Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kebijakan Sanering Mata Uang: Latar Belakang, Pelaksanaan, dan Dampak



Sejarahkita.com, Kebijakan Sanering Mata Uang: Latar Belakang, Pelaksanaan, dan Dampak - Setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dan terpilihnya Soekarno sebagai presiden di Indonesia mengakibatkan terciptanya kebijakan-kebijakan yang dilakukan sebagai upaya untuk memajukan perkembangan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam keberjalanannya, ternyata sistem pemerintahan di Indonesia sempat mengalami berbagai perubahan mulai dari sistem demokrasi liberal, sistem demokrasi terpimpin, sistem demokrasi ekonomi, dan sistem demokrasi Pancasila.

Perubahan sistem pemerintahan tersebut ternyata juga berdampak pada berubahnya sistem perekonomian dalam negara.

Pada tahun 1959-1966 Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno. Hal ini mengakibatkan roda perekonomian juga mengikuti cara kerja dari sistem ini menjadi sistem ekonomi terpimpin.

Dalam sistem ini, seluruh kegiatan perekonomian masyarakat diatur dan dikuasai oleh negara.  Dalam pelaksanaan sistem ekonomi terpimpin terdapat beberapa kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk mengatasi masalah perekonomian negara pada saat itu yang mulai kacau akibat inflassi yang semakin tinggi, salah satunya ialah Kebijakan Sanering atau sering disebut sebagai Kebijakan Gunting Syarifuddin.

Kebijakan Sanering merupakan pemotongan nilai mata uang dan nilai tukarnya tanpa mengubah harga barang di pasaran.

Kebijakan Sanering diambil oleh pemerintah sebagai salah satu upaya untuk mengatasi laju inflasi yang semakin meningkat. Kebijakan Sanering ini diberlakukan dengan keluarnya Perpu No. 2 dan 3 Tahun 1959.

Pelaksanaan kebijakan ini memberikan dampak bagi semua elemen masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah dimana kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup akibat harga barang yang malah semakin tinggi dengan daya beli masyarakat yang rendah. Hal ini juga berdampak pada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.

Kenyataan di lapangan tidak menunjukkan perubahan yang berarti terhadap permasalahan utama ekonomi Indonesia, yaitu inflasi. Hingga tahun 1965, inflasi terus mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan terjadinya hyperinflation.

 Latar Belakang Kebijakan Sanering

Terbitnya Dekrit Presiden tahun 1959 ternyata juga membawa dampak bagi perekonomian. Bank Indonesia sebagai bank sentral pada masa itu mengalami beberapa dampak dari Dekrit Presiden, antara lain :

  • Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif.
  • Kebijakan devaluasi rupiah.
  • Kebijakan sanering.
  • Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.

Banyaknya mata uang yang berlaku di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, terdapat tiga jenis mata uang, yaitu uang Jepang, uang Belanda, dan mata uang De Javasche Bank. Pada tanggal 1 Oktober 1945 ketiga mata uang tersebut ditetapkan dan diberlakukan sebagai mata uang sah pada waktu itu

Secara garis besar, sanering dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sanering pertama yang dikenal dengan peristiwa “ gunting Syarifudin “, di mana uang kertas betul-betul digunting menjadi dua bagian.

Satu bagian dipakai sebagai alat pembayar sah dengan nilai semula. Sedangkan satu bagian yang lain, dan deposito di bank ditukar dengan obligasi negara yang akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% per tahun. Sederhananya, satu lembar uang mempunyai dua funsgi yang berbeda.

Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU/I tanggal 19 Maret 1950, dikutip dari buku Uang Republik Indonesia (2003) yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia, kebijakan Gunting Syafruddin bersiap untuk segera diberlakukan.

Kebijakan ini resmi diterapkan sejak tanggal 10 Maret 1950 mulai pukul 20.00 WIB atau tepat hari ini 70 tahun lalu.

Penerapannya dilakukan hanya untuk uang De Javasche Bank dan uang NICA atau yang saat itu dikenal dengan istilah “uang merah”.

Sementara untuk ORI (Oeang Republik Indonesia), aturan gunting uang tidak berlaku untuk meminimalisir kebingungan masyarakat menengah ke bawah.

Penerapannya, uang De Javasche Bank dan NICA pecahan 5 gulden ke atas, digunting dengan cara benar-benar dipotong dengan gunting tepat di bagian tengahnya menjadi dua.

