-kapal besar karena ombak  besar  Samudera  Hindia. 

Namun,  Banda  Aceh  mulai  ramai  didatangi oleh para pedagang muslim setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Selain itu banyak  pedagang  asing  selain  Portugis  yang  meramaikan  pelabuhan  Banda Aceh sehingga Kesultanan Aceh mendapat banyak keuntungan.

Salah satu kebijakan yang dibuat oleh Sultan Iskandar Muda yang berkaitan dengan bidang ekonomi adalah dengan pembentukan balai furadh yang bertugas mengawasi dan mengelola keuangan kerajaan. Pendapatan ekonomi yang diperoleh umumnya berasal dari hasil bumi dan laut. Aceh harus mempunyai kekuasaan dan pemusatan pelabuhan di Aceh saja.

Daerah-daerah sekitar  Aceh  yang  cenderung  menurun  kembali  diperkuat, pemasukan  uang dan urusan bea cukai dijalankan dengan teliti. Kebijakan  terhadap  mata  uang  adalah  keputusan  pemerintahan  untuk menggunakan mata uang yang ditempa di Aceh dan menghapuskan mata uang asing   terutama   uang real dari Spanyol.

Sultan   Iskandar   Muda   pun mengedarkan  uang  emas  baru  yang  kadar  emasnya  kurang  baik.  Akan  tetapi kebijakan mata uang tetap dilaksanakan meski sempat menuai  polemik, rakyat mencurigai bahwa mata uang baru tidak sekuat mata uang lama.

Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Aceh

Terkait  dengan  karakteristik  orang  Aceh,  Irwan  Abdullah  seorang antropolog   kelahiran   Aceh   Utara   mengatakan   bahwa   melihat   posisi geografis  dan  historis  pada  masa  kesultanan  Iskandar  Muda   (1607-1675 M)  melakukan   ekspansi   ke   wilayah   Barat   Sumatera,   maka   Aceh merupakan  daerah  modal  yang  penting  dalam  konstelasi  sosial  ekonomi dan  politik  nasional. 

Berdasarkan  kondisi  semacam  ini  dapat  disebutkan paling tidak, beberapa karakteristik orang Aceh. Pertama, agama dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan, budaya Aceh terbentuk oleh adanya suatu ikatan keagamaan yangmana hal ini menjadikan mereka mempunyai ciri khas kebudayaan, di antranya adalah yaitu; Adat  bak  Poe  Teumeureuhom, Hukom  bak  Syiah  Kuala,  Qanun  bak  Putroe  Phang,  Reusam  bak  Lakseumana. Hal ini dapat diartikan, poteumeurehom (kekuasaan eksekutif-sultan), Syiah Kuala (yudikatif-ulama). Putroe Phang (legislatif), Laksamana (pertahanan-tentara). Juga Hukom ngon Adat lagee zat ngon sipheut” (hukum agama dan adat bagai zat dan sifat, tak dapat dipisahkan). 

Sisi  kehidupan  sosial  budaya  Aceh  dibangun  atas  dasar  agama  dan adat  ini  yang  membentuk  suatu  sumber  dalam  penataan sosial  yang berlangsung  di  Aceh. Peran ulama dalam perkembangan kebudayaan dan agama adalah sebagai pilar dan pelaksana dalam perkembangannya. Mereka memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan budaya di Aceh.

Masyarakat aceh dikenal dengan semangat juang dan keberanian yang tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya sebuah maklumat dalam perang Aceh sejak  maklumat  perang disampaikan  Belanda  pada  26  Maret  1873, yang dibuktikan dengan adanya pahlawan – pahlawan nasional pada masa ini yang mampu mengukir sejarah dan beliau berasal dari Aceh.

Contohnya adalah Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Kepemimpinan dan keberanian yang arif lagi bijaksana adalah landsan bagi masyarakat aceh dalam melaksakan kehidupan.

Orang  Aceh  juga  memiliki  keyakinan  dan  kepercayaan  diri yang  tinggi  disebabkan  oleh  adanya  kebanggaan  sebagai  orang  Aceh. Kebanggaan  ini  tentu  saja  bersumber  dari  sejarah  dan  hikayat  yang  terus menerus   dikomunikasikan   dari   generasi   ke   generasi.  