Guntingan sebelah kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari jumlah semula. Dalam jangka waktu yang ditentukan, guntingan sisi kiri ini harus ditukarkan ke bank-bank atau tempat-tempat tertentu dengan uang baru.

Sedangkan guntingan yang sebelah kanan, bisa digunakan sebagai alat pinjaman berupa obligasi, juga bernilai setengah dari nominal semula, dengan bunga 3 persen setahun.

Obligasi ini nantinya akan diganti atau dibeli oleh pemerintah. Dengan kata lain, guntingan uang bagian kanan dimaksudkan untuk investasi jangka panjang  Selain untuk membatasi peredaran uang, hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi atau bahkan meniadakan mata uang keluaran Belanda.

Uang ORI yang nantinya menjadi rupiah dipersiapkan sebagai mata uang satu-satunya di negara Republik Indonesia. 

Dengan tindakan Sanering 1, pemerintah berhasil menghimpun dana melalui penurunan nilai uang Rp 500 dan Rp 1000 masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100 dan pembekuan sebagian tabungan masyarakat sebesar Rp 8264 juta.

Sebagian dari jumlah tersebut dapat menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia Unit I, sehingga hutang pemerintah pada Bank Indonesia, khususnya dalam Triwulan 111 tahun 1959 menjadi minus sebesar Rp 4154.

Pada tahun 1958 inflasi telah mencapai kenaikan 45,76% dan pada tahun 1959 dengan kebijakan adanya sanering I intensitas inflasi hanya mengalami kenaikan 22,22%. Namun, harga tetap menunjukkan kenaikan.

Sanering kedua dikenal dengan istilah Sanering Gajah yang mana uang pecahan Rp 1.000 diubah menjadi Rp 100, dan (Sanering Macan) dengan pecahan Rp 500 diubah menjadi Rp 50.

Jika jumlah deposito lebih dari Rp 25.000 maka akan dibekukan. Nilai tukar rupiah ke satu dollar AS adalah Rp 45. Akan tetapi, hal ini tidak berjalan baik karena setelah itu nilai mata uang rupiah terus turun terhadap dollar AS, sehingga pada Desember 1965 1 dollar As mempunyai nilai tukar = Rp 35.000.

Kebijakan sanering yang ketiga  dilakukan pada 13 Desember 1965, yaitu mata uang bernilai Rp 1.000 dalam uang lama menjadi Rp 1 dalam uang baru.

Peristiwa ini diikuti depresiasi mata uang Rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia pada tahun 1997 nilai satu dollar AS menjadi Rp 5.500, dan pada April 1998 ketika Presiden Soeharto lengser nilai 1 US$ menjadi Rp 17.200.

Kebijakan pemerintah dilaksanakan berdasarkan Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 bertujuan untuk mewujudkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Republik Indonesia, termasuk daerah Provinsi Irian Barat. (Joseph, Redenominasi dan Sanering Mata Uang Rupiah (IDR): Analisis Komparasi, Jurnal EBBANK, Vol 6. No 1, 2015. Hlm 91 – 95 ).

Dampak Aibat dari Pelaksanaan Kebijakan Sanering

Terjadi kekacauan ekonomi besar sehubungan dengan masa demokrasi terpimpin ini. Sehubungan dengan penurunan nilai uang kertas Rp 500,00 dan Rp 1000,00 menjadi sepersepuluh dari nominalnya dan deposito-deposito bank yang besar jumlahnya dibekukan tindakan tersebut mengurangi jumlah persediaan uang dari 34 miliyar menjadi 21 miliyar dalam sekali pukul. (Rickleifs, 2007).

Didevaluasikanya  rupiah sebesar 75% pada 25 Agustus 1959 dan deposito-deposito bank yang besar jumlahnya. Dampak lain dari kebijakan Tindakan Moneter 25 Agustus 1959 adalah, sebagai berikut:

  • Adanya pengurangan jumlah uang yang beeredar di masyarakat yang dinilai pemerintah sebagai penyebab mendasar terjadinya inflasi.
  • Sebagai sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia yang mencetak uang baru untuk memenuhi pinjaman pemerintah tersebut.
  • Setelah tindakan sanering 1 pemerintah berhasil menghimpun dana dari penurunan nilai Rp 500 dan Rp 1000 sebesar 10%nya dan pembekuan  bagian tabungan masyarakat sebesar Rp 8264 juta yang sebagian jumlahnya digunakam untuk menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia. Sehingga hutang pemerintah Indonesia kepada BI utamanya pada Triwulan 111/1959 menjadi minus Rp 4154 sedangkan jumlah uang beredar menjadi minus sebesar Rp 7622 Juta
  • Berhasil menurunkan inflasi 1958 sebesar 45,76% dan satu tahun kemudian  intensitas inflasi hanya mengalami kenaikan  22,22%. Tetapi pada 1960 inflasi kembali mengalami peningkatan bahkan pada 1962 terjadi hyperinflasi sehingga harga barang dari tahun ke tahun semakin tidak terkendali.
  • Pada November 1965 terjadi kenaikan harga BBM sebesar 600% berikut dikeluarkannya Surat Keputusan Mentri Urusan Minyak dan Gas Bumi No 160M/Migas/1965. Pemerintah menaikkan harga bensin dari Rp 4 perliter menjadi Rp 250 per liter,sedangkan minyak tanah menadjadi Rp 100. Akibat kenaikan tersebut mendorong harga barang-barang.

Dengan adanya kenaikan tersebut pemerintah kembali melakukan kebijakan sanering yang dikenal sebagai Tindakan Moneter II pada 13 Desember 1965 dengan harapan mengatasi hyperinflasi.

Namun ternyata belum dapat mencapai target kebijaksanaan untuk menutup hutang pemerintah kepada BI dan mengurangu jumlah uang beredar. Dampak lain adalah:
  • Dana yang berhasil dihimpun pemerintah melalui penurunan nilai rupiah (Rp 1000 uang lama) menjadi (Rp 1 uang baru) dengan pajak penukaran 10% tidak berhasil menutup hutang pemerintah kepada BI pada Triwulan I 1966 kemudian bertambah sebesar Rp 3.180 juta
  • Pada 3 Januari 1966 pemerintah kembali menaikkan harga BBM melalui Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi No 216/M/Migas 1965  sebesar 400% yang berdampak pada harga bensin perliter semula Rp 250 per liter menjadi Rp 1000 per liter, kemudian minyak tanah dari Rp 100 per liter menjadi 400 per liter.
  • Namun dengan adanya desakan masyarakat pada 21 Januaru 1966 pemerintah akhirnya menurunkan harga bensin sebesar 50%. Dengan Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi No 34/M/Migas/1966 harga bensin kemudian turun menjadi Rp 500 per liter dan harga minyak tanah dari Rp 400 per liter menjadi Rp 200 per liter.
  • Tetap terjadi kenaikan harga barang yang mendorong inflasi hingga mencapai puncaknya pada tahun 1966 sebesar 63,26% Sri Suyanti, Kebijakan moneter: Sanering dalam menahan laju inflasi pada masa ekonomi terpimpin (1959-1966), Tesis, Universitas Indonesia, Depok hal 2-4
  • Terjadi penurunan Produksi Nasional Bruto  yang setahun hanya mencapai 2% pada masa ekonomi liberal emerintah telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3.2%
  • Pertumbuhan ekonomi perkapita menajdi minus karena  perkembangan penduduk Indonesia pada masa Ekonomi Terpemimpin adalah 2,3%
  • Penurunan produksi dan pertumbuhan pendapatan perkapita yang mengalami stagnasi berdampang langsung pada menurunnya penerimaan negara. Sejak 1962 defisit APBN mlampaui penerimaannya sehingga terjadi hyperflasi yang semakin tidak terkendali.

Referensi:

Iswara, Gunting Uang ala Menkeu Syafruddin demi Atasi Krisis Ekonomi, https://tirto.id/gunting-uang-ala-menkeu-syafruddin-demi-atasi-krisis-ekonomi-cXja, Diakses : 12 November 2020

Sri Suyanti, Kebijakan moneter: Sanering dalam menahan laju inflasi pada masae konomi terpimpin (1959-1966), Tesis, Universitas Indonesia, Depok,

Joseph, Redenominasi dan Sanering Mata Uang Rupiah (IDR): Analisis Komparasi, Jurnal EBBANK, Vol 6. No 1, 2015. Hlm 91 – 95 ).

M.C Rickleifs, Sejarah Indonesia Modern ( Yogyakarta: Gajah University Press,2016)

Posting Komentar untuk "Kebijakan Sanering Mata Uang: Latar Belakang, Pelaksanaan, dan Dampak"