Cerita semangat perjuangan dan semangat pengorbanan para pasukan Aceh pada zaman dahulu turut mempengaruhi kehidupan para masyaraktnya, seprti penceritaan kembali kisah heroik Malahayati atau yang lainnya. Keempat, masyarakat Aceh suka berkumpul untuk melaksanakan sebuah acara besar. Dalam pelaksanaanya, kegiatan ini digunakan juga sebagai media persebaran nilai – nilai keisalaman yang mana menumbuhkan ciri khas budaya Aceh, seperti kolektivitas, semangat, dan sebagainya.  

Secara  stratifikasi  sosial,  masyarakat  Aceh  pada  masa  lalu  dapat dibagi ke dalam empat kategori: 1) raja atau sultan; 2) uleebalang; 3) ulama; dan 4) rakyat biasa.

Raja dan keturunannya mempunyai keistimewaan dimata masyarakat Aceh, mereka mempunyai hal khusus  seperti  sebutan  atau  panggilan. Panggilan yang lazim kepada keturunan raja dalam kehidupan sehari-hari disebut ampon bila laki-laki, dan cut nyak (cut) bila perempuan.

Selain itu, ada juga yang bergelar Tuanku. Islam dan Aceh adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, mereka merupakan suatu hal yang selalu berdampingan dan berjalan selaras. Sehingga way of life atau keutamaan hidup orang Aceh adalah sebuah agama yaitu islam. 

Misalnya, dalam sistem pemerintahan yang paling rendah dalam keberjalanannya yaitu sebuah desa dipimpin oleh seorang geuchik (kepala desa), yang mana dia bekerja sama dengan pemimpin meunasah ( masjid atau tempat belajar Al – Qur’an ) untuk menjalankan pemerintahan suatu desa.

Menurut  Darwis  A.  Sulaiman  bahwa  budaya  Melayu-Aceh adalah budaya dari Melayu yang tercampur dengan budaya Aceh, sehingga menghasilkan satu budaya yang kokoh, baik dan sistematis. Aspek dalam budaya ini adalah individual, emosional, sosial dan agama. maka dalam  budaya Melayu-Aceh terkandung ciri-ciri seperti religius, rasionalitas, demokratis, kebersamaan,  dan  keterbukaan.  Ciri-ciri  tersebut  jelas  terlihat  dalam  seni tari tradisional Aceh, yaitu:

  • Bernafaskan  Islam;  terlihat dalam perkembangannya, yaitu banyaknya seni – seni islami yang berkembang dan menjadikan nilai islam sebagai fondasinya.
  • .Bersifat   kerakyatan   (demokratis);  artinya, kehidupan rakat Aceh berpusat pada pergerakan rakyat, bukan kerajaan .
  • Bersifat  kolektif  (mementingkan  kebersamaan);  tarian atau kesenian selalu dibawakan dengan kolektif. (Astuti, 2017: 40)

Perekonomian masyarakat Aceh pada saat itu adalah perdagangan, posisinya yang berada dekat dengan selat malaka yang merupakan jalur perdagangan.

Dengan berbagai komoditas yang diperdagangkan antara lain beras, lada (Minangkabau), rempah – rempah (Maluku) dan barang – barang yang di import ke Indonesia di kala itu antara lain kain dari Koromendal (India), Jepang dan China, Minyak Wangi dari Eropa dan Timur Tengah. Dan perlu diketahui juga bahwa kapal – kapal Aceh juga termasuk kapal yang aktif di dalam perdagangan dan pelayaran sampai ke Laut Merah.

Bagian menariknya, Aceh sudah mempunyai sistem mata uang sendiri dan tidak mengikuti mata uang internasional saat itu. Mereka mengadaptasi uangv mereka dari dirham yang dibawah oleh para pedagang arab. Kegiatan ini dilakukan pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar (1537-1571 ). Mata uang ini selalu berada di kstabilan mata uang dan tidak pernah mengalami keterpurukan .

Posting Komentar untuk "Kehidupan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Politik Kerajaan Aceh"